Seorang pria bernama Lorenzo Irsyadul, umur 25 tahun hidup seorang diri setelah ibunya hilang tanpa jejak dan dianggap tiada. Tak mempunyai ayah, tak mempunyai adik laki-laki, tak mempunyai adik perempuan, tak mempunyai kakak perempuan, tak mempunyai kakak laki-laki, tak mempunyai kerabat, dan hanya mempunyai sosok ibu pekerja keras yang melupakan segalanya dan hanya fokus merawat dirinya saja.
Apa yang terjadi kepadanya setelah ibunya hilang dan dianggap tiada?
Apa yang terjadi kepada kehidupannya yang sendiri tanpa sosok ibu yang selalu bersamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A Giraldin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15: Task
Tubuh lansing, kulit coklat manis, rambut hitam lurus, mata biru, itulah dirinya. “Lorenzo Irsyadul.”
Apa yang diucapkannya langsung ia balas dengan santai setelah terkejut sedikit karena tiba-tiba ada di depannya. “Ya, itu adalah namaku. A-ada apa?” tanyanya kepadanya dengan tersenyum kecil.
Ia menundukkan kepalanya kecil. “Bukan apa-apa.” Dirinya melewatinya dan berhadapan dengan Liliana. “Komandan, lama tidak berjumpa.” Ia melakukan hormat tangan kanan. “Beberapa jam, anda mengurusnya kah?” tanyanya kepadanya.
Apa yang ditanyakan nya langsung ia jawab dengan cepat. “Kurang lebih seperti itu. Lalu, kau ke mana saja dari tadi, Zero?” tanyanya kepadanya dengan terlihat tatapan dingin dan tajam ke arahnya.
Zero langsung berdiri tegak dengan tangan kanan ia kembali luruskan dan langsung menundukkan kepalanya. “Maafkan saya komandan!!” teriak kencang hanya untuk meminta maaf kepadanya.
Liliana hanya menunduk-nunduk kecil dan langsung membalas teriakannya. “Tak apa. Jadi, kau pergi ke mana tadi?” tanyanya lagi karena pertanyaan yang sama ini belum dijawab olehnya.
Zero langsung menjawabnya sambil berdiri tegak dengan hormat dan pandangan lurus ke depan. “HA ... lapor komandan. 10 ruangan tugas dan 2 lagi sudah disiapkan. Apa yang harus saya lakukan sekarang?” tanyanya kepadanya.
Ia tepuk tangan kecil dan langsung menjawab pertanyaannya. “Zero hanya harus mengantarnya keliling. Kalian bertiga, urus yang itu saja, Zero saja sudah cukup untuk mengurus Lorenzo!” perintahnya kepada ketiga anggotanya.
Hormat semua dan langsung dua dari tiga langsung berjalan menuju urusan yang harus dilaksanakan. Lorenzo menatapnya kagum dan langsung tepuk tangan kecil. “Hebat sekali. Liliana ternyata sosok tinggi di D.A.E ya!”
Mereka berempat yang mendengar ucapan yang tidak sopan itu langsung menatap tajam mata kagumnya itu. Lorenzo ketakutan dan langsung mengulang kembali apa yang mau ia katakan padanya. “Eekhem, maksudku ... Li_ Komandan ... hebat sekali, posisimu hebat sekali.”
Mereka berempat langsung tersenyum lebar. Liliana menatap dingin mereka berempat. Tatapannya membuat mereka semua langsung menundukkan kepala. Lorenzo hanya bisa menatap bingung saja tanpa bisa berkomentar apapun. Tiga menit kemudian, masing-masing dari mereka sudah berpencar ketiga arah yang sama, namun berbeda ruangan.
Ruang komputer ada lagi pintu. Pintu dibuka dan Lorenzo melihat sebuah ruangan yang tak ada di sepuluh komputer. Kamar tidur dengan spray putih, dipan coklat, bantal & guling putih, lantai & atap motif catur, dan tembok warna langit dengan tambahan awan putih serta cahaya matahari terang.
Lorenzo yang baru pertama kali melihat ruangan ini langsung bertanya kepada Liliana yang ada di depannya. “Lili__ eekhem, maksudku ... Komandan, kenapa ruangan ini tak ada dalam sepuluh komputer?”
Pertanyaan itu langsung dijawabnya dengan cepat. “Liliana, panggil saja seperti biasa dan ... ruangan ini, di depannya lagi, lagi, dan lagi ... adalah ruangan dalam.”
Penjelasannya membuatnya lebih kebingungan lagi dan memilih bertanya lagi kepadanya. “Apa maksudmu?”
Jawabannya yang ternyata kurang langsung ditambahkan olehnya. “Yang tadi kurang jelas ya! Yaaa ... singkatnya, ruangan ini terdiri dari 6 ruangan. Dapur, investigate, interogasi, kamar tidur, ruang tamu, dan kamar mandi. 10 ruang itu bukan di sini. Kalau mau kesana jalan saja, di siang hari.”
“Siang hari! Malam hari ada apa memangnya?” tanyanya lagi setelah jelas akan jawaban yang diberikan kepadanya.
“Setiap hari pada waktu 21.00-24.00 semua orang menjadi gila, itu saja. Dan itu, berlaku ... di seluruh penjuru dunia ini.” Sebuah fakta mengejutkan keluar dari dalam mulutnya.
Lorenzo menatapnya sedikit ketakutan dan Liliana langsung menenangkannya dengan mengganti pembahasan. “Yahh ... saat ini istirahat dulu saja. Karena sekarang masih siang, mau tidur siang juga tak masalah.”
