Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Kedatangan Arabelle
Pagi harinya, suara deru mobil berhenti tepat di halaman depan rumah. Dari balik tirai, Vilya menatap sejenak ke luar jendela dan seperti yang sudah ia duga, sosok itu datang.
Arabelle muncul, nyaris tak beda dari bayangan masa lalu. Gaun one-piece merah membalut tubuhnya dengan sempurna, dipadukan dengan sepatu hak tinggi yang berkilau. Rambut panjangnya tergerai rapi sampai ke punggung bawah. Tatapannya tajam, langkahnya ringan, dan sikapnya tetap sama: angkuh, seperti dunia ada di bawah kakinya.
"Arabelle! Aku kangen banget!" Elena langsung memeluk sepupunya dengan senyum lebar.
"Aku juga, Elena!" balas Arabelle, membalas pelukan itu singkat. Begitu mereka saling melepaskan pelukan, pandangan Arabelle langsung beralih ke Vilya, mengamati dari ujung kepala hingga kaki tanpa berusaha menyembunyikan rasa tidak suka di matanya.
"Lama nggak ketemu, Bibi," ujarnya sambil tersenyum ke arah Elmira. "Bibi kelihatan makin muda aja."
"Mulut manismu dari dulu nggak berubah." Elmira tertawa kecil. "Panas banget hari ini, kamu pasti capek. Ayo, masuk dulu."
"Baiklah." Arabelle mengangguk, lalu dengan santai nya menyerahkan tas mewahnya ke tangan Vilya. "Ini, bisa tolong bawakan?"
Ia terdiam sejenak, lalu mengangkat wajahnya, menatap balik sorot mata Arabelle. Elena yang berdiri di samping hanya bisa menahan senyum puas, menunggu gadis itu breaksi.
Elmira pura-pura tak mendengar apa-apa, tapi diam-diam memperhatikan reaksi Vilya dengan saksama.
Tanpa banyak bicara, gadis itu menyipitkan mata, lalu melangkah mundur sedikit. "Erland, tolong bawakan tas tamu ke dalam."
Erland, yang awalnya berharap bisa menyaksikan drama kecil pagi itu, justru terdiam saat mendengar perintah itu. Ia melirik sekilas ke arah Elmira, tapi wanita itu tidak mengatakan apa pun.
"Aku menyuruhmu membawa tas itu masuk. Apa kau tidak mengerti?" Nadanya mulai terdengar kesal.
Gadis itu hanya terkekeh kecil. Ia berbalik, berjalan pergi tanpa sedikit pun menoleh. "Lucu."
“Kamu!” Arabelle nyaris tak bisa menahan amarah. Sejak kecil, orang-orang selalu berusaha menyenangkannya. Tapi Vilya? Gadis itu benar-benar menyebalkan—berani sekali memperlakukannya seolah tak ada artinya. Ia melangkah cepat dan menghadang jalannya.
“Vilya, aku minta kamu bawakan tasku ke dalam!"
"Oh, jadi kamu tau siapa aku." Ia menyipitkan mata lalu menoleh ke arah Elmira. Nada suaranya terdengar datar, tapi sorot matanya tajam. "Bibi, ajaran etika dari keluarga Arabelle rupanya cukup... berkarakter ya?"
Elmira sempat terdiam, lalu tersenyum kecil seolah tak terjadi apa-apa. "Ah, Arabelle mungkin tidak bermaksud seperti itu, jangan terlalu di ambil hati."
Ia kemudian menatap Erland sejenak. Tatapannya cukup tajam hingga membuat suasana jadi hening. Tanpa banyak bicara, ia membalikkan badan dan pergi meninggalkan mereka.
Erland juga bukan orang yang bisa di anggap sepele. Kalau tidak di tangani dengan tepat, ia bisa menjadi pembawa masalah di kemudian hari.
"Kau!" Arabelle nyaris kehilangan kendali. Wajahnya memerah, dan ia tampak ingin menariknya.
"Arabelle." Suara Elmira terdengar tenang, tapi tegas. Ia menarik napas panjang dan menatap punggung gadis tersebut yang mulai menjauh.
"Perjalanan masih panjang," gumam nya lirih.
Arabelle menggertak kan gigi. Belum pernah ada yang berani memperlakukan nya seperti ini, bahkan gadis itu merendahkan ajaran keluarganya.
Ia menatap ke depan, sorot matanya tajam.
"Dia akan menyesal. Aku akan pastikan itu!"