NovelToon NovelToon
Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Anak Genius / Aliansi Pernikahan / Anak Kembar / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.

Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.

"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.

Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 15

Zamara bingung. “Eh, emang kenapa sih? Kalian semua diem gitu nggak cocok ya?”

Ustadz Yassir maju paling depan.

“Bismillah,” ucapnya pelan sebelum nyendok omelet. Wajahnya berubah seketika, tapi dia tetap senyum.

“Enak banget,” ucapnya mantap. “Serius, beda dari biasanya. Ini baru rasa cinta dalam masakan.”

“Ini beneran Mbak yang masak?” tanya Faris sambil ngelirik piringnya.

Zamara cuma angguk, senyumnya kaku.

Salwa bisik ke Gilang, “Ini omelet ya? Tapi kenapa keras banget kayak sandal jepit baru?”

“Shhh, jangan gitu ah. Kasihan kakak ipar,” sahut Gilang lirih sambil tahan ketawa.

Bu Salamah duduk di pojok, bibirnya menahan senyum. Pak Lukman garuk-garuk kepala, sedangkan Pak Mahmud pura-pura batuk pas ngunyah suapan pertama.

“Ayo dimakan jangan liatin doang,” kata Zamara sambil nyodorin sendok ke Salman.

“Eh, iya enak dan sangat unik rasanya,” jawab Salman buru-buru sambil nutupin hidung pakai tangan.

Annisa cekikikan. “Kayaknya ini nasi goreng rasa eksperimen, ya.”

“Udah jangan nyinyir,” tegur Aliyah. “Yang penting niatnya mbak Zamara, kan?”

Zamara melotot. “Kamu bohong, ya?”

“Enggak, demi kamu. Nih, aku habisin semuanya.” ujarnya.

Dia lanjut makan walau air matanya nyaris keluar, bukan karena haru tapi kepedesan yang enggak jelas sumbernya.

Bu Sarah pelan-pelan nyendok nasi, langsung disusul Pak Lukman. Mereka makan sambil saling pandang dan tahan tawa.

Zamara ikut cicipin begitu nasi masuk mulut matanya membesar.

“Ya Allah! Ini apaan sih yang aku masak? Rasanya aneh banget!” serunya sambil refleks narik tisu dan ngelap lidahnya sendiri.

Ahmad ngakak, “Tuh kan! Aku bilang juga apa!”

Salwa ikut terbahak. “Tapi sumpah seru banget pagi ini.”

“Gara-gara kamu masak, rumah jadi rame gini,” tambah Faris.

Zamara tutup wajah pakai celemek. “Aku malu banget padahal pengen gantiin tugasnya Bu Salamah.”

Bu Salamah rangkul pundaknya. “Namanya juga belajar enggak ada yang langsung jago.”

“Besok-besok bantuin aja dulu, ya?” saran Bu Sarah lembut.

“Setuju,” timpal Pak Mahmud. “Daripada semua perut pada demo kayak tadi.”

Suasana dapur makin meriah. Tawa meledak. Zamara ikut ketawa walau matanya berkaca.

Hari itu, meski rasa masakan berantakan, cinta dan tawa tetap jadi menu utama.

“Katanya sih, kakak ipar kita tuh jenius. Bedah pasien matanya enggak kedip,” celetuk Faris sambil nyengir.

“Lah, iya. Otaknya tuh kayak Google. Tapi giliran masak, kayaknya salah masuk jurusan deh,” sambung Gilang sambil ngelirik nasi yang masih utuh di piringnya.

“Ini tuh omelet atau serpihan batu bata?” tanya Salman pelan tapi bikin semua nahan ketawa.

“Jangan gitu ah,” ucap Annisa sambil pura-pura batuk. “Nanti Kak Zamara sedih.”

Salwa angkat tangan, “Sumpah ya, tadi aku kira itu abon, ternyata cabai gorengnya kebakar.”

Ahmad nahan tawa. “Kalo pasien tahu tangan ahli bedah mereka sekarang bikin nasi goreng kayak gini, bisa trauma makan di rumah sakit.”

“Eh, tapi niatnya bagus loh,” bela Aliyah.

“Jarang-jarang Kak Zamara bangun duluan terus masak kayak gini.” sahutnya Bayu.

Zamara berdiri di depan meja, tangan gemetaran pegang sendok. “Aku cuma pengen bikin sarapan buat kalian semua. Salah ya?”

“Enggak salah, Mar,” ucap Ustadz Yassir sambil mengusap punggung sang istri wanita yang baru dua hari dinikahinya itu.

“Cuma rasanya kayak pengalaman spiritual baru.”

Salwa ngakak. “Pengalaman antara hidup dan mati?”

