Najwa, siswi baru SMA 1 Tangerang, menghadapi hari pertamanya dengan penuh tekanan. Dari masalah keluarga yang keras hingga bullying di sekolah, dia harus bertahan di tengah hinaan teman-temannya. Meski hidupnya serba kekurangan, Najwa menemukan pelarian dan rasa percaya diri lewat pelajaran favoritnya, matematika. Dengan tekad kuat untuk meraih nilai bagus demi masa depan, dia menapaki hari-hari sulit dengan semangat pantang menyerah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanafi Diningrat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tembok invincible
Najwa berjalan masuk ke gerbang sekolah dengan kepala tertunduk. Sudah tiga hari sejak identitasnya terbongkar, dan situasinya makin memburuk. Siswa-siswa yang lewat di sampingnya berbisik-bisik sambil ngeliatin dengan tatapan takut bercampur jijik.
"Itu dia si pembunuh."
"Serem banget ya, bisa bunuh bapak sendiri."
"Gue sih nggak mau deket-deket sama dia. Takut diapa-apain."
Najwa mengepalkan tangannya sambil terus berjalan. Dadanya sesak, tapi dia coba tahan biar nggak terlihat lemah.
Di depan kelasnya, Sinta udah nungguin sambil bawa dua kotak bekal. Wajahnya ceria meski terlihat agak lelah.
"Pagi, Najwa! Aku bawain bekal buat kamu." Sinta menyodorkan kotak bekal dengan senyum hangat.
"Makasih, Sin. Kamu nggak usah repot-repot." Najwa menerima bekal sambil merasa terharu. Di tengah situasi kayak gini, masih ada yang peduli sama dia.
"Nggak apa-apa. Kita kan sahabat."
Mereka masuk kelas bersama. Begitu Najwa duduk di bangkunya, siswa-siswa di sekitarnya refleks geser kursi menjauhi. Kevin yang duduk dua bangku di depan, langsung pindah ke bangku paling pojok.
"Gila, lo pada takut banget sama gue." Najwa nyeletuk dengan nada sarkastik. "Gue nggak bakal gigit kok."
Kevin noleh dengan wajah tegang. "Lu jangan bercanda soal ginian. Gue emang takut sama pembunuh."
"Pembunuh? GUE BUKAN PEMBUNUH!" Najwa berdiri sambil membentak. Beberapa siswa yang baru masuk kelas langsung mundur ke belakang.
"Terus lu apa? Ayah lu kan mati gara-gara lu." Indah ikut nyahut dari bangku depan. "Kalau bukan pembunuh, terus apa?"
"LU NGGAK TAU APA-APA SOAL HIDUP GUE!" Najwa jalan ke arah Indah dengan mata memerah. "BAPAK GUE ITU BINATANG! DIA NYIKSA GUE BERTAHUN-TAHUN!"
"Najwa, duduk!" Bu Ratih masuk kelas dengan wajah tegas. "Kenapa kamu teriak-teriak?"
Najwa masih berdiri sambil napas terengah-engah. Tangannya gemetar karena marah dan sedih campur jadi satu.
"Mereka bilang aku pembunuh, Bu. Padahal mereka nggak tau ceritanya gimana."
"Tapi lu emang bunuh orang kan?" Kevin masih ngotot dari bangkunya. "Fakta nggak bisa dibantah."
"TUTUP MULUT LU!" Najwa mau lunge ke arah Kevin, tapi Sinta langsung pegangan tangannya.
"Najwa, udah. Jangan kayak gini." Sinta bisik sambil menarik Najwa ke bangkunya.
"KEVIN!" Bu Ratih membentak dengan suara keras. "Keluar dari kelas! Sekarang!"
"Bu, tapi..."
"KELUAR!"
Kevin ngambek sambil ambil tasnya. Sebelum keluar, dia ngeliatin Najwa dengan tatapan benci. "Lu emang psycho."
Setelah Kevin keluar, suasana kelas masih tegang. Bu Ratih memulai pelajaran dengan nada yang lebih pelan, tapi Najwa sama sekali nggak bisa fokus. Pikirannya dipenuhi kata-kata Kevin yang nyakitin hati.
Waktu istirahat, Najwa dan Sinta jalan ke kantin. Tapi begitu mereka masuk, suasana kantin yang tadinya rame langsung agak hening. Siswa-siswa pada bisik-bisik sambil ngeliatin ke arah Najwa.
"Gue nggak jadi makan deh." Najwa mau balik, tapi Sinta pegang lengannya.
"Nggak boleh. Kamu harus makan. Dari kemarin kamu kurus terus."
Mereka ngantri di stand bakso. Tapi penjual baksonya, Pak Udin yang biasanya ramah, kali ini melayani dengan wajah kaku.
"Mau pesan apa?" suaranya dingin banget.
"Bakso biasa dua, Pak." Sinta menjawab.
