NovelToon NovelToon
Selalu Mengingatmu

Selalu Mengingatmu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Romansa Fantasi / Diam-Diam Cinta / Romansa / Idola sekolah
Popularitas:331
Nilai: 5
Nama Author: Fayylie

Olivia pernah memberanikan diri melakukan hal paling gila di hidupnya: menyatakan perasaan ke cowok populer di sekolah, Arkana. Hasilnya? Bukan jawaban manis, tapi penolakan halus yang membekas. Sejak hari itu, Olivia bersumpah untuk melupakan semuanya, terlebih dia harus pindah sekolah. Namun, dia pikir semua sudah selesai. Sampai akhirnya, takdir mempertemukan mereka lagi di universitas yang sama.
Arkana Abyaksa—cowok yang dulu bikin jantungnya berantakan. Bedanya, kali ini Olivia memilih berpura-pura nggak kenal, tapi keadaan justru memaksa mereka sering berinteraksi. Semakin banyak interaksi mereka, semakin kacau pula hati Olivia. Dari sana, berbagai konflik, candaan, dan rasa lama yang tak pernah benar-benar hilang mulai kembali muncul. Pertanyaannya, masih adakah ruang untuk perasaan itu? Atau semuanya memang seharusnya berakhir di masa lalu? Dan bagaimana kalau ternyata Arkana selama ini sudah tahu lebih banyak tentang Olivia daripada yang pernah dia bayangkan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fayylie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 15

Malam sudah lumayan larut. Lampu-lampu kota yang menembus jendela asrama bikin suasana kamar jadi temaram hangat. Suara kendaraan dari jalanan jauh terdengar samar.

Sebelum pulang dari mall tadi, Olivia tiba-tiba kepikiran buat bikinin gambar ibunya Arka untuk hadiah ulang tahun. Disetujui oleh Arka, lalu sebelum pulang ke asrama mereka membeli peralatan seperti kertas kanvas untuk membuat gambar itu, kalau untuk pensil dan yang lainnya Olivia udah punya karena dia anak seni yang kesehariannya sering menggambar.

Olivia duduk di kursi depan kertas kanvas yang baru aja dipasang di penyangga kayu. Tangannya sibuk nyusun pensil, penghapus, sama penggaris kecil. Sesekali dia melirik ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup, terdengar suara gemericik air—Arka lagi mandi.

“Lama banget cowok satu itu,” gumam Olivia, sambil ngerapiin kertasnya biar nggak goyang. “Katanya cuma bilas, kok kayak lagi spa semalem suntuk.”

Belum selesai ngomel, pintu kamar mandi kebuka. Uap air keluar lebih dulu, disusul sosok Arka yang masih mengusap rambutnya pakai handuk. Kaos hitam tipis udah melekat di badannya, celana training abu-abu, dan langkahnya santai banget kayak nggak ada beban dunia.

Olivia otomatis menoleh. Terus buru-buru pura-pura fokus lagi ke pensilnya. “Akhirnya nongol juga. Gue kira lo ketiduran di kamar mandi.”

Arka cuma senyum tipis, tanpa komentar. Dia jalan mendekat, lalu berhenti di samping Olivia. Karena Olivia duduk, posisi kepala mereka hampir sejajar ketika Arka sedikit nunduk. Jaraknya deket banget, sampai Olivia bisa ngerasa hawa dingin bekas air mandi dari kulit Arka.

“Jadi gimana?” tanya Arka datar, ngeliatin kanvas kosong. “Lo serius mau bikin ini jadi hadiah?”

Olivia menoleh sebentar, lalu angguk. “Kenapa nggak? Lukisan tuh personal banget, Ka. Lebih berkesan daripada benda mahal yang entar bisa rusak atau dilupain. Nyokap lo pasti lebih seneng kalo tau anaknya kasih sesuatu hasil usaha sendiri.”

Arka diem sebentar. Pandangannya masih ke kanvas. “Lo yakin bisa bikin kayak gitu?”

