NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14

Aku menatap pantulan diriku di cermin.

Dress panjang berwarna krem lembut jatuh sempurna di tubuhku, disandingkan dengan jilbab senada beraksen mutiara kecil di sisi kepala.

Wajahku memang masih pucat, tapi aku tak ingin siapa pun menyadarinya. Maka kuoleskan sedikit riasan tipis, cukup membuatku terlihat lebih segar.

Aku menarik napas dalam-dalam.

"Aku bisa."

Aku harus bisa.

Tujuanku malam ini bukan untuk menyenangkan siapa pun.

Aku datang karena aku ingin tahu. Tentang kematian Paman Alfarezi, yang selama ini selalu dituduhkan pada papaku.

Ponselku bergetar. Pesan masuk dari Reyhan.

"Aku sudah berangkat duluan dari kantor. Kamu datang sendiri saja ke rumah utama."

Aku mengangguk pelan walau hanya membaca teks.

Tentu saja dia berangkat duluan. Mungkin tak ingin satu mobil denganku.

Tak masalah. Justru lebih baik.

Reyhan boleh membenciku. Tapi aku akan membuatnya sadar kalau kebenciannya selama ini salah alamat.

---

Suasana rumah utama seperti biasa. Dingin dan penuh tekanan yang tak terlihat.

Saat mobilku berhenti, pintu utama terbuka lebih dulu.

Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu dengan wajah yang sudah siap menghakimi.

Ibu Reyhan.

“Nayla,” sapanya datar.

“Masuklah.”

Aku tersenyum tipis. Melangkah masuk tanpa menjawab.

Begitu melewati ruang tamu, pandanganku langsung menangkap sosok Reyhan…

Dan seorang wanita yang duduk bersamanya, Ara.

Mereka sedang tertawa.

Tawa yang seolah disengaja keras, seolah ingin memastikan aku mendengarnya.

Aku tetap berjalan tenang, seolah tak melihat apa pun.

Aku tahu ini permainan mereka. Provokasi yang sudah basi.

“Jadi ini caramu bersikap sopan, Nayla?”

Suara Ibu Reyhan terdengar tajam dari belakangku.

“Baru siang tadi kamu mendorong Ara di kantor Reyhan, sekarang kamu masih berani datang kemari?”

Aku menoleh perlahan. “Aku tidak mendorongnya, Ma. Ara menuduhku, jadi aku jadikan nyata tuduhannya itu.”

Tatapan ibu Reyhan langsung menusuk tajam. “Kamu memang tak tahu diuntung. Wanita seperti kamu tak pantas jadi istri Reyhan. Ara jauh lebih baik, cantik, lembut, terpelajar. Keluarganya juga jelas!”

Aku menahan tawa. Tapi gagal.

Aku menatapnya dengan senyum simpul. “Tapi… Ma, yang menikahiku itu Reyhan. Mungkin… itu yang belum Mama terima sampai sekarang.”

Matanya membelalak. Tangan kanannya langsung terangkat, hendak menamparku.

Namun aku lebih cepat.

Kutangkap pergelangan tangannya dengan satu gerakan cepat.

Tatapanku tajam menembus matanya.

Bukan menantang. Tapi memperingatkan.

Bahwa aku… bukan Nayla yang dulu.

“Jangan pernah menyentuhku seperti itu lagi, Ma,” bisikku dingin.

“Aku sudah cukup lama diam dan menerima perlakuan Mama. Tapi sekarang tidak lagi.”

Dia terdiam. Terpaku. Tak menyangka aku berani melawan.

Aku mendekat sedikit, menurunkan suara agar hanya kami berdua yang bisa mendengarnya.

“Oh, dan satu lagi…”

Aku menunduk sedikit, berbisik tepat di telinganya.

“Aku tahu tentang hubungan Mama… dengan salah satu mitra yang baru masuk ke perusahaan Reyhan. Yang bernama Pak Heru, bukan?”

Tubuhnya menegang.

Aku tersenyum pelan lalu melangkah menjauh darinya, membiarkan kalimat itu menggantung dan menusuk.

Aku tahu Mama mertuaku memiliki hubungan dengan pria bernama Heru. Aku sudah menyelidikinya.

Biarkan dia takut.

Biarkan dia tahu kalau aku juga bisa melawan .

Aku melangkah melewati Ibu Reyhan dengan kepala tegak. Tak ada lagi ragu, tak ada lagi air mata yang kutahan-tahan.

Kutarik napas dalam-dalam, dan kuangkat daguku sedikit.

Langkahku mantap melewati ruang tamu menuju ruang makan, tanpa sekali pun menoleh ke belakang.

Dari sudut mataku, aku bisa melihat Reyhan berdiri dari kursinya, menatapku lekat.

Wajahnya terlihat bingung… atau mungkin kaget.

Tentu saja dia kaget.