Pak Udin nyiapin bakso sambil sesekali ngelirik ke Najwa dengan tatapan waspada. Seakan-akan Najwa bakal nyerang dia kapan aja.
"Ni, baksonya." Pak Udin naruh mangkuk dengan agak kasar sampai kuahnya tumpah dikit.
"Pak, hati-hati dong." Sinta protes.
"Maaf ya, Dik. Tangan gue lagi gemetar nih." Pak Udin masih ngeliatin Najwa. "Takut sama orang-orang yang... ya gitu deh."
Najwa udah gak tahan. "PAK, GUE NGGAK AKAN NYAKITIN BAPAK! GUE BUKAN MONSTER!"
"Najwa!" Sinta langsung narik Najwa menjauh dari stand bakso. Semua mata di kantin sekarang menatap ke arah mereka.
Mereka duduk di meja pojok yang paling sepi. Najwa makan sambil nahan tangis. Rasa baksonya hambar banget di lidahnya.
"Najwa, sabar ya. Mereka cuma belum ngerti aja." Sinta mencoba menghibur sambil makan baksonya.
"Ngerti gimana? Udah jelas gue yang salah di mata mereka." Najwa nyeruput kuah dengan mata kosong. "Gue pembunuh, psycho, monster. Label apa lagi?"
"Kamu bukan semua itu. Kamu korban yang terpaksa melindungi diri."
Sebelum Najwa bisa jawab, sekelompok cewek kelas XI lewat di samping meja mereka. Salah satunya, cewek berambut panjang dengan lip tint merah, sengaja ngomong keras.
"Eh, itu dia kan yang viral di berita? Yang bunuh bapaknya sendiri?"
"Iya tuh. Gila ya, anak sekecil itu udah jadi pembunuh."
"Untung gue nggak satu kelas sama dia. Takut ditusuk pake pulpen."
Mereka ketawa sambil ngeliatin Najwa dengan tatapan mengejek.
Najwa berdiri dengan mata memerah. "EH! LU PADA MAU NGOMONG APA?"
Cewek berambut panjang itu noleh dengan senyum sinis. "Loh, emang salah? Gue cuma ngomong fakta."
"FAKTA APAAN? LU NGGAK TAU APA-APA!"
"Yang gue tau, lu udah bunuh orang. Itu aja cukup." Cewek itu melipat tangannya di dada. "Seharusnya orang kayak lu nggak boleh sekolah bareng kami."
"GUE PUNYA HAK YANG SAMA KAYAK LU!"
"Hak? Pembunuh mana ada hak." Cewek itu ketawa bareng temen-temennya. "Mending lu pindah sekolah aja. Bikin risih."
Najwa udah gak bisa nahan lagi. Air mata ngalir deras di pipinya. "GUE NGGAK MINTA DILAHIRIN JADI KAYAK GINI! LU PIKIR GUE SENANG HIDUP KAYAK GINI?"
"Ya udah, jangan sekolah di sini dong. Cari sekolah buat orang-orang kayak lu."
"SEKOLAH BUAT ORANG KAYAK AKU ITU DIMANA? HAH?"
Sinta berdiri sambil memeluk Najwa yang sudah breakdown total. "Udah, Najwa. Mereka nggak worth it."
"Iya tuh, dengerin temen lu. Jangan ngamuk-ngamuk." Cewek itu masih nyinyir. "Nanti lu bunuh kami juga."
"TUTUP MULUT LU!" Najwa teriak sekeras-kerasnya. Seluruh kantin sekarang ngeliatin ke arah mereka.
"Najwa Kusuma!" Suara Pak Budi, guru BK, menggelegar dari arah pintu kantin. "Ikut saya ke ruang BK. Sekarang!"
Najwa ngeliatin Pak Budi dengan mata masih berlinang air mata. Dia ngelap hidungnya yang meler sambil ngikutin Pak Budi keluar kantin.
Di ruang BK, Pak Budi duduk di kursinya sambil menatap Najwa dengan ekspresi capek.
"Najwa, ini sudah kejadian ketiga minggu ini. Kamu selalu terlibat konflik."
"Pak, mereka yang mulai duluan. Mereka ngatain aku pembunuh terus."
"Tapi kamu nggak boleh merespon dengan emosi kayak gini. Kamu bisa dikeluarkan dari sekolah."
Najwa merasa dunia runtuh. "Pak, jangan keluarin aku. Ini satu-satunya sekolah yang mau terima aku."
"Lalu apa solusinya? Kamu terus bertengkar sama teman-teman?"
"Aku... aku nggak tau, Pak." Najwa menundukkan kepalanya. "Aku cuma pengen sekolah normal kayak anak-anak lain."
Pak Budi menghela napas panjang. "Najwa, hidup memang nggak adil. Tapi kamu harus belajar menghadapinya dengan cara yang lebih dewasa."
"Gimana caranya dewasa kalau mereka terus ngatain aku monster?"
