Bagi Nadin, bekerja di perusahaan besar itu impian. Sampai dia sadar, bosnya ternyata anak tetangga sendiri! Marvin Alexander, dingin, perfeksionis, dan dulu sering jadi korban keisengannya.
Suatu hari tumpahan kopi bikin seluruh kantor geger, dan sejak itu hubungan mereka beku. Eh, belum selesai drama kantor, orang tua malah menjodohkan mereka berdua!
Nadin mau nolak, tapi gimana kalau ternyata bos jutek itu diam-diam suka sama dia?
Pernikahan rahasia, cemburu di tempat kerja, dan tetangga yang hobi ikut campur,
siapa sangka cinta bisa sechaotic ini.
Yuk, simak kisah mereka di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
01. Keluarga Calon pelawak
Pagi itu seperti biasa dimulai dengan kehebohan di rumah kecil keluarga Arshanti. Suara ayam tetangga bersahutan, aroma tumisan bawang putih memenuhi udara, dan suara ibu Nadin sudah terdengar bahkan sebelum matahari menampakkan diri.
“Nadin! Jangan kamu aduk telur itu kayak lagi balas dendam ke mantan!”
Teriakan Rani menggema dari dapur. Nadin yang masih pakai daster bermotif alpukat langsung mendesah panjang.
“Bu, ini bukan balas dendam. Ini bentuk perjuangan!” katanya sambil mencoba menyelamatkan telur gosong di wajan. Tak lama, Dimas, ayahnya, muncul dari halaman belakang sambil membawa sekeranjang bayam segar.
“Nah, Nad, nanti sekalian kamu antar ini ke rumah sebelah, ya. Bu Araya minta sayur dari kebun kita lagi.”
Nadin spontan menatap ayahnya penuh curiga. “Bu Araya ... minta sayur lagi?”
Senyum licik terbit di bibirnya.
“Pak, kok kayaknya Ibu Marvin itu sering banget minta sayur dari kebun Bapak, ya? Jangan-jangan...”
“Nadin!” potong Rani cepat, nada suaranya berubah setajam pisau dapur. “Jangan mulai gosip pagi-pagi.”
“Tapi Bu, aku cuma bilang ‘jangan-jangan’, belum sempat lanjut!” protes Nadin sambil terkekeh. Rani menatap tajam anaknya.
“Bu Araya itu teman lama ayahmu. Dulu satu sekolah, satu organisasi. Jadi biasa aja kalau mereka masih saling bantu.”
“Hmm,” Nadin mendengus kecil. “Sahabat masa muda, ya. Tapi tiap kali Bu Araya datang, Ibu langsung sibuk nyapu halaman padahal rumputnya aja belum tumbuh.”
Sendok kayu melayang ke udara, nyaris mengenai kepala Nadin yang buru-buru menunduk.
“Na-din!” teriak ibunya geram.
Tawa gadis itu pecah lagi, dia tahu, meskipun ibunya cerewet, hatinya lembut dan mudah cemburu. Apalagi soal Araya Alexander tetangga depan rumah yang terkenal elegan dan terlalu sempurna untuk ukuran manusia biasa. Rumah keluarga Alexander berdiri megah tepat lima langkah dari rumah Nadin.
Cat dinding putih gading, taman bunga rapi, dan mobil mahal di garasi. Sementara rumah keluarga Arshanti, hangat, sederhana, tapi penuh tawa. Yang membuat dua rumah itu terhubung lebih dari sekadar pagar, adalah hubungan lama di antara orang tua mereka.
Tuan Alexander, pria tinggi berambut perak dan selalu berpenampilan rapi, adalah sahabat baik sekaligus rekan lama Dimas. Dia sangat menghargai keluarga Arshanti, bahkan sering bilang bahwa Nadin adalah anak perempuan yang selalu ia inginkan.
“Sayang sekali aku cuma punya satu anak laki-laki,” kata Tuan Alexander dulu dengan nada bercanda. Anak laki-laki itu tak lain adalah Marvin Alexander, pria perfeksionis, dingin, dan luar biasa teratur. Marvin dan Nadin tumbuh bersama. Dulu, mereka sering main petak umpet di halaman, atau berantem cuma gara-gara rebutan bola.
Nadin masih ingat jelas betapa cueknya Marvin bahkan saat kecil, kalem, rapi, dan selalu tampak seperti bocah yang sudah punya jadwal hidup sendiri.
Sementara dia, berantakan tapi penuh semangat. Namun seiring waktu, mereka jarang bicara. Marvin sibuk kuliah di luar negeri, dan Nadin fokus menyelesaikan studinya di universitas lokal.
Hari ini, Nadin resmi akan memulai pekerjaan pertamanya. Dan entah kenapa, semesta punya selera humor yang aneh.
“Bu, doain ya. Aku kerja di perusahaan besar hari ini. Semoga bosnya baik dan ganteng.”
Rani menatapnya dari meja makan, sambil mengelap piring. “Bos baik itu langka, Nad. Kalau ganteng tapi galak, sabar aja. Jangan bikin masalah.”
“Tenang, Bu. Aku profesional kok,” katanya percaya diri.
'Semoga aja,' batinnya.
Tiga jam kemudian, di depan gedung kaca menjulang bertuliskan ALEXANDER GROUP, Nadin terdiam. Nama itu terasa familiar, dan bukan dalam arti baik.
“Alexander ... jangan bilang ini...” gumamnya pelan, sebelum napasnya tertahan. Di depan pintu lift, berdiri seorang pria berjas abu-abu. Postur tegap, wajah tampan tapi dingin, dan mata yang memancarkan aura serius. Senyumnya tipis, bisa dibilang tak ada sama sekali. Wangi parfumnya bahkan seperti intimidasi kelas atas.
