Bagaimana rasanya jika kita tahu kapan kita akan mati?
inilah yang sedang dirasakan oleh Karina, seorang pelajar SMA yang diberikan kesempatan untuk mengubah keadaan selama 40 hari sebelum kematiannya.
Ia tak mau meninggalkan ibu dan adiknya begitu saja, maka ia bertekad akan memperbaiki hidupnya dan keluarganya. namun disaat usahanya itu, ia justru mendapati fakta-fakta yang selama ini tidak ia dan keluarganya ketahui soal masa lalu ibunya.
apa saja yang tejadi dalam 40 hari itu? yuk...kita berpetualang dalam hidup gadis ini.
hay semua.... ini adalah karya pertamaku disini, mohon dukungan dan masukan baiknya ya.
selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15. Sebuah Kunci
Sabtu menjelang siang di kota Bandung, dengan udara dingin dan segar yang mulai akrab dikulit Karina dan adiknya, Dimas, mengawali perjalanan mereka yang kedua di sana. Sesuai rencana, hari ini mereka akan mengunjungi sebuah alamat, dalam secarik kertas yang diberikan oleh oma Surya saat mereka mengunjungi oma Surya di rumah sakit. Namun, ada yang tak sesuai dengan rencana. Mereka awalnya akan menggunakan transportasi umun untuk perjalanan kali ini, tetapi pagi itu, tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya menghampiri Karin dan Dimas saat asik menyantap sarapan di aula tempat penginapan tempat mereka tidur semalam. Sosok yang ternyata mereka kenal, mang Dudung. Supir pribadi tante Rus, tante dari Nia.
“Bu Rusni nyuruh mamang kesini neng, buat antar neng Karina sama a Dimas cari alamat katanya.”
Mang Dudung memberikan laporan pagi itu.
“Padahal kita gak apa apa loh mang naik angkot aja atau on line juga gak papa.”
“Jangan atuh neng, ini kan Bandung, bukan Jakarta tempatnya eneng. Nanti kalau nyasar gimana atuh?”
Karina terkekeh mendengar apa yang dikatakan mang Dudung, bukan karena mang Dudung yang berlebihan, tapi karena sudah pasti ini adalah ide Nia. Pantas semalam Nia maksa nanyain nama penginapan tempatnya bermalam, batin Karin.
Dari samping kemudi, Karina duduk memegangi secarik kertas itu, kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri membaca perlahan tulisan-tulisan yang sekelebat mereka lewati di jalan-jalan. Mang Dudung yang memegang stir mantap melajukan kendaraan menerobos ramainya lalu lintas akhir pekan itu.
“Tapi mamang bener tau kan alamat itu?”
Dimas yang duduk di belakang ikut menyelidik kanan dan kiri sisi jalan yang mereka lalui. Meskipun ia yakin bahwa mang Dudung yang memang asli Bandung pasti tidak akan tersesat, setidaknya ia akan lebih lega jika mang Dudung sudah memberikan konfirmasinya bahwa ia tahu ke mana harus membawanya dan Karin.
“Kalau kelurahanna mamang mah ngarti a, nanti tinggal cari RT sama RW nya.”
“Masih jauh mang?”
“Enggak a. Tah eta di depan sana, dikit lagi a.”
Karina menatap arah mang Dudung menunjuk dengan jarinya. Sementara degub jantungnya makin tak berirama. Ada semangat yang menyeruak diantara kekhawatiran, khawatir jika mereka tidak mendapatkan hasil dalam perjalanan kali itu. Namun segera ia tepis pikiran itu, apapun yang terjadi, Karin harus mendapatkan informasi untuk mengarahkannya pada keberadaan pak Budiman, ayahnya.
Mobil yang mereka tumpangi memasuki sebuah gapura besar diujung sebuah jalan aspal masuki sebuah pemukiman dengan jalan konblok yang sepertinya masih baru terpasang. Rapi dan mulus.
“Kalau sesuai alamat, ini neng kelurahannya.”
Mang Dudung menurunkan kecepatan kemudinya.
“Tapi mamang gak tau lokasi pastinya. Kayaknya lebih baik neng Karin tanya warga sekitar sini neng.”
