Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
“Itu minyak, bukan sniper. Aduk yang benar!”
Aira mengerucutkan bibir, tapi lanjut memasukkan potongan ayam dengan hati-hati seperti menjinakkan bom.
“Maa… kalau ayam ini gosong, kita pesen ayam geprek aja ya?”
“Kamu masak sampai berhasil. Hari ini kamu harus bisa. Orang mau nikah kok masak ayam aja panik.”
Aira menggerutu pelan, tapi perlahan… aromanya mulai enak. Bumbunya mulai meresap.
“Hah… Ma! Aku berhasil! Ini wangi banget! Ya Allah aku jago banget!”
“Iya, iya, calon nyonya ustadz… lanjut aduk.”
Sementara Aira sibuk memuji dirinya sendiri, Bu Maryam membuat capcay dengan gerakan lincah yang membuat Aira iri.
“Ma, kok capcay mama langsung cantik begitu? Punyaku tadi kayak mau mati.”
“Latihan, Ra. Mama juga dulu gitu.”
Lalu Bu Maryam mulai menggoreng gehu.
Aroma tahu isi panas memenuhi dapur.
Aira menelan ludah. “Maa… boleh aku makan satu?”
“Tidak.”
“Setengah?”
“Tidak.”
“Cium aroma aja?”
Bu Maryam mendelik. “LANJUT masak ayam kamu!”
Aira langsung kembali fokus seperti prajurit kena komando.
Setelah semua masakan selesai, Aira duduk di kursi dapur dengan napas ngos-ngosan.
“Sudah, Ma. Aku mau pensiun dini jadi calon istri.”
Bu Maryam justru mengeluarkan tepung, telur, gula pasir.
Aira langsung berdiri sambil mundur. “Maa… ini apaan lagi?”
“Kita bikin kue bolu.”
“MAAA! Ini kayak mau ada tamu kerajaan aja sih!? Masakan udah numpuk. Ini buat siapa!?”
“Untuk kamu latihan. Dan untuk nanti kalau ada orang datang.”
“Orang mana?”
“Mana mama tahu. Pokoknya siap.”
Aira memegang kepalanya. “Mama, please… Aku tuh anak tunggal. Tapi bukan berarti aku mesin dapur tunggal.”
“Sudah lakukan!”
Aira menghela napas panjang, mengikat rambutnya, lalu meraih whisk. “Baik… demi masa depan keluarga… demi pahala… demi suami yang belum aku cintai tapi lumayan ganteng… LET’S GO.”
Bu Maryam tersenyum puas.
Bahkan tepung yang belepotan di pipi Aira tidak menghilangkan semangatnya.
“Ma… bibi ke mana sih? Biasanya mama minta bantuan bibi.”
“Bibi lagi ngurus anaknya yang sakit, Ra. Makanya… sekarang giliran kamu bantu mama.”
Aira mematung, mata membulat tragis. “Baiklah… aku siap… walau bathinku tidak.”
Dan ia mulai memecahkan telur dengan gaya dramatis seperti mau memulai pertandingan. Membuat adonan dimulai sampai adonan itu siap untuk dioven.
Aira berdiri di depan oven kecil itu seperti seorang ilmuwan yang menunggu hasil eksperimen penting.
“Ma… ini beneran bakal ngembang kan? Jangan-jangan bantet.”
“Bisa. Asal kamu nggak buka-buka tutup ovennya,” jawab Bu Maryam.
Lima menit kemudian…
“Ma, boleh aku lihat dikit?”
“JANGAN.”
Sepuluh menit kemudian…
“Ma, kayaknya dia butuh perhatian.”
“Kalau kue butuh perhatian itu namanya kamu, Ra. Jangan dibuka!”
Tapi Aira, tetaplah Aira.
Ia sedikit mengintip.
Sedikit.
SANGAT sedikit.
Dan…
“MAAA! Kenapa dia melorot!? Apa aku ngeganggu proses dia bertumbuh sebagai kue?!”
“Kamu ganggu banget,” sahut Bu Maryam.
Ketika akhirnya matang…
Aira mengeluarkan kuenya, menatapnya lama.
“Itu… masih kue kan, Ma?”
Bentuknya peyot, warnanya hampir cokelat terlalu tua, dan permukaannya retak seperti habis disiram air panas.
“Kue pertama, Ra. Wajar,” hibur Bu Maryam.
Aira hanya memandangi kuenya dengan kesedihan mendalam. “Itu kayak aku kalau kehujanan, Ma.”
Aira memantapkan hati. “Baik. Sekarang aku serius. Ini untuk masa depan rumah tangga aku!”
Ia memasukkan adonan kedua ke oven.
Tapi…
“Ma, aku ke kamar mandi dulu sebentar ya. 40 detik.”
“Ya, tapi cepat.”
Di saat Aira ke kamar mandi, Bu Maryam turun ke halaman belakang untuk memberi makan ayam.
Keduanya lupa.
Sangat lupa.
Sampai akhirnya…
KEPOOOONGGGG!
Suara oven meletup kecil.
Aira keluar kamar mandi sambil teriak, “MAAA! Ada yang kebakar!”
Bu Maryam juga lari dari belakang sambil membawa gayung... entah mau nyiram api atau ayam.
Mereka membuka oven berbarengan.
Dan… kue itu hitam.
Hitam legam.
Seperti arang hasil ritual.
“Ma… ini… ap...”
“BUANG!” kata Bu Maryam cepat, tidak mau lihat lebih lama.
Aira memasukkan kue gosong itu ke plastik sambil merapatkan bibir.
“Kasih ayam aja kali ya, Ma?”