“Lo ngeremehin gue?” Olivia langsung pasang ekspresi nggak terima. “Hello? Gue anak seni, bro. Bikin potret orang tuh makanan sehari-hari. Yang susah tuh bikin gue tahan seharian nemenin lo muter mall tanpa hasil.”

Arka senyum miring. “Oke, oke. Gue percaya.”

Olivia lalu nyodorin tangan. “Foto nyokap lo. Gue butuh referensi.”

Arka ambil ponsel dari saku, scroll sebentar, terus nunjukin satu foto. Seorang wanita anggun dengan senyum lembut. Olivia langsung terdiam sebentar.

“Gila… cantik banget. Pantes aja lo ganteng.”

Arka spontan nengok, alisnya naik. “Apa tadi?”

Olivia buru-buru ngibasin tangan. “Eh nggak, maksud gue nyokap lo cantik banget, pasti baik deh.”

Arka nyengir tipis, jelas puas bikin Olivia salah tingkah.

Olivia langsung alihin fokus ke kanvas. “Oke, gue bikin sketsa dulu. Lanjutinnya besok aja, sekarang udah malem.”

Arka tarik kursi, duduk tepat di sebelah Olivia. “Gue nggak bisa gambar. Jadi lo aja yang bikin.”

“Yaelah, siapa juga nyuruh lo gambar. Gue bilang belajar. Sini, coba bikin garis dasar dulu. Nggak usah takut salah.” Olivia nyodorin pensil ke tangan Arka.

Arka sempet ragu, tapi akhirnya nerima. Dia pegang pensil kaku banget, kayak anak SD baru belajar nulis. Olivia langsung ngakak.

“Serius, Ka? Gini aja lo kaku banget. Pegang pensilnya rileks, jangan kayak lagi pegang obeng.”

Arka mendelik. “Ya gue emang bisanya pegang obeng, bukan pensil.”

Olivia tarik nafas panjang, terus akhirnya majuin kursinya lebih dekat. Tangannya nyusul ke atas tangan Arka, ngebenerin posisi jari. Jarak mereka makin tipis. Olivia fokus, sementara Arka malah menatap wajahnya dari samping.

“Gini lho, pensil tuh nggak usah ditekan banget. Cukup ringan, biar gampang dihapus kalo salah.” Suara Olivia pelan, matanya fokus ke kanvas. Tangannya masih nuntun gerakan tangan Arka bikin garis tipis.

Arka bukannya liat garis, malah memperhatiin alis Olivia yang sedikit berkerut, rambut yang jatuh ke pipinya, dan cahaya lampu meja yang bikin kulitnya keliatan lembut. Dia nggak sadar senyum kecil kebentuk di bibirnya.

“Lo fokus nggak sih?” Olivia akhirnya nyeletuk.

Arka tersentak. “Fokus.”

“Fokus apaan? Dari tadi gue yang gerakin tangan lo. Lo malah diem aja kayak patung.”

Arka nyengir. “Ya gue fokus… ke instruktur gue.”

Olivia spontan nyubit lengan Arka. “Bisa-bisanya, lo godain gue? Nih, lanjut sendiri. Gue pengen liat lo bikin garis lurus.”

Arka coba narik garis. Hasilnya? Bengkok parah. Olivia langsung ngakak.

“Hahaha! Astaga Ka, ini garis atau jalan tikus? Nggak bisa lurus gitu?!”

Arka males. “Namanya juga baru pertama.”

Olivia sodorin penghapus. “Udah, hapus. Ulang. Santai aja, jangan tegang.”

Arka coba lagi, tapi masih aja melenceng. Olivia sampai tepok jidat. “Ampun… parah banget.”

Karena nggak tega, Olivia akhirnya balik lagi pegangin tangan Arka. “Udah sini, gue tuntun lagi. Ikutin ritme gue. Tarik nafas dulu, buang… nah, tarik garis pelan-pelan.”

Kali ini garisnya lumayan rapi. Olivia otomatis senyum puas. “Nah gitu dong. Kan bisa kalo nggak ngeyel.”

Arka malah nyeletuk, nada rendah tapi bikin suasana beda. “Mungkin karena lo yang tuntun.”