Lorenzo langsung tersenyum kecil dengan wajah sedikit ketakutan hilang sepenuhnya. “Aku mengerti. Sepertinya aku mau tidur saja. Bangunkan aku kalau sudah waktunya makan malam, Liliana!” mohonnya kepadanya.
Tatapan datar normal langsung membalas permohonannya. “Aku mengerti. Zero, kau ikut mereka bertiga dan kalian semua, pergi sana!” perintahnya tegas ke arah mereka semua yang ada di sisi kiri dan kanan.
Mereka semua langsung hormat sembari berdiri tegak lurus dan langsung memutuskan untuk pergi menuju ke tempat yang sudah di tugaskan olehnya. Di mana tempat ini?
Setelah ruang kamar tidur hanya tersisa Liliana dan Lorenzo saja, Lorenzo memutuskan untuk tidur siang di ranjang sisi paling kanan sesuai arahan Liliana sebelum ia pergi meninggalkannya.
Sendirian di ruang terang benderang dan hanya berbaring saja di atas kasur tersebut. Hanya ada satu mimpi yang terus terulang-ulang yang membuatnya tak bisa membuka mata untuk waktu yang cukup lama. Warna hitam dan putih, apa maksudnya?
Ia bangkit dari tidurnya dengan cepat dan napasnya sedikit terengah-engah, sedikit ketakutan, badannya bergetar kecil, dan tatapan tenang dengan keringat banyak bercucuran dari kepala sampai bawah.
Karena tahu itu mimpi, hal pertama yang dilakukannya adalah mengembuskan napas pelan. Setelah mengulangnya sebanyak 10x, Lorenzo beranjak dari kasurnya dan langsung berjalan menuju pintu keluar.
Ia berjalan lagi menuju satu pintu lagi, membukanya, dan terlihat mereka berlima sedang makan malam bersama pada pukul 18.00. Menu hari ini adalah roti kukus, ikan panggang, spageti, dan pizza yang semuanya tersusun rapi dalam satu piring yang bisa didapatkan oleh masing-masing anggota.
Kursi sekarang berjumlah enam buah. Berarti lima buah kursi yang ia lihat awal masuk adalah jumlah kursi seluruh anggota sebelum Lorenzo bergabung. Liliana yang mendengar suara pintu dibuka-tutup, langsung melihatnya tanpa ekspresi.
“Kau sudah bangun. Mimpi buruk lagi kah, Lorenzo?” tanyanya kepadanya tanpa ekspresi, tapi terlihat khawatir padanya.
Lorenzo hanya tersenyum kecil sambil menutup matanya dan menjawab pertanyannya. “Tak perlu khawatir padaku, Liliana. Juga, mimpi tadi ... sepertinya bukanlah mimpi buruk, mungkin ... hanya mimpi biasa saja.”
“Begitu ya. Kalau begitu, silakan duduk di kursi yang kosong, Lorenzo!” perintahnya kepadanya.
“Baiklah.” Ia berjalan menuju kursi kosong yang terletak di kanan depan kaca. Kiri depan kaca tempat duduk Jason, bagian pintu masuk dari luar sisi kanan adalah Xerphone dan sisi kirinya Barto. Bagian kepala keluarga sisi kanan adalah Liliana dan bagian wakil kepala keluarga sisi kiri adalah Zero.
Suasana tempat duduk tak berekspresi dan duduk santai saja sambi menikmati makanan yang disantap oleh masing-masing anggota. Liliana terlihat elegan saat makan, Lorenzo asal makan, Zero seperti kritikus, Jason membuat makanan terlihat rapi, Xerphone berpikir kecil dan Barto menghias makanan dengan saus tomat dan mayonaise.
Hanya menikmati saja dengan gaya masing-masing dan selesai makan, mereka langsung berbincang-bincang sebentar sebelum tidur. Pembicaraan dibuka oleh Liliana yang bertanya kepada Lorenzo. “Clayra, apakah kau bisa menghubunginya dari jarak sejauh ini?”
Wajahnya memerah hebat dan hanya bisa menundukkan kepalanya saja. Liliana yang menyadarinya hanya bisa mengalihkan pembicaraan ke hal lain. “Sepertinya aku salah bertanya. Kalau begitu, Barto, bagaimana game arcade baru-baru ini? Menang atau kalah?”
Pertanyaannya membuatnya hanya bisa menundukkan kepalanya dengan warna putih menyelimuti tubuhnya. “Salah lagi ya. Jason, kenapa bumi itu bulat dan bukan datar?”
Langsung berpikir keras dan bayangannya hanya mengarah ke bumi saja. “Aku lupa. Kalau begitu, Xerphone, apa pendapatmu tentang penampilanku?”
Wajahnya memerah hebat dan asap kecil keluar dari kepalanya berulang kali. “Salah lagi. Kalau begitu, Zero, siapa saja yang mau kau temani sampai akhir hidup?” tanyanya kepadanya dengan tatapan dingin dan tajam.
Rohnya keluar entah kemana dan suasana di sini hanya memperlihatkan wajah kesal Liliana karena ia merusak suasana dingin menjadi aneh.
Beberapa jam kemudian, pukul 21.00
Jam dinding yang ada di depannya bagian pertengahan langsung ia katakan. “Pukul sembilan malam.” Mendengar hal itu, semuanya tiba-tiba langsung berjalan menuju kamar tidur masing-masing.
“Bisa begitu ya,” ucapnya heran dengan menuju kamar tidurnya juga.
Bersambung...
Tulisanmu bagus, Loh... semoga sukses ya...
ayo, Beb @Vebi Gusriyeni @Latifa Andriani