Maya Amelia, seorang mahasiswi hukum Universitas Bangsa Mulya, tak pernah menyangka kalau takdir akan mempertemukannya dengan Adrian Martadinata pengacara muda,tampan,dan terkenal di kalangan sosialita.
Awalnya, Maya hanya mengagumi sosok Adrian dari jauh. Namun, karena sebuah urusan keluarga yang rumit, Adrian terpaksa menikahi Maya gadis magang yang bahkan belum lulus kuliah, dan tak punya apa-apa selain mimpinya.
Setelah Menikah Adrian Tak bisa melupakan Cinta Pertamanya Lily Berliana seorang Gundik kelas atas yang melayani Politisi, CEO, Pejabat, Dokter, Hingga Orang-orang yang punya Kekuasaan Dan Uang. Lily Mendekati Adrian selain karena posisi dirinya juga mau terpandang, bahkan setelah tahu Adrian sudah memiliki istri bernama Maya, Maya yang masih muda berusaha jadi istri yang baik tapi selalu di pandang sebelah mata oleh Adrian. Bahkan Adrian Tak segan melakukan KDRT, Tapi Ibunya Maya yang lama meninggalkannya kembali Greta MARCELONEZ asal Filipina untuk melindungi Putrinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mariana Bertemu Anak Gadis Itu Bernama Maya
Restoran Bebek Pak Ahmad – Pagi Hari
Suasana pasar mulai sibuk, tapi restoran sederhana di pojok area parkir itu tampak berbeda. Bersih, rapi, dengan aroma bebek goreng dan sambal yang menggoda dari dapur terbuka di belakang.
Di pojok ruangan, Mariana dan Jeng Lintang baru saja duduk di meja kayu panjang yang tertata apik.
“Tuh kan, tempatnya lumayan kan, Jeng?” ujar Lintang sambil melepas kacamata hitamnya.
“Iya, aku kira bakal kayak warteg... tapi ini sih bersih dan enak dilihat,” jawab Mariana, menoleh ke sekeliling. Matanya memindai ruangan yang ramai tapi tertib.
Seorang pelayan muda menghampiri dengan ramah.
“Selamat pagi, Bu. Pesan apa ya?”
Lintang menjawab cepat, “Bebek goreng dua, sambalnya dipisah. Nasi satu setengah aja ya. Oh, teh tawar panasnya dua.”
Pelayan mencatat lalu berlalu.
Mariana menghela napas pelan. “Dari luar kelihatan kecil, tapi isinya… lengkap juga. Ini yang punya namanya Pak Ahmad ya?”
Lintang mengangguk. “Iya, itu tuh—yang di dekat dapur lagi ngawasin pesanan.”
Mariana menoleh. Pak Ahmad tampak sibuk, memeriksa daftar GoFood sambil sesekali tersenyum pada pelanggan. Wajahnya sedikit letih, tapi bersahabat.
“Kayaknya pernah lihat deh,” gumam Mariana. “Atau mungkin cuma merasa aja...”
Lintang menyeringai. “Mungkin jodoh anak kamu tuh, Jeng, makanya ketarik terus ke sini.”
Mariana tertawa kecil. “Udah lah, jangan cocok-cocokin. Tapi... kalau memang anaknya kerja keras, ya boleh lah dipertimbangkan.”
Beberapa menit kemudian, pesanan datang. Bebek goreng renyah, sambal terasi menggoda, dan nasi panas mengepul.
Mariana menyuap perlahan. Matanya membulat.
“Masya Allah... empuk banget! Sambalnya juga... duh, nendang!”
Lintang tertawa. “Makanya aku ajak kamu. Tuh kan, lidah Nusantara gak pernah bohong.”
Mereka tertawa pelan, menikmati pagi itu dengan hangat. Mariana masih menatap ke arah Pak Ahmad dari kejauhan, belum sadar bahwa pria itu adalah ayah dari gadis yang diam-diam pernah ia temui—dan diam-diam mulai menarik perhatiannya.
Mariana baru saja meneguk teh tawar hangat ketika Pak Ahmad lewat, membawa nampan kosong dari meja tetangga. Saat pandangan mereka bertemu, Ahmad tersenyum sopan.
“Selamat pagi, Bu. Semoga makanannya cocok di lidah,” katanya ramah, meski wajahnya tampak sedikit letih.
Mariana menegakkan tubuhnya, tersenyum kembali.
“Alhamdulillah... bukan cuma cocok, Pak. Ini bebek terenak yang saya makan dalam beberapa bulan terakhir.”
Ahmad tertawa kecil. “Wah, saya bersyukur dengar itu. Semua bumbunya saya olah sendiri, Bu. Sambal juga sambal ulek asli.”
“Pantas rasanya beda,” sahut Mariana sambil menoleh ke Lintang, lalu kembali pada Ahmad. “Bapak kerja sendiri?”
Ahmad mengangguk. “Iya Bu, saya yang kelola dari dapur sampai GoFood. Ada anak buah, tapi saya tetap turun tangan.”
Lintang menimpali, “Ini yang saya bilang ke Jeng Mariana. Pemiliknya kerja keras, tapi tetap rendah hati.”
Mariana memandangi Ahmad sejenak, ada kilasan empati muncul di wajahnya.
“Punya anak, Pak?”
Ahmad sempat terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.
“Ada... satu. Perempuan. Masih kuliah.” Senyum tipis muncul di bibirnya, tapi ada gurat kelelahan yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan.
“Sendiri ngurus semuanya?” tanya Mariana, nadanya kini sedikit lebih lembut.