“Marvin?” suara Nadin tercekat. Pria itu menatapnya datar.
“Miss Nadin Arshanti. Karyawan baru divisi marketing?”
“I—Iya, Pak,” jawabnya cepat, setengah gugup.
Marvin menatap jam tangannya, lalu kembali menatap Nadin.
“Masih sama, datang di menit terakhir.”
Nadin mengerjap. “Eh? Masih sama apanya, Pak?”
“Selalu ceroboh soal waktu ... tapi setidaknya tidak terlambat.”
Nada suaranya datar, tapi di mata Nadin, itu sudah terdengar seperti sindiran manis bercampur teguran dingin.
“Bapak ... masih ingat aku?” tanyanya ragu.
Marvin menaikkan satu alis. “Sulit melupakan seseorang yang pernah menempelkan surat cinta bohongan di meja saya waktu SMP.”
Wajah Nadin langsung merah padam. “Itu kan cuma ... eksperimen sosial, Pak."
“Eksperimen yang gagal,” balas Marvin tenang, sebelum melangkah masuk ke lift.
Nadin terpaku, tapi tepat sebelum pintu tertutup, ia mendengar suara rendahnya lagi.
“Selamat datang di Alexander Group, Nadin. Semoga kamu bertahan di sini.”
'Ya Tuhan, kenapa nadanya kayak ancaman lembut?'
Sesampainya di lantai kantor, Nadin menatap sekeliling kagum. Interior kantor itu modern dan elegan, dinding kaca, meja putih bersih, suasana tenang. Semua orang tampak sibuk dan berpakaian rapi.
Seorang wanita cantik berpenampilan anggun menghampirinya. “Kamu Nadin, karyawan baru, kan? Aku Aulia, sekretaris pribadi Pak Marvin.”
“Oh! Halo, Kak Aulia,” sahut Nadin ramah.
Aulia tersenyum, tapi tatapannya cepat berubah saat melihat Marvin keluar dari ruangannya. Wajahnya seketika berseri seperti bunga yang baru disiram hujan.
Sementara Nadin hanya bisa melongo, menyadari satu hal, sekretaris bosnya sepertinya jatuh cinta pada bosnya. Marvin melintas di depan mereka tanpa banyak bicara.
“Meeting jam sepuluh, jangan terlambat!"
Aulia mengangguk cepat, sementara Nadin hanya bisa tersenyum kaku.
“Dia memang seperti itu,” bisik Aulia setengah berbisik. “Dingin, tapi kalau sudah kenal ... bisa hangat kok.”
Nadin menatapnya dengan ekspresi polos. “Hangat kayak radiator atau kayak oven?”
Aulia terdiam, wajahnya kaku.
“Oh ... kamu lucu juga, ya.”
Nada suaranya manis, tapi senyumnya seperti mengandung sesuatu yang tidak bisa disebut ramah.
Sore hari, setelah semua kesibukan hari pertama, Nadin duduk di ruang pantry, menatap kopi yang sudah dingin. Hari pertamanya berjalan lumayan selamat, tapi pikirannya masih belum bisa tenang.
“Kenapa harus Marvin, sih? Dari sekian banyak perusahaan, semesta malah kirim aku ke tempat anak tetangga yang dinginnya kayak kulkas 10 pintu?” gumamnya sambil menyeruput kopi.
“Karena mungkin semesta ingin kamu belajar menyeduh kopi yang lebih manis.” Suara itu datang dari belakang.
Nadin hampir tersedak. “Pa ... Pak Marvin?!”
Marvin berdiri di sana, satu tangan memegang berkas, satu tangan di saku. Tatapannya tenang, tapi bibirnya sedikit terangkat. Sedikit saja, tapi cukup bikin jantung Nadin berdebar.
“Besok rapat pagi jam delapan,” katanya pelan. “Dan tolong ... jangan tumpahkan kopi di ruang rapat.”
“Eh, saya belum pernah...”
“Tapi kamu kelihatan seperti tipe orang yang akan melakukannya,” balasnya datar, lalu pergi meninggalkan Nadin yang hanya bisa bengong.
Nadin memandangi cangkirnya dan mendesah panjang.
“Hari pertama kerja, dan bosku sudah tahu bakat alaminya aku, pembuat masalah.”
Namun entah kenapa, di balik semua ketegangan itu ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Nadin ingin tersenyum. Dingin, tapi anehnya menenangkan, galak, tapi menarik. Dan tanpa sadar, dari ruang rapat kaca, Marvin menatap Nadin diam-diam dengan ekspresi sulit dibaca. Sudut bibirnya nyaris membentuk senyum kecil yang tak pernah muncul di hadapan siapa pun.
rasanya pengen tak getok aja tuh kepalanya Anita biar gegar otak sekalian . jadi orang kok murahan banget mau merebut suami orang .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
sampai bacanya gemes tolong pelakor di hempaskan biyar kapok dan kena karmanya....
heeee lanjut Thor semangat 💪
tapi ingat aja Anita.... kamu gak akan menang melawan wanita bar-bar seperti Nadin Alexander .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
dan ternyata drama ibu hamil masih berlanjut terus . bukan Nadin yang hamil yang bikin heboh , tapi Marvin suaminya malah sekarang ditambah mertuanya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
tapi pantes aja sih kelakuan Anita kayak gitu , orang ajaran dan didikan ibunya juga gak bener .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
apalagi sekarang Nadin lagi hamil makin sayang dan cinta mereka makin tumbuh lebih besar .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
selamat ya Nadin dan Marvin , semoga kehamilannya berjalan lancar hingga lahiran nanti .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