"Dengan membuktikan kalau kamu bukan monster. Bukan dengan teriak-teriak dan ngamuk."
Najwa terdiam. Pak Budi bener, tapi lebih mudah ngomong daripada ngelakuin.
"Aku kasih kamu peringatan terakhir. Kalau ada masalah lagi, kamu harus pindah sekolah."
Setelah keluar dari ruang BK, Najwa balik ke kelas dengan perasaan hancur. Pelajaran udah dimulai, dan semua mata ngeliatin dia begitu masuk kelas.
"Kenapa telat?" Bu Ratih bertanya dengan nada khawatir.
"Dipanggil ke BK, Bu."
Najwa duduk di bangkunya sambil merasa kayak ada tembok invisible yang ngepisahin dia sama teman-teman sekelasnya. Mereka duduk, tapi nggak ada yang mau deket sama dia. Mereka ngomong, tapi nggak ada yang ngajak dia ikut.
"Najwa, kamu baik-baik aja?" Sinta bisik sambil nyoret-nyoret buku catatannya.
"Nggak tau lagi, Sin. Rasanya aku kayak hantu yang nggak keliatan, tapi semua orang takut."
Sinta megang tangan Najwa di bawah meja. "Aku masih di sini kok. Kamu nggak sendirian."
"Makasih, Sin. Kamu satu-satunya alasan aku belum gila."
Pelajaran berlanjut, tapi Najwa sama sekali nggak bisa fokus. Pikirannya melayang ke masa depan yang makin gelap. Kalau situasi kayak gini terus berlanjut, dia bisa-bisa beneran dikeluarin dari sekolah.
Waktu pelajaran olahraga, situasinya makin parah. Najwa nggak dipilih sama siapa-siapa waktu bagi tim. Dia berdiri sendirian di pinggir lapangan sambil ngeliatin teman-temannya main voli.
"Najwa, masuk tim aku aja." Sinta nyoba ngajak dari tim sebelah.
"Eh, nggak usah Sin. Tim kita udah cukup." Kevin, yang jadi kapten tim Sinta, langsung nolak. "Dia main sendirian aja."
"Kevin, jangan kayak gitu dong." Sinta protes.
"Gue nggak mau satu tim sama dia. Takut diapa-apain."
"LU KIRA GUE MAU SATU TIM SAMA LU?" Najwa teriak dari pinggir lapangan. "GUE JUGA JIJIK SAMA LU!"
"Najwa!" Pak Joko, guru olahraga, menegur. "Duduk di bangku cadangan!"
Najwa duduk di bangku sambil ngeliatin teman-temannya main. Perasaannya campur aduk antara marah, sedih, sama putus asa.
Pulang sekolah, Najwa jalan sendirian karena Sinta ada ekstrakurikuler. Jalanan Bogor sore hari yang biasanya bikin dia tenang, kali ini malah bikin dia makin sedih.
Sampai di panti, Kirana langsung nyambut dengan wajah cemas. "Najwa! Gimana hari ini?"
"Makin parah." Najwa melempar tas sekolahnya ke kasur. "Mereka mulai ngucilkan aku total."
"Bangsat emang tuh anak-anak!" Kirana ikut emosi. "Besok aku ke sekolah lu, mau omel-omelin mereka!"
"Nggak usah, Kir. Nanti malah tambah ribet." Najwa tiduran sambil memeluk guling. "Aku udah capek."
"Najwa, jangan nyerah. Mereka cuma belum ngerti aja."
"Ngerti gimana? Yang mereka tau cuma aku pembunuh. Titik."
Kirana duduk di sebelah kasur Najwa sambil ngusap kepalanya. "Kamu nggak sendirian. Kita semua di sini sayang sama kamu."
"Aku tau. Tapi di sekolah rasanya kayak hidup di neraka."
"Terus kamu mau gimana? Pindah sekolah?"
Najwa terdiam. Pindah sekolah? Kemana? Siapa yang mau nerima dia?
"Nggak tau, Kir. Aku bingung."
Malam itu, Najwa tiduran sambil ngeliatin langit-langit kamar. Suara hujan Bogor yang biasanya bikin dia tenang, kali ini malah bikin dia makin galau.
"Ibu, aku udah nggak kuat lagi." Najwa berbisik sambil megang foto ibunya. "Kenapa hidup aku harus sesulit ini?"
Di luar, petir menyambar sambil menerangi kamar sebentar. Najwa ngerasa kayak petir itu ngegambarin hidupnya - gelap, menakutkan, dan penuh badai.
Dia gak tau seberapa lama lagi dia bisa bertahan di sekolah ini. Tapi satu hal yang pasti - dia nggak akan nyerah gampang.
Meski dunia menentangnya, dia harus tetap berjuang. Untuk masa depannya, untuk almarhum ibunya, dan untuk membuktikan kalau dia bukan monster yang dikira semua orang.