Biasanya, Nayla yang dia kenal akan diam, menunduk, lalu pergi menyendiri ke pojok ruangan. Tapi malam ini berbeda. Aku tidak akan mundur.

Aku menarik kursi di sisi kanan meja makan, dan duduk dengan tenang. Meski rasanya perutku terasa mual karena tegang, aku tetap tersenyum kecil.

Saat itu suara langkah kaki terdengar dari arah pintu masuk.

“Permisi…”

Aku menoleh. Arlan.

Dia mengenakan kemeja navy rapi, dengan jas abu yang membuatnya terlihat dewasa dan hangat di saat yang sama.

Tatapan matanya langsung mengarah padaku, dan bibirnya membentuk senyum hangat.

“Nayla,” ucapnya ramah. “Boleh aku duduk di sini?”

Sebelum aku sempat menjawab, Arlan sudah menarik kursi di sebelahku dan duduk.

Kuperhatikan suasana ruangan berubah.

Reyhan, yang sedari tadi tak mengalihkan pandangannya dariku, kini menatap Arlan dengan rahang mengeras.

Ibu Reyhan melirik ke arah kami, lalu meletakkan sendoknya dengan cukup keras di atas piring, cukup untuk membuat orang-orang yang duduk di meja menoleh. Tapi aku tetap tenang.

“Wah, kamu datang juga, Lan,” ucap Reyhan akhirnya, suaranya datar.

“Iya, tante yang undang, kan?” jawab Arlan sambil tersenyum, lalu menoleh padaku lagi. “Kamu cantik malam ini, Nayla.”

Aku hanya tersenyum kecil.

“Terima kasih sudah datang,” bisikku pelan.

Aku tahu, kehadiran Arlan bisa menambah rasa tidak nyaman keluarga Reyhan. Tapi aku tak peduli. Karena aku ingin berdiri di tempatku, dengan keberanian ku.

“Apa kabar, Tante?” tanya Arlan sopan kepada ibu Reyhan yang kini tengah menatapnya tajam.

“Baik,” jawabnya singkat, tanpa senyum.

"Aku mengundangmu makan malam karena kau masih anggota keluarga ini. Jadi bersikaplah sopan."

Arlan tetap tenang, bahkan lebih santai dari yang kupikir. “Oh, Tante tenang saja. Aku tahu tempatku. Tidak seperti orang asing yang tidak tahu tempatnya." Arlan melirik ke arah Ara. "Lagipula, Aku hanya ingin menemani Nayla. Dia terlihat cukup tertekan.”

Kalimat itu membuat ibu Reyhan mengerutkan kening. “Kalau Nayla tertekan, itu bukan urusanmu. Dia istri Reyhan. Masalah rumah tangga mereka tidak seharusnya kamu campuri.”

Aku menahan napas. Mataku melirik Reyhan. Dia masih menatap kami, rahangnya mengeras.

Arlan menoleh padaku sejenak sebelum menjawab dengan nada yang lebih tenang namun tajam, “Justru karena dia istri Reyhan, harusnya semua anggota keluarga memperlakukannya dengan hormat. Tapi sayangnya, bukan itu yang aku lihat malam ini.”

Meja makan mendadak sunyi.

Aku tahu, Arlan baru saja menampar mereka semua dengan kata-kata. Perlahan aku menegakkan punggungku, mencoba menahan gemetar yang hampir tak terlihat.

Ibu Reyhan berdiri dari kursinya, tapi sebelum sempat melanjutkan ucapannya, Reyhan tiba-tiba berbicara.

“Cukup, Ma.”

Suara Reyhan dalam dan berat. Semua mata kini tertuju padanya.

Dia berdiri dari tempatnya dan melangkah ke arahku, lalu berhenti tepat di seberang meja. Tatapannya masih menusuk ke arahku, tapi kini ada sesuatu yang berbeda. Ada emosi yang dia tahan di balik sorot matanya.

“Kenapa kamu duduk dengan dia?” tanyanya pelan, tapi dingin.

Aku mengangkat wajahku menatapnya. “Karena dia satu-satunya orang yang tidak memperlakukan aku seperti aku tidak berharga.”

Reyhan diam. Tak ada yang bicara.

Lalu Ara bersuara, seolah tak tahan. “Kamu sengaja, kan? Mau mempermalukan Reyhan di depan keluarganya?”

Aku tersenyum tipis. “Tidak, Ara. Aku cuma sedang belajar untuk tidak membiarkan diriku diinjak-injak lagi. Lagipula bukannya kau lebih memilih duduk bersama Tuan putrimu ini?" Aku menatap Reyhan dan Ar

Aku berdiri dari kursiku, menatap satu per satu anggota keluarga yang kini bungkam di meja makan.

Tapi…

Tiba-tiba, perutku terasa nyeri.

