Sera, harus kehilangan calon anak dan suaminya karena satu kecelakaan yang merenggut keluarganya. Niat ingin berlibur malah menjadi petaka.
Sera bersedih karena kehilangan bayinya, tapi tidak dengan suaminya. Ungkapannya itu membuat sang mertua murka--menganggap jika Sera, telah merencanakan kecelakaan itu yang membuat suaminya meninggal hingga akhirnya ia diusir oleh mertua, dan kembali ke keluarganya yang miskin.
Sera, tidak menyesal jatuh miskin, demi menyambung hidup ia rela bekerja di salah satu rumah sakit menjadi OB, selain itu Sera selalu menyumbangkan ASI nya untuk bayi-bayi di sana. Namun, tanpa ia tahu perbuatannya itu mengubah hidupnya.
Siapakah yang telah mengubah hidupnya?
Hidup seperti apa yang Sera jalani setelahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini ratna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akibat Basah-basahan
"Uhuk ... uhuk!"
Darren, terbatuk sambil melengos menghindari Sera. Dada besar yang menonjol membuat Darren gugup, apalagi ketika baju Sera, basah yang menjadikannya terlihat lebih jelas.
Sera, membelakangi Darren, sambil menutup kedua dada dengan tangannya. Tubuh keduanya basah kuyup akibat keran air yang tak terkendali.
"Ehm ... kamu mencoba menggodaku, ya?"
"Hei, Tuan siapa yang mau menggoda! Kamu saja yang tidak becus, keran air tidak apa-apa dibilang macet. Jadinya kaya gini, kan. Basah semua!" umpat Sera.
Darren, hanya melengos lalu meminta Sera, untuk pergi. "Sudah sana, ganti bajumu jangan sampai pria bandod tadi melihatnya."
"Melihat apa?" tanya Sera, lalu menunduk menatap dua gunung kembarnya. Seketika ia menutupi dengan kedua tangannya.
"Kamu mesum!"
"Siapa yang mesum?"
"Itu ... kamu melihatnya, kan. Pake bawa-bawa pria bandod tadi padahal kamu sendiri yang melihat. Dasar, ya setiap lelaki jika melihat yang begini sama."
"Hei!" sentak Darren. "Jangan salahkan lelaki, ayahmu saja bisa menegang melihat dua s*s*mu itu."
Sera, terbelalak. Ia ingin sekali menghajar Darren, karena mengejeknya. Akan tetapi ia yang dikatakan Darren tidak salah, bajunya terlalu ketat, juta kain kemeja yang dipakainya terlalu tipis, wajar saja jika Darren terlihat gugup setelah melihatnya.
"Buruan sana pergi! Aku tidak akan tergoda dengan punyamu, karena aku tahu itu milik putraku. Jangan sampai kamu sakit terus mempengaruhi air susunya, aku tidak mau jika Lio nanti kena sakit."
"Dih, PD banget! Kayak aku mau kembali ke rumahmu saja."
Darren, menoleh ia hendak marah karena perkataan Sera barusan, tetapi Sera sudah pergi lebih dulu. Ia menyudahinya, yang pergi menuju kamar.
Tidak berselang lama, Sera, kembali dengan sebuah handuk yang membalut kepala dan dadanya, ia kembali untuk memberikan handuk kepada Darren.
"Ini, handukmu. Naiklah ke atas dan masuk ke kamar sebelah kanan. Itu kamarku, dan bersihkan dirimu. Aku sudah menyiapkan pakaian untukmu."
Sera, melewati Darren yang menuju kamar mandi tadi, ia memilih kamar mandi bawah untuk membersihkan diri, sekaligus membersihkannya lagi.
Darren, melangkah menaiki tangga setelah tiba di atas ia mencari kamar yang Sera maksud. Ternyata, di atas terdapat tiga kamar, Darren melirik ke sebelah kanan, ke arah pintu coklat yang dia anggap sebagai kamar Sera.
Setibanya di dalam, Darren melihat satu buah kemeja dan celana training milik Joko.
(Darren mendesah) Ia tidak terlalu suka dengan model kemejanya yang sangat kolot, tapi bagaimana lagi Darren tidak memiliki baju ganti terpaksa ia membawa kemeja itu masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah beberapa menit, Darren keluar ia mengeringkan rambut dengan handuk, sambil berjalan ke arah cermin yang terletak di depannya. Sambil termenung ia melihat kemeja lusuh yang dipakainya. Terpaksa, Darren memakai kemeja milik Joko karena kemejanya basah. Namun, parasnya yang tampan tidak membuat level dirinya turun, malah kemeja itu yang naik derajat karena dipakai olehnya.
Sedetik ia memindai sekeliling kamar, yang penuh dengan foto Sera. Kamar yang minimalis dan tertata rapih, tetapi ada satu foto yang membuatnya tertarik.
Darren, melangkah mendekati meja rias, lalu mengambil foto yang terpajang di dinding. Sebuah foto siswa-siswa SMP yang menyambut kelulusan.
Darren tercengang, keningnya mengerut melihat dirinya ada di dalam foto itu.
"Ini sekolahku, dan ini ... diriku, kenapa Sera bisa memiliki foto itu, jika aku ada di sini itu artinya Sera, adalah angkatanku. Tapi ... yang mana dia?"
Darren, coba mengenali wajah Sera dalam foto itu, hingga ia mencari foto lain. Tangannya mengambil sebuah foto dengan pigura yang terjang di atas meja rias. Foto Sera, saat masih SMP mengenakan baju karate.
