Di tengah derasnya hujan di sebuah taman kota, Alana berteduh di bawah sebuah gazebo tua. Hujan bukanlah hal yang asing baginya—setiap tetesnya seolah membawa kenangan akan masa lalunya yang pahit. Namun, hari itu, hujan membawa seseorang yang tak terduga.
Arka, pria dengan senyum hangat dan mata yang teduh, kebetulan berteduh di tempat yang sama. Percakapan ringan di antara derai hujan perlahan membuka kisah hidup mereka. Nayla yang masih terjebak dalam bayang-bayang cinta lamanya, dan Arka yang ternyata juga menyimpan luka hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindi Tati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 15
Cinta di Bawah Hujan
Sejak malam penuh pertengkaran itu, Nayla memilih menjaga jarak. Ia tidak langsung memutuskan hubungan, tapi ia juga tidak memberi Arka ruang untuk mendekat. Pesan-pesan dari Arka hanya dibaca tanpa balasan. Telepon darinya sering Nayla abaikan. Ia butuh waktu, butuh jarak, untuk menenangkan hatinya yang porak-poranda.
Hari-hari berlalu dengan sunyi yang menusuk. Nayla mencoba sibuk dengan pekerjaannya, menenggelamkan diri dalam tumpukan tugas dan proyek yang menanti. Namun, sekeras apa pun ia mencoba, bayangan Arka tetap hadir dalam benaknya. Kenangan tentang tawa mereka di bawah hujan, obrolan sederhana di bangku taman, bahkan tatapan hangat yang selalu membuatnya merasa aman—semuanya kini justru terasa seperti pisau yang menusuk hati.
Sementara itu, Arka juga tidak tinggal diam. Ia terus berusaha mencari cara agar Nayla mau mendengarnya. Ia tahu Nayla terluka, tapi ia juga tahu bahwa kali ini, jika ia menyerah, segalanya akan benar-benar berakhir.
Suatu sore, ketika hujan turun rintik-rintik, Arka memberanikan diri datang ke rumah Nayla. Ia berdiri lama di depan pagar, menatap pintu yang tertutup rapat. Beberapa kali ia mengetuk, tapi tidak ada jawaban. Hingga akhirnya, suara langkah terdengar, dan Nayla muncul dengan wajah letih.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Ark?” tanyanya datar.
“Aku cuma mau bicara, Nay. Lima menit aja. Kalau setelah itu kamu masih nggak mau lihat aku lagi, aku janji aku pergi,” jawab Arka, suaranya serak tapi tegas.
Nayla terdiam sejenak, lalu akhirnya membuka pagar. Mereka duduk di teras, ditemani suara hujan yang jatuh di atap seng.
“Aku tahu aku salah,” Arka memulai dengan nada berat. “Aku harusnya cerita dari awal, biar kamu nggak merasa dikhianati. Aku terlalu takut kehilangan kamu, sampai aku nggak sadar justru sikapku yang bikin kamu menjauh.”
Nayla menatapnya dengan mata penuh luka. “Kamu tahu nggak, Ark? Setiap kali aku lihat kamu sama Karin, rasanya semua janji kamu nggak ada artinya. Aku ngerasa kayak orang bodoh yang selalu dikasih harapan palsu.”
Arka menunduk. “Aku ngerti. Aku pantas dibilang begitu. Tapi tolong percaya, Nay… nggak ada yang bisa gantiin kamu. Karin cuma bagian dari masa lalu, sementara kamu adalah masa depan yang aku pengen perjuangin.”
Kata-kata itu membuat hati Nayla bergetar. Namun ia tidak ingin langsung luluh. Ia terlalu sering kecewa karena janji yang sama.
“Aku butuh bukti, Ark. Bukan sekadar kata-kata. Kalau kamu benar-benar serius, tunjukkan dengan tindakan. Bukan hanya janji manis di bawah hujan,” ujarnya pelan tapi tegas.
Arka mengangguk, matanya mantap. “Aku akan buktiin. Tapi kumohon, jangan tutup pintu sepenuhnya. Kasih aku kesempatan terakhir.”
Hujan semakin deras, angin malam membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Nayla menatap Arka lama, mencoba membaca ketulusan di matanya. Dan entah mengapa, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa Arka benar-benar serius.
“Kesempatan terakhir, Ark,” katanya akhirnya. “Kalau kamu mengulanginya lagi… aku janji, aku nggak akan pernah balik.”
Arka menatapnya penuh rasa syukur, meski matanya berkaca-kaca. “Aku nggak akan sia-siain kesempatan ini, Nay.”
Beberapa hari setelah itu, Arka mulai benar-benar mengubah sikapnya. Ia tidak hanya menjauh dari Karin, tapi juga berusaha menunjukkan keterbukaannya dalam segala hal. Lokasi pekerjaannya, jadwal rapat, bahkan hal-hal kecil seperti makan siang bersama rekan kerja—semuanya ia ceritakan. Nayla perlahan merasakan perubahan itu, meski masih berhati-hati untuk percaya sepenuhnya.
Namun, ujian terbesar justru datang ketika Karin tiba-tiba mendatangi Nayla secara langsung.
Siang itu, di sebuah kafe kecil dekat kantor, Nayla yang sedang menunggu pesanan dikejutkan oleh sosok yang duduk di hadapannya tanpa diundang. Karin tersenyum, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak.
“Kamu Nayla, kan?” katanya, suaranya lembut tapi menusuk. “Aku mau ngobrol sebentar. Tentang Arka.”
Nayla menegakkan tubuh, hatinya langsung berdebar. “Apa lagi yang mau kamu bicarain?” tanyanya waspada.
Karin tersenyum samar. “Aku cuma mau bilang… Arka orang yang baik. Tapi kamu yakin dia bisa benar-benar ninggalin masa lalunya? Karena sejujurnya, Nay, aku nggak yakin dia bisa.”
Kata-kata itu membuat hati Nayla kembali bergetar hebat. Rasa takut dan ragu yang baru saja mereda, kini kembali menyeruak.
Dan sekali lagi, hujan di luar jendela kafe turun semakin deras—seolah menegaskan bahwa badai dalam cinta Nayla dan Arka belum benar-benar berlalu.