Seketika pandanganku berkunang. Dunia seperti berputar sebentar.

Aku menggenggam sisi meja untuk menahan diri, berharap tidak ada yang menyadarinya.

Tidak sekarang...

Aku mengatur napas. Menunduk sedikit agar tidak mencolok. Tapi rasa mual itu datang begitu cepat, menyesakkan dada dan menusuk ulu hati.

“Aku permisi sebentar,” ucapku cepat, sebelum siapa pun sempat bertanya.

Aku berjalan cepat keluar ruang makan, menahan diri untuk tidak terhuyung. Begitu sampai di lorong, aku mempercepat langkah menuju kamar mandi yang terdekat.

Begitu pintu tertutup, aku langsung jatuh berlutut di depan wastafel.

Tanganku bergetar saat menekan tuas air, mencoba menenangkan mual yang makin kuat menghantam dari dalam.

Dan akhirnya, semuanya keluar.

Isi perutku, sisa ketenangan yang kugenggam sejak tadi.

Tubuhku berkeringat dingin. Napasku memburu.

Aku bersandar di dinding, mencoba menenangkan degup jantungku yang tak karuan.

Sakit ini… terasa seperti gelombang yang menyerang tiba-tiba, lebih kuat dari biasanya.

Aku tahu gejala ini.

Aku sudah merasakannya diam-diam.

Kanker hati stadium lanjut.

Yang ku sembunyikan.

Tapi malam ini, rasa itu menyerangku dengan cara paling kejam. Di saat aku sedang mencoba berdiri kuat.

Aku meraba perutku pelan.

Tidak sekarang… kumohon…

Air mata menggenang di pelupuk mata, tapi aku cepat-cepat menghapusnya. Tidak boleh ada yang tahu.

Aku berdiri perlahan, mencuci wajahku, lalu merapikan kembali jilbabku yang sedikit kusut.

Kutatap diriku di cermin. Wajahku pucat. Bibirku kehilangan warna.

Aku mengambil pewarna bibir dan ku oleskan samar agar wajahku tak terlalu pucat.

Aku mengambil napas dalam, mencoba menata ekspresi kembali.

Tak ada waktu untuk lemah.

Meski tubuhku mulai menyerah, tapi aku tidak akan membiarkan mereka menang hanya karena aku jatuh sekali.

Saat aku membuka pintu kamar mandi, seseorang sudah berdiri di depan sana.

Arlan.

Wajahnya terlihat khawatir. “Kamu… baik-baik saja?”

Aku menggeleng pelan. “Aku hanya… pusing sebentar. Kepalaku pening.”

Dia menatapku lama, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit, berbisik, “Kamu pucat. Matamu merah. Jangan paksa dirimu, Nayla.”

Aku tersenyum kecil, berusaha meyakinkannya. “Aku tidak apa-apa. Aku cuma butuh duduk sebentar.”

Aku baru saja hendak menjauh dari Arlan, masih berdiri di lorong dekat toilet, ketika tiba-tiba seseorang menarik lenganku dengan kasar.

Tubuhku tersentak dan jatuh ke dalam pelukan seseorang.

“Apa-apaan ini?!” seruku spontan sambil mencoba melepaskan diri.

Namun pelukan itu erat dan menahan gerakku.

Aku mendongak, dan terkejut.

“Reyhan?”

Ia menatapku tanpa ekspresi, tetapi rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam mengarah langsung ke Arlan yang masih berdiri tidak jauh dari tempat kami.

Reyhan menarikku semakin erat ke dalam pelukannya, seolah ingin menunjukkan bahwa aku adalah miliknya.

“Jangan berdiri terlalu dekat dengan istriku,” ujarnya dingin kepada Arlan.

Arlan menaikkan alis. “Aku hanya membantu Nayla. Ia terlihat lemas.”

“Lemas atau sedang mencari perhatian?” balas Reyhan cepat dengan nada yang tajam.

Aku menghela napas. “Reyhan, cukup.”

“Tidak. Kau pikir aku tidak melihat kalian berbincang dari tadi? Aku sudah cukup bersabar melihatmu bersikap terlalu akrab dengan sepupuku sendiri.”

“Kalau kau tidak suka, katakan baik-baik. Jangan menarikku seenaknya seperti—”

“Seperti apa? Seorang suami yang tidak terima istrinya didekati pria lain?”

Aku tertawa sinis. “Lucu. Sekarang kau merasa punya hak?”

Reyhan menarik napas tajam. Ia menatapku dalam, tetapi bukan dengan tatapan hangat. Yang kulihat hanya amarah.

“Kita pergi,” ucapnya singkat.

“Untuk apa? Aku belum selesai di sini.”

Ia tidak menjawab. Tangannya tetap menggenggam erat pergelangan tanganku dan mulai menarikku menjauh dari tempat itu.