Ahmad mengangguk lagi, kali ini lebih tenang. “Ya begitulah, Bu. Tapi saya nikmati. Selama anak saya bisa kuliah dan makan cukup, saya udah bersyukur.”
Mariana terdiam, hatinya tersentuh oleh ketulusan itu.
“Semoga dagangannya makin laris ya, Pak Ahmad,” ujarnya tulus, kali ini menyebut namanya setelah membaca dari papan menu kecil di sudut meja.
Ahmad tersenyum, matanya berbinar.
“Amin, Bu. Terima kasih banyak.”
Ia pun pamit untuk kembali ke dapur. Mariana memperhatikan sosok pria itu hingga menghilang di balik pintu kecil menuju area belakang.
“Orang baik,” gumamnya, hampir seperti bicara pada diri sendiri.
Lintang menyikut pelan. “Tuh kan, siapa tahu jodoh buat anakmu, bukan cuma dari tampangnya, tapi dari bapaknya juga kelihatan berkualitas.”
Mariana hanya tertawa kecil. Tapi di dalam hatinya, ada sedikit rasa penasaran yang tak bisa ia abaikan.
Hari itu restoran tak seramai biasanya, tapi tetap cukup sibuk. Maya mengikat rambutnya ke belakang, mengenakan celemek, dan membantu mencuci piring di dapur.
Sementara itu, di ruang makan, Mariana Martadinata tengah menyelesaikan makan siangnya bersama Jeng Lintang.
Wajahnya tampak puas, meski ekspresinya kini serius, seperti sedang berpikir.
Setelah menyeruput teh, Mariana menoleh ke arah Ahmad yang berdiri di dekat kasir.
"Pak Ahmad," sapanya.
Ahmad segera menghampiri. "Iya, Bu?"
Mariana menyeka sudut bibirnya dengan tisu. "Saya boleh kenalan sama anak Bapak? Saya penasaran... dari cara Bapak cerita tadi, kayaknya anaknya hebat."
Ahmad sempat terkejut, lalu mengangguk. "Oh tentu Bu, kebetulan dia lagi bantu-bantu di dapur hari ini. Saya panggilkan."
Namun sebelum Ahmad sempat bergerak, suara langkah cepat terdengar dari arah dapur. Maya muncul, masih mengenakan celemek, tangannya sedikit basah bekas dari mencuci.
"Ayah, piring udah aku cuci, aku mau—" Ucapannya terhenti ketika matanya menangkap sosok wanita di meja dekat jendela. Seketika ekspresinya berubah.
Mariana juga menoleh, dan matanya membelalak sedikit.
"Kamu..." tunjuknya pelan, terkejut. "Kamu yang nolongin saya waktu di pasar, kan? Waktu saya hampir dicopet?"
Maya tampak kikuk sejenak, lalu menunduk sopan. "Iya Bu… saya ingat Ibu. Waktu itu Ibu beli tomat."
Mariana terkekeh. "Betul sekali… Saya ingat kamu juga. Waktu itu kamu sopan sekali, anak baik."
Ahmad hanya bisa menatap bingung, belum tahu konteks pertemuan mereka sebelumnya.
"Ini anak saya, Bu. Namanya Maya," kata Ahmad kemudian, penuh bangga.
Mariana menoleh ke Ahmad sejenak, lalu kembali menatap Maya—kali ini dengan tatapan yang lebih lembut dan penuh makna. Seperti menyusun satu demi satu potongan yang baru saja terhubung.
"Maya..." gumamnya pelan. "Nama yang cantik."
Mariana duduk di kursi penumpang, sementara Jeng Lintang duduk di sebelah sopir. Matanya masih menerawang ke luar jendela.
"Lintang... kamu tahu nggak siapa nama bapaknya tadi?" tanya Mariana pelan, seperti orang yang tengah menyusun teka-teki.
"Tadi pelayannya manggil Pak Ahmad, deh. Kayaknya pemiliknya."
Mariana mengangguk kecil. "Ahmad ya... restoran sederhana, tapi ramai. Itu anak... Maya katanya?"
"Iya, Maya. Anak semata wayangnya," jawab Lintang sambil memeriksa ponselnya.
Mariana bersedekap. Ada nada ragu sekaligus ingin tahu dalam tatapannya.
"Aku penasaran, Lat. Anak kayak gitu... sopan, cerdas. Tapi jelas bukan dari lingkungan kita. Aku pengin tahu dia kuliah di mana, tinggal di mana, dan… siapa temannya."
Jeng Lintang tertawa kecil. "Kamu serius nyari calon buat Adrian sekarang?"
"Aku serius nyari calon yang pantas jadi istri anakku. Lily itu cantik, iya. Tapi semakin lama aku lihat, bukan itu yang dibutuhkan Adrian buat jadi laki-laki yang lebih baik."
"Dan kamu pikir Maya bisa?"
Mariana menatap sahabatnya, serius.
"Aku belum tahu. Tapi aku mau tahu lebih dulu sebelum nilai dia."
Mobil pun melaju, tapi kepala Mariana masih sibuk merangkai nama, wajah, dan kesan dari pertemuan singkat yang—tanpa ia sadari—akan menjadi titik awal dari perubahan besar dalam hidup putranya.
Pinginnya gak panjang-panjang awalan ceritanya...
malah kadang suka lebih seru kalau awalan nya langsung yg konflik atau sudah jadi nya aja 👍😁
Ditengah atau setelahnya baru dehh bisa di ceritakan lagi sedikit atau pelan-pelan proses dari awalan Konflik tsb 👍😁🙏
kalau di awalin sebuah perjalanan cerita tsb,kadang suka nimbulin boring dulu baca nya... kelamaan ke konflik cerita tsb nya 🙏🙏🙏