“Iya mang, lebih baik tanya dulu aja sebelum masuk lebih jauh.”
“Baik neng, kita cari warung saja ya neng. Brenti di warung nanti nanya nanya disana.”
Karin mengangguk. Sepertinya itu ide bagus dan masuk akal. Tak lama kemudian, disisi kiri jalan mereka menemukan sebuah toko kelontong yang cukup besar, dengan beberapa orang tampak sedang berbelanja di sana. Mang Dudung menepikan mobil tepat di samping kanan toko dan Karina sigap turun mendekati seorang ibu yang tengah belanja disana.
“Permisi bu, maaf mau tanya.”
“Nyak neng, tanya naon nyak?”
Seorang ibu paruh baya dengan ramah menyambut sapaan Karina.
“Ibu, kalau RT 12 RW 4, di mana ya bu?”
“Oh neng mau cari alamat ya? Memang mau cari alamat siapa neng?”
“Ini bu.”
Karina menyerahkan secarik kertas yang mulai lusuh karena sepanjang jalan ia pegang dan bahkan sesekali meremasnya.
“Oh, ini sudah dekat kok neng. Itu, neng lurus saja kesana, trus nanti kiri jalan ada toko elektronik, sebelahnya ada gang masuk, neng masuk ajah ke kiri, trus sampai mentok perempatan, nanti neng ke kanan. Nah, rumahnya gak jauh dari perempatan itu neng. Yang halamannya luas, ada pohon kelengkeng di depannya. Rumahnya cat putih tapi udah kusem neng. Rumah lama soalnya.”
Panjang lebar si ibu mengarahkan. Karina menyimak dengan seksama sambil sesekali menirukan kata-kata yang ibu tersebut ucapkan.
“Perempatan ke kanan, rumah yang halaman luas, cat putih ada pohon kelengkeng. Gitu ya bu?”
“Nah, betul neng. Tapi, neng ini siapa? Nyari siapa neng?”
“Saya juga gak tau bu itu rumah siapa, saya cuma diminta datang ke sana.”
Ibu berdaster bunga-bunga yang menunjukan arah tersebut mengerutkan dahi, sepertinya ada hal yang sedikit aneh menurutnya.
“Tapi neng, rumah itu sudah lama kosong. Ditinggal sama yang punya neng.”
“Katanya ada yang jagain rumahnya ya bu?”
“Oh, iya ada sih. Mang Daryo namanya. Tapi gak tiap hari neng disitu.”
“Oh gitu ya bu.”
“Tapi gak papa neng coba aja dulu kesana. Siapa tau pas ada disana.”
Karin tersenyum. Lalu pamit dan mengucapkan terima kasih. Ada sedikit ragu yang menyergap, namun ia harus tetap melanjutkan misinya, menemukan papa.
Karin menyampaikan petunjuk arah itu kepada mang Dudung yang mengarahkan kemudinya menurut pada arahan Karin. Dan benar saja, mereka sampai di depan sebuah bangunan rumah tua yang cukup unik dan lain dari bangunan disekitarnya. Rumah bergaya lama dengan halaman yang cukup luas namun kurang terawat. Rumput-rumput liar tumbuh cukup subur di halaman yang terpagar besi, pagar yang sudah mulai dimakan karat dan tak lagi tegak berdiri, melainkan sedikit meleot kesisi dalam.
Sekalipun bangunan itu jelas tampak bangunan lama yang tak terlalu terawat, tetapi tak menutupi ada kemegahan dan sisa-sisa kemewahan hidup di sana. Karina turun dari mobil, menatap takjub rumah itu dengan mulut yang membuka tanpa sadar. Sementara Dimas mencoba menggoyang goyang pintu pagar besi yang hanya setinggi dadanya, dan jelas tak mampu menutupi pandangan area halaman itu.
“Kak, terkunci nih. Gimana dong?”
Karin tak menyahut. Ia berjalan dari ujung ke ujung pagar besi seolah mencari sesuatu.
“Lu nyari apaan sih kak?”
“Gue kayak gak asing ama tempat ini Dim. Gue yakin dulu gue pernah kesini.”
