Amira 22 tahun menikah kontrak dengan Ferdi baskara untuk biaya kesembuhan ayah angkatnya.
Amira bar-bar vs Ferdi yang perfeksionis
bagaimana kisah tom and Jery ini berlangsung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
seperti ini rupanya
“Ya, benar, Pak. Ada apa, ya?” jawab Ferdi tenang.
Deg! Jantung Zaky seakan berhenti berdetak. Ternyata Amira tidak berbohong—Ferdi memang suaminya.
“Maaf, Pak. Kami tidak tahu kalau itu istri Anda. Kami akan antarkan sekarang,” ucap Zaky ketakutan mendengar fakta itu.
“Tidak perlu diantarkan. Rahasiakan saja, jangan sampai ada yang tahu. Masukkan saja dia ke lapas laki-laki,” ujar Ferdi menyeringai licik. Akhirnya ia bisa mengerjai Amira, membalas semua keisengan Amira padanya.
Zaky tampak bingung dengan perintah ini. Amira memang benar sudah melakukan penganiayaan di depan umum, memang layak dihukum. Namun memindahkan Amira ke penjara lelaki adalah hal yang berbeda.
“Ikuti saja perintah saya, Pak,” tegas Ferdi.
“Ya...” hanya itu yang keluar dari mulut Zaky, meski hatinya kacau, bingung harus berbuat apa.
“Apa kata Pak Ferdi?” suara Mili mengejutkan Zaky yang sedang melamun.
Zaky menarik napas berat. “Pak Ferdi minta ini dirahasiakan dan Amira dipindahkan ke lapas lelaki.”
“Berarti dia orang berbahaya. Mungkin musuh Pak Ferdi yang disusupkan. Cara dia berbicara dan berhadapan dengan kita—Amira sama sekali tidak menunjukkan ketakutan. Itu artinya dia terbiasa menghadapi kasus hukum seperti ini,” jelas Mili. Dalam hatinya, Mili sebenarnya diliputi rasa iri. Ia kesal karena Amira cantik, jadi pusat perhatian petugas dan penghuni lapas, sementara dirinya serasa orang nomor dua.
“Ya sudah, masukkan saja ke lapas laki-laki. Bilang saja dia napi berbahaya dan membuat keributan di lapas perempuan,” akhirnya Zaky memutuskan, meski hatinya masih bimbang.
Mili masuk ke ruang interogasi.
“Bagaimana, Bu? Suamiku pasti melepaskanku, bukan?” tanya Amira dengan senyum percaya diri.
“Anda orang berbahaya bagi Tuan Ferdi. Jadi, Anda akan dipindahkan ke sel khusus,” jawab Mili dingin.
“Wah, ngerjain gue dia. Awas, Ferdi. Giliran gue yang kerjain nanti,” Amira mendengus kesal dalam hati.
“Jadi, suamiku tidak membebaskanku?” tanya Amira memastikan.
“Kamu terlalu percaya diri.” Mili tersenyum, penuh iri sekaligus puas.
“Ayo ikut aku,” ucap Mili sambil mengisyaratkan Amira untuk keluar dari ruang interogasi.
Amira berdiri, melangkah mendekati Mili. Mili berjalan di depan, Amira di belakang, dikawal dua orang polisi. Mereka menelusuri lorong sepi.
“Gila, gue ditempatkan dengan laki-laki,” gumam Amira dalam hati. Bukannya takut, ia malah menyeringai.
“Sekarang kamu di sini,” ucap Mili dingin. Ia setengah mendorong Amira masuk ke sel napi lelaki.
Amira menunduk di depan para napi lelaki yang menatapnya seperti serigala lapar. Banyak di antara mereka sudah lama tidak bertemu istrinya.
“Hai, sayang,” ucap seorang napi berbadan besar dan berkepala botak. Tangannya terulur, menyentuh dagu Amira. Ia sama sekali tidak sadar bahwa bencana besar menantinya.
Amira meraih jari lelaki besar itu. Perlahan ia mendongak, menampakkan senyum iblis yang membuat bulu kuduk berdiri.
Krak! Jari lelaki itu bengkok, dipatahkan begitu saja oleh Amira.
“Arghhhhh!” teriak lelaki besar itu mundur sambil memegangi tangannya yang bengkok
Seorang lelaki maju hendak memukul Amira. Bukannya takut, Amira justru tersenyum—senyum menyeramkan, seolah vampir yang baru menemukan darah segar.
Dengan cepat ia merunduk, lalu meraih tangan lelaki itu.
Bug! Bugh! Bug! Bug!
Tinju Amira mendarat bertubi-tubi di perut lelaki tersebut.
“Hihihi… dapat samsak gratisan,” ucapnya dengan senyum iblis yang membuat napi lain bergidik ngeri.
Amira sengaja menggenggam erat tangan lawannya, agar tubuh lelaki itu tidak terhempas dan tetap bisa ia hajar berkali-kali.
Amira melepaskan tangan lelaki itu ketika seorang penghuni lapas lain mencoba menyerangnya.
Dengan sigap ia menghindar, lalu menendang kaki lawannya hingga terdengar suara krak! Lelaki itu ambruk, tak mampu berdiri lagi—kakinya sepertinya patah.