“AMPUN ayamnya! Nanti pada keracunan!”
Aira mendesah. “Aku gagal sebagai perempuan Indonesia, Ma…”
“Belum. Coba lagi!”
Aira mengambil napas panjang.
“Aku… harus bisa. Kalau Ustadz Fathur tahu aku nggak bisa bikin kue, dia bisa-bisa… ya tetep nikah sih… tapi… harga diri aku sebagai perempuan jurusan ekonomi bisa turun.”
“Fokus, Ra.”
Aira memasukkan adonan ketiga.
Kali ini dia tidak ke mana-mana.
Dia duduk, nunggu, sambil menatap oven dengan mata penuh harapan seperti menunggu gebetan balas chat.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Lima belas menit.
“Ma… Ma… lihat ini! Dia ngembang! NGEMBANG MA!!”
Bu Maryam menghampiri sambil senyum.
“Iya, itu namanya kue.”
“Hidup aku berhasil, Ma. AKU MENANG!!”
Setelah matang dan dikeluarkan…
Aira memeluk kuenya... hampir memeluk.
“Ma, aku mau foto kue ini. Biar nanti kalau aku stress jadi istri, aku bisa lihat lagi masa-masa kejayaan aku.”
“Awas jatuh, Ra.”
“Aku pegang, Ma. Aku pegang!”
Tapi saking bahagianya, Aira malah memutar kuenya dengan gaya ala chef profesional.
Bu Maryam elus dada.
“Ra… kamu itu kalau masak bisa stres, kalau berhasil bisa makin stres.”
Aira tersenyum lebar sambil menatap kuenya. “Ma… kalau Ustadz Fathur makan ini… kira-kira dia naksir aku nggak?”
“Kayaknya sebelum kue juga sudah.”
Aira terdiam.
Pipinya merah.
Lalu…
“Aku panggang lagi satu deh, Ma. Buat latihan jadi istri idaman.”
Bu Maryam hanya tertawa kecil melihat anaknya yang super random.
***
Setelah masak.
Aira keluar kamar sambil mengelap rambutnya yang masih basah sedikit. Ia memakai kaos panjang warna krem dan celana kulot hitam. Wajahnya masih manyun karena habis disuruh mandi lagi.
“Maa… aku udah mandi loh tadi pagi. Ini mandi lagi. Air sumur bisa habis tau,” gerutunya sambil merapikan lengan kaos.
Bu Maryam hanya tersenyum-senyum sambil menata capcay, gorengan, ayam ungkep, dan kue hasil perjuangan Aira.
“Udah, keluar sana. Papa kamu bentar lagi sampai,” jawab Bu Maryam santai.
“Hah? Papa pulang jam segini? Tumben amat. Mau inspeksi dapur? Apa mau bilang ayamnya BAB di teras lagi?” omel Aira sambil menuju ruang tamu.
Baru langkahnya sampai pintu, suara sandal jepit beradu dengan lantai terdengar. Pintu digeser pelan.
Pak Hadi masuk… Bersama Ustadz Fathur.
Aira langsung membeku.
“Assalamualaikum,” Ustadz Fathur menunduk sopan.
Aira refleks membalas, “Wa... waalaikumsalam…”
Lalu buru-buru menutup wajahnya dengan kedua tangan. “MA… KENAPA NGGAK BILANG BILANG?!”
Bu Maryam menahan tawa, “Makanya mandi tadi jangan ngeluh. Tuh, wajah kamu jadi cerah.”
“Mamaaa!” Aira mendesis dengan suara pasrah maut.
Pak Hadi pura-pura tidak melihat reaksi heboh putrinya. “Ayo, silakan masuk, Ustadz. Maaf rumah berantakan.”
Padahal rumah sangat rapi. Terlalu rapi.
Aira memasang senyum kaku sambil berbisik ke mamanya, “Ini kayak penyergapan. Papa mama jahat.”
“Diam, Aira.” Bu Maryam menepuk pelan punggungnya.
Ustadz Fathur sempat melirik Aira sekilas—sekilas saja—tapi itu cukup membuat kuping Aira panas. Ia langsung menunduk… lalu tanpa sadar berdiri di depan meja hidangan.
“Hah! Kue aku!” serunya panik tiba-tiba.
Semua menoleh.
“Ada apa?” tanya Pak Hadi.
Aira melihat kue gosongnya ditata rapi bersebelahan dengan yang bagus.
“Mamaaa… kenapa yang gosong ditaruh juga?!” bisiknya kesal.
“Biar ustadz tahu usaha kamu dari nol,” jawab Bu Maryam sangat santai.
Aira ingin hilang ditelan bumi.
Ustadz Fathur menahan tawa sampai bahunya naik turun halus. “Tidak apa-apa, Neng Aira. Bahkan Rasulullah suka makanan sederhana,” ucapnya lembut.
Aira tambah malu. “I-iya. Tapi yang gosong jangan dimakan ya. Nanti sakit hati…”
Semua terdiam.
Aira buru-buru menutup mulut.
Astaga, kenapa dia ngomong begitu?
Pak Hadi mengusap wajah. Bu Maryam hanya geleng-geleng. Ustadz Fathur akhirnya tersenyum kecil.
“Tidak apa-apa. Yang penting niatnya baik,” ujarnya pelan, tapi cukup bikin jantung Aira dug dug dug.
Aira langsung mundur satu langkah, lalu berbisik ke mamanya, “Ma… aku mau kabur ke kandang ayam.”
“Coba aja. Nanti ayamnya nyambut kamu,” kata Bu Maryam.
"Mama!"
Bersambung