Bukan kita menginginkan lahir ke dunia ini. Bukan kita yang meminta untuk memiliki keadaan seperti ini.
Sudah bertahan begitu lama dan mencoba terus untuk bangkit dan pada kenyataannya semua tidak berpihak kepada kita?
Aira yang harus menjalani kehidupannya, drama dalam hidup yang sangat banyak terjadi dan sering bertanya siapa sebenarnya produser atas dirinya yang menciptakan skenario yang begitu menakutkan ini.
Lemah dan dan sangat membutuhkan tempat, membutuhkan seseorang yang memeluk dan menguatkannya?
Bagaimana Aira mampu menjalani semua ini? bagaimana Aira bisa bertahan dan apakah dia tidak akan menyerah?
Lalu apakah pria yang berada di dekatnya datang kepadanya adalah pria yang tulus yang dia inginkan?
Mari ikutin novelnya.
Jangan lupa follow akun Ig saya Ainuncefenis dan dapatkan kabar yang banyak akun Instagram saya.
Terima kasih.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainuncepenis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 15 Menerima
Setelah membereskan orang-orang yang sudah mengganggu Aira. Arfandi langsung menghampiri Aira.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Arfandi yang tampak panik membuat Aira menggelengkan kepala.
Arfandi nampak ingin melihat luka di pipi Aira dan Aira langsung menghindar.
"Kamu terluka Aira dan bagaimana mungkin kamu mengatakan tidak apa-apa!" ucap Arfandi.
"Aku memang tidak apa-apa," jawab Aira yang tetap saja merasa baik-baik saja.
"Ayo masuk," Arfandi memegang lengan Aira untuk mengajak yang masuk ke dalam mobil, tetapi langkah itu tertahan yang membuat Arfandi menoleh kembali ke arah Aira.
"Kenapa?"
"Kamu masih keras kepala dan mau berjalan sendiri pulang ke rumah. Kamu ingin kejadian ini terulang kembali?" tanya Arfandi yang harus tegas pada Aira.
Aira tidak menjawab yang melepaskan tangannya dari Arfandi, Aira yang ternyata tidak pulang sendiri dan dia memasuki mobil Arfandi yang memutar Arfandi merasa lega.
Jarak rumah Aira dengan lokasi kejadian memang sudah sangat dekat sekali, tetapi tetap saja Arfandi tidak bisa membiarkan Aira pulang ke rumah. Sepanjang di jalan mereka hanya diam saja yang tidak membangun komunikasi apapun.
Arfandi juga tidak ingin bertanya apa-apa kepada Aira yang dia tahu Aira pasti saat ini masih sangat schok dengan apa yang barusan dia dapatkan.
Arfandi mengantarkan Aira sampai depan pintu rumahnya untuk memastikan keselamatan wanita itu, karena banyak kemungkinan orang-orang itu pasti akan datang kembali mengganggu Aira.
"Terima kasih sudah menolongku," ucap Aira. yang berdiri di depan pintu rumahnya.
"Kalau begitu izinkan aku sekali lagi untuk membantumu," ucap Arfandi yang terdengar begitu lirih, tatapan matanya memang tulus ingin melakukan hal itu.
"Aku sudah mengatakan jangan terlalu ikut campur urusanku. Aku masih bisa menghadapinya dan selama ini aku juga menghadapi sendiri...."
"Tapi kali ini kamu tidak bisa menghadapinya," Arfandi memotong kalimat itu.
"Aira kamu harus tahu bagaimana orang-orang yang berada dalam tekanan pekerjaan, mereka melakukan semua itu untuk mengejar target mereka karena mereka juga mendapatkan tekanan dari atasan mereka dan mereka tidak peduli apapun alasan kamu. Kamu pikir bisa selamat dua kali. Jangan karena mempertahankan ego kamu dan kamu tidak memikirkan keselamatan kamu!" tegas Arfandi.