Amira mendekat perlahan, meraih kepala lelaki itu, lalu…
Plak! Plak! Plak!
Tamparan keras mendarat bertubi-tubi di wajahnya, sementara senyum menyeramkan tetap mengembang di bibir Amira.
Dari dua belas penghuni sel, tiga orang sudah tumbang dengan mudah. Sisanya hanya terdiam, tak ada yang berani lagi mendekat. Aura Amira yang bagaikan iblis membuat mereka ciut seketika.
Amira masih terus menampar lelaki itu. Wajahnya kini sudah tidak berbentuk, entah berapa gigi yang tumbang.
“Wei, lepaskan!” seru seorang polisi.
Astaga, aku kelepasan. Untung saja aku warga negara yang baik, ucap Amira dalam hati. Ia pun melepaskan kepala lelaki itu. Tubuh lelaki itu terkulai lemas di lantai.
Zaki menatap sekeliling sel. Satu orang dengan jari patah, satu orang muntah-muntah, dan satu lagi wajahnya sudah hancur tak berbentuk.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Zaki serius.
“Jadi ini sel khusus untuk saya, Pak?” Amira balik bertanya sambil tersenyum.
Zaki terdiam, bingung antara marah atau kagum.
“Saya hanya membela diri. Buaya-buaya darat ini mau melecehkan saya,” ucap Amira, membela diri dengan nada datar.
“Kamu!” Zaki menunjuk Amira. “Pindah segera dari sini!” perintahnya.
“Enggak mau,” jawab Amira santai.
“Kenapa?” Zaki mengernyit.
“Karena di sini banyak yang bisa melayani saya,” balas Amira dengan senyum licik.
“Tidak, Pak… pindahkan dia, Pak!” ucap seorang lelaki. Ia paham maksud Amira soal melayani adalah menjadikan mereka samsak hidup.
“Kamu harus pindah,” ucap Zaki tegas.
“Baik. Tapi di lapas perempuan mungkin kejadiannya akan lebih parah,” jawab Amira tenang.
Zaki mengusap wajahnya. Baru kali ini ia dibuat pusing oleh seorang penghuni lapas.
“Terserahlah… kepalaku pusing,” keluh Zaki sambil pergi meninggalkan sel.
Para napi yang cedera digiring keluar untuk dirawat oleh petugas.
Amira menyapu pandangannya ke seluruh penghuni lapas. Mereka jelas bukan lelaki lemah, tapi melihat Amira bisa tersenyum sambil menghajar orang, mereka sadar: Amira adalah seorang psikopat.
“Sediakan tempat untukku. Bantal, kasur, selimut yang bersih,” ucap Amira memerintah bagaikan seorang ratu.
Beberapa orang buru-buru membawa kasur dan selimut.
“Ini, Bos,” ucap salah seorang pria.
“Bagus. Sekarang aku mau tidur. Jangan ada yang coba-coba mendekat,” ancam Amira dingin.
Ia pun meringkuk di atas kasur, tatapannya kosong. Dalam hatinya ia bergumam,
Jaka berkhianat, Ferdi tidak menolongku… apa yang harus kulakukan? Aku tidak bisa seperti ini terus.
Amira berbaring, matanya menatap kosong ke langit-langit. Tak ada satu pun napi yang berani mendekat.
“Seperti ini rupanya jadi orang miskin… tidak bisa keluar penjara dengan mudah,” gumamnya lirih.
Tiba-tiba ia tersentak. Bukankah besok ayahku dioperasi? Aku harus kabur… aku tidak bisa diam di sini terus. Aku harus melihat ayahku!
Amira baru saja hendak bangkit, namun ucapan ayahnya terngiang di kepalanya:
‘Nurut sama polisi, jangan membantah.’
Ia kembali duduk, wajahnya bimbang.
Beberapa saat kemudian, Amira merasa ingin buang air. Ia melirik ke arah toilet pria dan mengernyit.
“Aku tidak mau buang air di toilet laki-laki,” desisnya.
Amira bangkit, mengambil penitih dari sakunya, lalu melangkah ke jeruji besi yang terkunci.
“Ceklek!” suara kunci terbuka dengan mudah di tangannya.
Amira berbalik, memberikan tatapan tajam pada semua napi.
“Jangan ada yang berani keluar. Gue cuma mau pipis,” ancamnya.
Dengan santai, Amira berjalan meninggalkan sel itu. Ia menuju toilet khusus polwan seolah-olah penjara hanyalah rumah kosnya sendiri.
…
Ferdi sedang duduk di ruangannya. Wajahnya tenang, bibirnya sedikit melengkung membayangkan Amira yang sekarang berada di penjara. Dalam kepalanya, ia membayangkan Amira sedang dikerjai para napi lelaki. Senyum tipis muncul di wajahnya.
Namun, Ferdi juga tahu Amira bukan perempuan lemah. Ia bukan tipe yang mudah dipatahkan. Sebenarnya Ferdi hanya ingin membuat Amira jengkel—karena selama ini, Amiralah yang selalu berhasil membuatnya naik darah.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Ferdi menghela napas sebelum mengangkatnya.
“Halo, ada apa, Mah?” tanyanya.
Suara Viona terdengar dari seberang.
“Amira di mana? Oma Renata mau ketemu,” ucapnya.
fer kecintaan buangttt ma Kunti