“Pokoknya,” imbuh Faris cepat, “mulai sekarang, Kak Zamara mending ngasih ide masakan aja, eksekusinya tetap Bu Salamah.”

Bu Salamah angguk setuju. “Tapi enggak papa, sayang. Semua kok butuh proses Chef handal juga pernah masak asin kayak air laut.”

“Besok latihan lagi, Kak. Tapi tolong, jangan pake cabai yang udah gosong,” saran Annisa sambil ngusap perutnya.

“Yaudah yuk, kita bantu beresin dapur. Kasihan juga Kak Zamara, udah semangat dari subuh,” seru Aliyah sambil narik tangan Salwa.

Zamara cemberut, tapi akhirnya ketawa juga. “Besok aku bikin kopi aja deh nasi goreng pensiun dulu.”

Beberapa jam kemudian rumah sakit swasta terbaik di Jakarta…

“Mar, kamu yakin enggak mau istirahat dulu? Tadi pagi masak sekarang langsung bedah pasien,” ucap Ustadz Yassir sambil bantuin Zamara pasang masker bedah.

Zamara rapikan hijab medisnya. “Enggak bisa, Mas. Ini darurat pasiennya butuh tindakan segera. Penyakitnya langka, jarang banget muncul dan enggak banyak dokter yang tahu langkahnya.”

“Kalau bukan kamu, siapa lagi?” imbuh Ustadz Yassir pelan. “Cuma kamu yang ngerti pola anomali penyakit ini.”

Zamara tarik napas panjang. “Aku juga deg-degan. Tapi aku udah pelajari semua datanya tadi malam.”

Perawat datang, mengangguk sopan. “Dokter Zamara, tim sudah siap. Pasien stabil tinggal nunggu Anda.”

Zamara angguk mantap. “Bismillah.”

Mereka jalan bareng ke lorong steril. Ustadz Yassir pegang tangan istrinya sebentar sebelum batas ruang operasi.

“Kamu luar biasa, Mar,” bisiknya. “Doaku ikut masuk ruang itu.”

Zamara senyum. “Mas juga jangan lupa ngajarnya santri-santri nungguin.”

“Aku ke Al Furqon dulu, ya. Nanti habis zuhur aku balik ke sini.”

“Enggak usah pulangnya langsung ke rumah aja,” sahut Zamara pelan. “Aku mungkin kelamaan di ruang tindakan.”

Ustadz Yassir angguk. “Tapi tetap kabarin aku begitu selesai, ya.”

Zamara lempar tatapan penuh keyakinan. “Insya Allah.”

Ustadz Yassir mundur pelan. “Assalamu’alaikum, calon profesor bedah.”

“Wa’alaikumussalam, calon Papa terbaik dan teladan,” sahut Zamara sebelum pintu ruang operasi tertutup rapat.

Perawat mendorong pintu, Zamara masuk. Lampu di dalam menyala terang. Di luar, Ustadz Yassir berdiri sebentar menunduk, berdoa lalu melangkah pergi menuju ponpes meninggalkan haru yang diam-diam menghangatkan hati.

“Pasien udah dibius total, tekanan darah stabil, saturasi normal,” lapor suster Nani dengan nada tegas.

Zamara berdiri di ujung meja operasi. Tangannya sudah bersarung steril, wajahnya tersembunyi di balik masker, tapi sorot matanya tajam.

“Tim radiologi, kamu standby di monitor. Kalau ada pendarahan sekecil apa pun, aku harus tahu detiknya,” ucap Zamara mantap.

“Siap, Dok!” sahut perawat lain sambil geser layar ke sisi kanan.

“Pasien ini punya kelainan arteri yang menyilang di bagian liver, persis di bawah diafragma,” ujar Zamara sambil menatap gambar hasil CT-Scan yang menggantung di dinding.

“Kayaknya itu penyebab utama nyeri kronisnya,” imbuh dr. Rio, asisten bedah yang berdiri di sebelah kiri.

Zamara mengangguk kecil. “Betul. Tapi bagian tersulit bukan itu...”

“Jalur sarafnya nempel sama jaringan lunak. Sekali salah potong, bisa lumpuh permanen,” sambung Zamara dengan suara pelan namun penuh tekanan.

Seluruh ruangan hening. Hanya bunyi alat monitor berdetak stabil. Tangan Zamara mulai bergerak, perlahan membuka lapisan jaringan.

“Lapisan ketiga, pisau bedah nomor sebelas,” pintanya.

Suster langsung menyerahkan alat.

“Pembuluh utamanya ketemu,” ucap dr. Rio. “Tapi posisinya lebih dalam dari prediksi.”