Olivia langsung diem sepersekian detik. Tangannya masih di atas tangan Arka. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kenceng.

Dia buru-buru narik tangannya. “Yaudah, lanjut aja sendiri. Gue mau siapin buat besok.”

Arka masih senyum tipis, matanya nggak lepas dari Olivia.

Beberapa menit berlalu. Arka coba bikin sketsa wajah ibunya, tapi hasilnya masih acak-acakan. Olivia nyamperin lagi, duduk deket banget, sampai bahu mereka nyenggol.

“Ya ampun Ka, ini muka apa peta? Hidungnya kok kayak gunung Merapi?”

Arka ngangkat bahu. “Ya gue udah bilang gue nggak bisa gambar.”

Olivia nggak tahan, akhirnya ketawa sampai matanya berkaca. “Gila, ini kado ulang tahun atau bahan horor? Nyokap lo bisa kabur liat hasilnya.”

Arka ikutan ketawa kecil, tapi tetap lanjut. Tangannya salah arah lagi. Olivia spontan narik pensil dari tangannya.

“Udah sini! Lo bikin gue stress.”

“Lah, katanya ngajarin.”

“Nih, gue ajarin cara bikin lingkaran dasar buat kepala. Jangan langsung asal bikin mata-hidung-mulut.” Olivia bikin lingkaran di samping sketsa Arka. “Lo tiru. Gampang kan?”

Arka coba bikin. Lingkarannya aneh, agak gepeng. Olivia otomatis ngakak lagi. “HAHAHA, Ka… ini lingkaran atau telur ceplok?”

Arka mendengus. “Lo nyebelin.”

“Tapi bener kan?” Olivia masih cekikikan.

Arka geleng sambil senyum. “Yaudah, besok lo aja yang bikin. Gue cukup jadi penonton.”

Olivia berdecak. “Payah lo. Masa kalah sama mahasiswa seni? Harusnya kan biasanya cowok lebih bisa mikir struktur, proporsi. Ini malah bikin lingkaran gepeng.”

Arka balas santai. “Cowok bisanya bikin gambar jembatan, bukan lingkaran kepala.”

Olivia tepok bahu Arka. “Alasan.”

Mereka ketawa bareng. Suasana jadi ringan banget.

Jam makin malem. Olivia akhirnya nyuruh Arka berhenti. “Udah, cukup. Besok aja lanjutnya. Ntar lo malah mimpi buruk gara-gara gambar lo sendiri. Biar gue lanjutin aja sini.”

Arka taruh pensil, nyandarin badan ke kursi. Dia menatap kertas kanvas kosong beberapa detik, lalu beralih ke Olivia yang mulai melanjutkan sketsanya.

“Thanks, Liv.”

Olivia noleh. “Thanks apaan?”

“Udah mau bantuin gue. Kalo nggak ada lo, mungkin gue masih muter-muter mall sampe sekarang.”

Olivia senyum kecil. “Santai aja. Gue seneng kok bisa ikut bantu. Lagian… lucu juga liat lo nyoba gambar.”

Arka mendengus. “Lucu apanya? Malu ada kali.”

Olivia nyengir. “Nggak kok. Justru… gue nggak nyangka lo bisa serius gitu. Biasanya lo kan ngeselin banget.”

Arka menatap Olivia lebih lama. Matanya dalem, nggak ada senyum nyebelin kali ini.

“Makasih, Liv,” bisiknya pelan, nyaris nggak kedengeran.

Malam itu kamar jadi hening. Olivia memang fokus melanjutkan sketsanya. Tapi pikirannya masih keinget gimana Arka barusan serius banget belajar, gimana tatapannya waktu mereka deketan.

Dan tanpa sadar, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Malam itu, seolah ada garis tipis yang mulai ditarik di antara mereka. Garis samar, tapi jelas terasa—seperti sketsa pertama di kanvas kosong.

1
Sara la pulga
Gemesinnya minta ampun!
Nụ cười nhạt nhòa
Keren, thor udah sukses buat cerita yang bikin deg-degan!
°·`.Elliot.'·°
Aku beneran suka dengan karakter tokoh dalam cerita ini, thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!