“Reyhan, lepaskan! Aku bukan barang milikmu!”

“Bukan. Tetapi kau istriku. Dan aku tidak suka melihat istriku berdiri terlalu dekat dengan pria lain. Apalagi sepupuku sendiri.”

Arlan sempat hendak menyusul, tetapi aku menoleh dan memberinya isyarat dengan tatapan mata agar tidak ikut campur.

Reyhan membawaku ke sisi taman yang sepi, masih dengan genggaman yang kuat.

Aku menghentikan langkah dan menahan dirinya.

“Ada apa denganmu? Kau yang menikahiku karena dendam. Kau juga sangat membenciku. Sekarang kau marah karena aku berbicara dengan Arlan?”

Ia menatapku tajam, matanya menyipit. “Aku tidak cemburu. Aku hanya tidak suka kau menjadi pusat perhatian pria lain.”

“Arlan bukan orang asing. Ia lebih tahu caranya menghargai perempuan dibandingkan dirimu!”

“Itu karena kau memberikan celah untuknya!” bentaknya.

Mataku mulai berkaca-kaca, tetapi aku menahannya.

“Lucu sekali, Reyhan. Kau boleh dekat dengan siapa pun, memperlakukanku semena-mena, dan aku? Aku harus tunduk, diam, menjaga jarak dari siapa pun yang tidak kau sukai.”

Reyhan terdiam. Wajahnya tetap tegang, tetapi tidak membalas ucapanku.

“Aku tidak tahu apakah kau masih manusia atau hanya bayang-bayang dendam yang belum selesai,” gumamku pelan.

Langkahku baru beberapa meter menjauh ketika suara langkah berat itu kembali terdengar di belakangku.

Sebelum aku sempat menoleh, tanganku kembali ditarik, lebih kuat dari sebelumnya.

“Reyhan, cukup!” seruku berusaha melepaskan diri. Namun, ia tidak memberiku kesempatan.

Tubuhku ditarik hingga begitu dekat dengannya, dan tanpa peringatan, bibirnya menyergap bibirku dalam ciuman yang dalam dan penuh amarah.

Aku membeku.

Mataku membelalak, tanganku sempat mendorong dadanya, tetapi Reyhan justru menarik pinggangku, mempererat pelukan itu. Ciuman itu bukan ungkapan rindu, bukan pula kasih. Ada kemarahan di sana.

Ketika akhirnya ia melepaskan ciuman itu, napasku tersengal. Wajah kami hanya berjarak sejengkal. Aku menatapnya dengan mata yang masih terkejut, sementara matanya mengunci pandanganku, gelap dan mengintimidasi.

“Hanya aku yang berhak menyentuhmu,” ucapnya dingin, suaranya dalam dan menahan emosi.

“Kau pikir aku akan diam melihatmu bersama pria lain? Istriku bicara manis dengan sepupuku, tapi berbicara kasar denganku. Jangan lupa dengan apa yang sudah dilakukan papamu, Nayla!"

Aku mengepalkan tangan. “Apa yang baru saja kau lakukan itu bukan hakmu, Reyhan. Aku bukan milikmu. Kau sendiri yang memutuskan untuk menjadikanku sebagai orang yang kau benci. Dan asal kau tahu, kau salah menuduh orang! Akan ku buktikan jika kematian Paman Alfarezi tidak ada hubungannya dengan papaku."

Reyhan menatapku lama. Sangat lama. Tidak ada kata-kata yang meluncur dari bibirnya, hanya sorot mata yang perlahan berubah.

Tatapan itu tidak lagi sekadar marah atau penuh dendam. Ada sesuatu yang berbeda di sana, rapuh, ragu, dan entah… mungkin luka yang tak sempat ia sembunyikan.

Aku sempat mengernyit, tidak mengerti perubahan sikapnya. Namun, sebelum sempat aku membuka suara, tubuhku tiba-tiba ditarik ke dalam pelukannya.

Pelukan itu… hangat namun membingungkan. Bukan kasar seperti tadi. Tapi pelukan seseorang yang sedang kehilangan arah.

Aku membeku. Tak tahu harus berbuat apa.

Detik itu terasa begitu lambat.

Lalu, tanpa penjelasan, Reyhan melepaskanku. Begitu saja. Ia menatapku sekali lagi, kali ini tatapan itu sulit kuterjemahkan, kemudian berbalik, dan pergi meninggalkanku.

Aku tetap berdiri di tempat. Dada ini sesak, bukan hanya karena apa yang baru saja terjadi, tapi juga karena segala hal yang tak pernah benar-benar selesai di antara kami.

Langkah Reyhan menjauh, tapi bayangannya masih tertinggal kuat di mataku.

Aku melihat sisi Reyhan yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat. Sisi yang membuatku bertanya, apakah benar hanya kebencian yang ia miliki untukku?

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!