“Kamu tahan ini,” perintah Zamara sambil jepit pembuluh kecil yang melebar. “Kalau sampai robek, pasien bisa drop dalam tiga menit.”

Beberapa detik berlalu, keringat mulai membasahi pelipisnya Zamara tak berkedip.

“Tahan napas semuanya. Sekali lagi,” bisiknya, lalu...

“Alhamdulillah,” ucap Zamara akhirnya.

“Jaringan abnormal berhasil diangkat. Enggak ada pendarahan dan kondisi pasien stabil.”

Suster Nani langsung senyum lega. “Hebat, Dok... sumpah, saya sampai deg-degan sendiri tadi.”

dr. Rio bertepuk pelan. “Kamu bikin kami semua diam setengah jam, tahu enggak?”

Zamara menghela napas panjang. “Karena ini nyawa manusia sedikit pun enggak boleh sembrono.”

“Kalau semua dokter muda selevel kamu, rumah sakit ini bisa jadi rujukan internasional,” puji dr. Rio sambil lepas sarung tangannya.

Zamara tak berkata apa-apa. Matanya hanya menerawang sebentar. Dalam hati, ia membisikkan satu nama. Mas Yassir aku berhasil.

Suara adzan zuhur baru saja selesai berkumandang dari surau kecil di pojok halaman.

Angin siang meniup pelan dedaunan mangga yang rindang di tengah halaman pesantren.

Ustadz Yassir melangkah santai menuju kelas. Kemeja lengan panjang warna krem yang digulung hingga siku dipadukan dengan celana chino gelap dan sneakers putih bersih. Di lehernya tergantung syal tipis motif etnik, menggantikan sorban tradisional.

Sebuah tas kulit selempang menempel di tubuhnya, berisi kitab dan laptop tipis. Jam tangan klasik melingkar di pergelangan kirinya, melengkapi penampilannya yang rapi namun tetap bersahaja.

Beberapa santri sudah duduk rapi. Sebagian masih sibuk nyalin catatan, ada juga yang nyeletuk sambil nahan ngantuk.

“Assalamu’alaikum, anak-anak cahaya Qur’an,” sapa Ustadz Yassir sambil senyum lebar.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah,” sahut mereka serempak, sebagian ada yang langsung duduk tegap.

"Astagfirullah… tapi MasyaAllah, Ustadz makin keren aja ya hari ini," bisik Salma sambil menutupi wajahnya dengan jilbab, padahal matanya curi-curi pandang.

"Itu bukan ustadz, itu kayak model majalah Islami," celetuk Rania sambil pura-pura buka catatan tapi pandangannya nggak lepas dari langkah Ustadz Yassir.

"Ya Allah… kenapa sih udah nikah duluan? Nggak nunggu aku?" gumam Faiza lirih, disambut elusan pelan dari temannya.

"Pantas aja Bu Ustadzah-nya nggak pernah galau, tiap hari liat suami kayak gitu," ujar Aulia, lalu buru-buru istighfar sendiri karena merasa ngomong terlalu jauh.

"Waduh, niat ngaji hari ini agak goyah, nih," sahut Fani setengah bercanda, setengah serius.

Sementara dari barisan santri ikhwan:

"Kayaknya kita harus upgrade fashion deh, masa kalah sama Ustadz sendiri," ujar Yusuf sambil nyengir.

"Ustadz emang legend. Bisa modis, tapi tetap berwibawa," kata Arfan kagum.

Suasana kelas masih riuh rendah dengan bisik-bisik para santri. Beberapa mencoba menahan senyum, yang lain pura-pura sibuk dengan kitab di meja. Tapi pandangan mereka jelas masih tertuju pada satu sosok.

Ustadz Yassir tersenyum kecil. Ia meletakkan tas selempangnya di atas meja dan berdiri di depan kelas sambil merapikan ujung kemejanya yang tergulung rapi.

"Kalian kelihatan semangat sekali hari ini. Karena mau ngaji atau karena ustadz ganti gaya berpakaian?" tanyanya tenang, tapi nadanya penuh seloroh.

Beberapa santri spontan tertawa kecil, sebagian hanya bisa menunduk malu-malu.

"MasyaAllah Ustadz, gantengnya nambah berkah ya," celetuk Salma dari barisan tengah, disambut gelak tawa ringan.

Ustadz Yassir tersenyum lebih lebar, tapi tetap menjaga pandangan.

"Alhamdulillah… semua ini karena nasihat istri tercinta di rumah," jawabnya santai.

"Beliau bilang, ‘Ayah harus kelihatan segar dan rapi, supaya semangat ngajarnya nular ke para santri.’"