Dimas hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kakaknya bak detektif sedang memecahkan sebuah misteri.
“Permisi.... sepada....”
Dimas berusaha memberi salam. Berharap ada orang mendengar dan keluar dari dalam rumah itu membukakan pintu.
“Permisi... Punten.... Assalamualaikum... “
Dimas masih belum menyerah. Dinaikkannya suara memberi salam, namun nihil. Tak ada satu pun suara yang menyahut.
“Atau kita coba tanya ke tetangga neng, siapa tau ada yang ngerti kita harus nemuin siapa.”
Mang Dudung memberikan saran. Dimas menyetujui, sepertinya memang tidak ada orang di dalam rumah itu. Mereka lantas mengawasi sekeliling, mencari seseorang yang mungkin bisa mereka mintai keterangan. Sampai tiba-tiba seorang kakek dengan mengenakan kaus putih dan sarung bercorak garis garis mendekati mereka.
“Neng Karin sama a Dimas ya?”
Karin dan Dimas terkejut, mereka bersamaan menoleh ke arah suara, terdiam tanpa menjawab.
“Ternyata benar kalian.”
Sang kakek tersenyum. Matanya berkaca-kaca, ada haru yang tak dapat ditutupi dari mata sayu dengan kelopak mata yang mengendur karena usia. Karin dan Dimas natap kakek itu dengan seksama, dari ujung kaki sampai ujung rambut seolah mencari sebuah jawaban, siapa kakek ini?
“Kenapa baru datang? Aki sudah lama nunggunya.”
“Kakek ini siapa?”
Karin mendekat. Kakek ini jelas sangat mengenalinya dan adiknya. Tapi, menunggunya? Untuk apa kakek ini menunggu kedatangan mereka?
“Panggil saja aki. Aki Daryo.”
Diangkatnya sarung lusuh berwarna coklat bercorak garis kekuningan hingga terlihat celana hitam sepanjang lutut yang ia kenakan di dalam sarung. Dirogohnya sebuah kunci dari kantong celana hitam itu, lalu ia membuka pintu besi reot dan mendorongnya perlahan hingga pintu itu terbuka lebar.
“Ayo, kita masuk dulu. Sudah Aki siapkan semua di dalam.”
Tanpa persetujuan, kakek yang menyebut dirinya Ki Daryo itu masuk kedalam halaman rumah yang cukup rindang oleh beberapa pohon kelengkeng, lalu membuka pintu rumah itu.
“Ayo, masuk.”
Ia berbalik badan menatap Karin dan Dimas yang masih dibekukan oleh keterkejutan dan kebingungannya, mengajaknya masuk ke dalam rumah. Ragu, namun akhirnya rasa penasaran Karina menuntun kakinya masuk mengikuti langkah Ki Daryo.
“Kak lu yakin mau masuk? Gue ngeri kak.”
Dimas mencegat lengan tangan kakaknya, telapak tangannya basah oleh keringat dingin. Tampaknya Dimas sedikit ketakutan.
“Dia itu orang Dimas, buka demit. Udah lu kalau mau masuk buruan. Kalau gak mau ya udah lu tunggu di mobil aja sana.”
Karina melepaskan tangan Dimas lalu beranjak masuk kedalam halaman rumah. Dimas merasa tak enak hati, tapi ia tak mungkin membiarkan kakaknya masuk sendirian ke dalam, akhirnya ia berlari mengejar kakaknya masuk.
“Mamang tunggu di mobil aja ya neng!”
Mang Dudung setengah berteriak dan Karin hanya membalas dengan mengacungkan jari jempol yang diangkat sampai ke atas kepala.
“Kak tungguin gue.”
Dimas berlari mengejar langkah Karin lalu berjalan begitu sudah disebelah kakaknya.
“Kalau ternyata kakek-kakek itu demit beneran gimana kak?”
Dimas berbisik tak mau Ki Daryo yang masih menunggu mereka dari depan pintu masuk mendengarnya.
“Biarin aja dia makan elu.”
Goda Karin kepada Dimas sambil terus melangkah menuju pintu rumah, sementara Dimas manyun manyun mengikuti langkah kakaknya.
***