Darren mendekatkan kedua foto itu, hingga akhirnya ia menemukan sosok Sera. Matanya membulat dengan mulut yang menganga lebar.
"Dia ...."
"Tuan Darren, cepatlah keluar! Apa kau mau tinggal di dalam kamarku?" Sera, mengetuk pintu. Darren yang mendengar suara itu langsung meletakkan foto itu lagi, setelahnya ia berjalan ke arah pintu untuk membukanya.
"Sudah selesai?" tanya Sera demikian.
Tubuhnya yang awalnya bersandar kini berdiri tegak. Sera, menelisik setiap inci tubuh Darren, dari atas hingga bawah. Ia pun tersenyum, memuji pakaian ayahnya yang terlihat keren dipakai oleh bosnya.
"Wah! Kemeja ayah, jadi keren begini. Tuan ... selain CEO kamu juga cocok jadi model, mau aku daftarkan ke majalah teen?" tanyanya dengan canda.
Namun, Darren malah berdecak, sambil memukul kepalanya. "CK, dasar konyol!"
Sontak, kelakuan itu membuat Sera, tercengang. Ia terpaku sampai memegang kepalanya, netranya melirik Darren yang berlalu meninggalkannya.
"Apaan tadi, dia berani memukul kepalaku, seperti teman saja," gumamnya dengan heran.
Setibanya di bawah, Sera melihat Darren masih berdiri yang ditatap ayah ibunya. Bahkan, di sana ada Essa, yang baru pulang sekolah, gadis itu menatap takjub Darren yang ada di depannya.
"Wah, pria dari negri mana ini yang nyasar ke warung ibu. Tampangmu seperti ... artis favoritku Cha Eun Woo ... apa aku boleh memotretnya? Boleh, ya please ...."
Essa, mendekat ke arah Darren, berdiri di samping Darren. Tangan kanannya mulai mengangkat ponsel genggamnya, dengan gaya modis Essa, mengambil gambar ia dengan Darren.
"Apaan sih, jangan sembarangan foto, ya. Nanti kamu kena hak cipta Lo!" Sera mengambil ponsel genggam milik Essa.
"Kakak, ... aku hanya minta foto, dia pun tidak keberatan iya, kan Om ganteng," ujar Essa, yang melirik genit ke arah Darren.
Darren, hanya melongo sampai menyipitkan matanya. Tiba-tiba Ane, mendekat yang menarik tangan Darren, menuju meja.
"Sudah-sudah, jangan diributkan." Katanya kepada putri-putrinya. "Tuan ... Darren, saya sudah menyiapkan makanan untuk Anda. Sebaiknya kita makan sekarang, ya."
Ane menuntun Darren, menuju meja. Joko menarik kursi untuk Darren, lalu mereka semua duduk setelah Darren duduk. Essa, gadis itu menempel pada Darren, tetapi Sera, dia merasa keanehan dari sikap ibu dan ayahnya.
"Sera, ayo duduk sini," ajak Ane. Sera pun melangkah ke arah mereka, sebelum menempatkan bokongnya Sera, menarik kepala adiknya dulu yang terus menempel kepada Darren. Membuat Essa, meringis dan menatapnya kesal.
"Kakak! Sakit tahu."
"Jangan kegatelan. Malu-maluin banget, sih." Katanya seraya duduk di samping ibunya.
"Sayang, kemejaku terlihat lebih mahal, ya jika di pakai orang kaya," bisik Joko yang langsung disikut oleh istrinya.
"Maafkan suami saya, ya. Tu-tuan Darren."
"Panggil Darren saja Tante," ucap Darren membuat Ane semakin terenyuh.
"Ouh ... selain tampan, baik hati, ternyata rendah hati juga." tutur Ane.
Darren hanya tersenyum tipis. "Usiaku lebih muda dari kalian, tidak enak jika kalian memanggilku Tuan."
Ane tersenyum bangga. Ia langsung menyendokkan sepiring nasi ke dalam piring yang digabungkannya dengan lauk.
"Tuan, ayo ... makanlah. Saya memasak udang asam manis, dan tumis capcay, jarang saya memasak ini ... ini spesial untukmu."
"Ibu pilih kasih," protes Essa dan Sera. "Giliran kita minta udang tidak dibuatkan. Katanya mahal!"
"Ibu lebih perhatian kepada orang asing daripada putri sendiri," ujar Sera dengan mata mendelik. Essa, pun menatap ibunya dengan tatapan yang sama.
Ane mendesah, lalu berkata. "Kalian tidak tahu malu, ya. Udang ini tidak ada bandingannya dengan dia yang sudah membantu keluarga kita. Nak, Darren sudah membayar semua hutang-hutang ayahmu kepada bandod tua itu."
Sontak, bola mata Sera membola, lalu melirik pada Darren. "Untuk apa kamu membayar hutang-hutang ayahku?"
"Sera, jangan bilang begitu," tegur Ane. "Jika tanpa dia kita sudah mengosongkan rumah ini dan warung ini. Apa kamu tahu berapa hutang ayahmu?"
"Memangnya berapa?" tanya Sera ngegas.
"200 juta!"
"Hah!" teriak Sera, dan Essa bersamaan.
"Hidup kita terselamatkan, karena Tuan Darren ini ... terima kasih, ya Tuan," ucap Ane juga Joko.
Sera, mencebik dengan sorot mata yang mendelik tajam pada Darren. Ia berpikir, apa ini permainan Darren, agar dia kembali bekerja menjadi ibu susu Lio.
...****************...
Up lagi nanti jam 10 malam
jangan lupa like, dan votenya apalagi ini hari Senin bagilah vote kalian untukk novel ini 😘