Seisi kelas hening sejenak, lalu ada yang nyeletuk pelan:

"Istrinya Ustadz siapa sih? Dapat pahalanya dobel pasti."

Ustadz Yassir tersenyum simpul.

"Istriku dokter. Tapi kalau sudah di rumah, dia tetap guru pertama buat suaminya. Yang ngingetin makan, ngingetin waktu tidur, bahkan ngingetin warna baju."

Santri ikhwan berdecak kagum, santri akhwat? Cuma bisa saling pandang, senyum, dan patah hati berjamaah dalam diam.

“Kita mulai dengan satu pertanyaan,” katanya sambil duduk di atas karpet tipis. “Siapa yang bisa kasih tahu arti husnudzan dalam kehidupan sehari-hari?”

Tangan kecil Salman, santri kelas dua aliyah, langsung terangkat. “Berpikir baik, Ustadz!”

“Betul. Tapi berpikir baik sama siapa?” tanya Ustadz Yassir sambil menatap satu-satu.

“Sama Allah!” seru Sabil.

“Sama manusia juga!” tambah Umar.

Ustadz Yassir mengangguk. “Kalau kalian tahu istri kalian lagi di ruang operasi, pegang pisau bedah, sedangkan kalian cuma bisa nunggu kabar husnudzon atau panik?”

“Waduh, itu sih panik dulu baru husnudzan, Ustadz,” celetuk Abdul bikin satu kelas ketawa.

“Makanya, belajar husnudzan itu kayak belajar tahan lapar pas puasa. Berat, tapi bisa dilatih.”

Seisi kelas mulai serius. Ustadz Yassir buka mushaf kecil dari tasnya.

“Hari ini kita buka surat Al-Hujurat, ayat 12. Allah bilang apa soal sangka-sangka ini?”

Santri berebut buka mushaf. Lantunan pelan ayat itu terdengar lirih dari bibir mereka.

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka... karena sebagian prasangka itu dosa,” ucap Ustadz Yassir pelan, nadanya lembut tapi dalam.

“Coba bayangin, kalau prasangka bisa jadi dosa, kira-kira berapa banyak kita jatuh ke dalamnya tiap hari?”

“Makanya, yuk belajar bareng. Ganti prasangka buruk dengan doa. Ganti tuduhan dengan dzikir. Ganti curiga dengan tabayyun.”

Sabil angkat tangan. “Ustadz, kalau kita udah terlanjur suudzan terus nyesel gimana?”

“Doa. Minta ampun. Minta dikuatin buat enggak ngulangin. Kayak kamu belajar ngaji. Salah terus kan awalnya? Tapi karena kamu mau terus belajar, Allah kasih jalan.”

Salman berseru, “Ustadz keren banget! Serasa ngaji sambil disiram AC dari surga!”

Semua ketawa. Ustadz Yassir ikut tertawa pelan. “Kalau bisa nyambung ke hati kalian, berarti Allah yang kasih jalan, bukan saya.”

Azan iqamah mulai berkumandang. Santri berdiri, berbaris, bersiap ke masjid.

Ustadz Yassir menatap mereka satu-satu. Dalam hatinya, ia bisikkan satu harap. Ya Rabb, jaga Zamara di rumah sakit. Dan jaga hati anak-anak ini dalam cahaya-Mu.

1
Abel Incess
nangis bombay pagi" Thor 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: nggak tanggung tissu yah kakak 🤣🤭🙏🏻
total 1 replies
Abel Incess
Asli ini sangat menyakitkan 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sabar kak ini ujian 🤣☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Enz99
jangan lama-lama sedihnya Thor.... balikin zamara nya y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Mami Pihri An Nur
Wooowww,, perempuan egois, menantang bpknya sndri masalh keturunan, tp dia sndri yg utamakn keturunan laki2 buat penerus trs ditingglkn ank ceweknya,, aku kecewa thour di tengh crtanya ko gini, dikira Setelah punya ank akn bhgia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: masih panjang kak ceritanya 🤭😂
total 1 replies
Isma Isma
apa zamara punya penyakit bikin penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: tungguin selanjutnya
total 1 replies
Abel Incess
apa sih tujuannya Zamara, makin penasaran
Enz99
bagus bangettt.... lanjut thor
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak
total 1 replies
darsih
zamara penuh teka teki JD penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak sudah mampir baca
total 1 replies
darsih
JD penasaran SM zamara penuh teka- teki
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: baca lanjutannya kakak biar kejwab
total 1 replies
Eva Karmita
ada misi apa kamu Zamara...dalam satu Minggu harus bisa menaklukkan ustadz Yassir...??
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: rahasia 😂🤣
total 1 replies
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!