"Arfandi cukup. Kamu tidak tahu apa-apa yang aku alami dan kamu jangan sok tahu aku...."
"Semua orang tahu apa yang kamu alami. Aira aku tidak mungkin berbicara seperti ini jika aku tidak tahu apapun!" lagi-lagi Arfandi memotong kalimat Aira.
"Orang-orang di kantor mengetahui semuanya dan kamu masih saja berpura-pura semuanya baik-baik saja!" tegas Arfandi.
Jika atasan Aira bukan Arfandi yang pasti memang akan membahas masalah ini dan mungkin akan menyalahkan Aira karena sangat mengganggu kenyamanan Perusahaan.
"Jangan keras kepala dan biarkan aku membantumu," ucap Arfandi dengan suara rendah.
Aira melihat dari ekspresi wajah Arfandi yang memang terlihat khawatir padanya dan pasti sangat tulus untuk membantunya. Aira hanya diam dengan kebingungan, tadi dia berusaha untuk mendapatkan uang dari ayahnya dan ternyata tidak ada yang dia dapatkan ketika pulang ke rumah dan justru rasa sakit hati dengan cibiran saudara-saudaranya.
Lalu sekarang ada pria tulus yang menawarkan bantuan kepadanya, mungkin harga diri Aira terlalu tinggi sehingga masih merasa bisa menghadapi semuanya. Tetapi dia tidak sadar jika harga dirinya sudah bener-bener diinjak-injak dengan penagih itu yang mempermalukannya.
"Aira jangan memikirkan apapun. Aku benar-benar niat membantu dan tidak bisa melihat kamu seperti ini," lanjut Arfandi.
"Jadi biarkan aku Aira membantumu,"
"Baiklah," sahut Aira yang memang tidak punya pilihan lain.
"Katakan berapa?" tanya Arfandi to the point.
Aira terdiam dengan matanya ke sana kemari, Arfandi menghela nafas dan mengambil dompetnya.
"Pakai ini," Arfandi memberikan kartu ATM.
"Mungkin kamu tidak ingin mengatakan nominalnya kepadaku yang masih gengsi. Baiklah tidak apa-apa. Kamu gunakan seperlunya yang kamu butuhkan dan aku akan wa kamu pin nya," ucap Arfandi yang tahu saja apa yang ada di pikiran Aira.
Mungkin sangat tidak etis harus menceritakan nominal. Arfandi menautkan kedua alisnya untuk Aira mengambil kartu ATM yang sejak tadi masih dia pegang dan akhirnya Aira mengambilnya.
"Makasih, aku akan kembalikan secepatnya," ucap Aira.
"Yang kamu dahulukan terlebih dahulu adalah masalah kamu dan ketika semua sudah selesai dan kamu sudah mulai tenang dan perekonomian kamu sudah kembali normal baru pikirkan untuk mengembalikannya. Aku tidak memberikan waktu sampai kapanpun itu," ucap Arfandi. Aira menganggukkan kepala.
"Ya. Sudah sekarang kamu istirahat. Aku pulang dulu," ucap Arfandi. Aira menganggukkan kepala.
"Assalamualaikum," sapa Arfandi.
"Walaikum salam," jawab Aira.
Arfandi yang langsung pergi dari hadapan Aira dan tidak mengatakan apapun lagi. Aira juga langsung menutup pintu rumahnya.
"Alhamdulillah," ucap Aira yang menghela nafas bersandar di pintu rumahnya yang sudah tertutup.
Dia tidak percaya jika bantuan itu datang dari orang yang sudah begitu lama tidak bertemu dengannya dan Arfandi mempercayainya yang memang benar-benar tulus membantunya.
Sangat bohong jika Arfandi tidak tahu masalah yang dihadapi Aira, karena dirinya sering berada di saat orang-orang itu datang menghakimi Aira. Belum lagi masalah itu juga dibawa ke kantor.
***
Perusahaan
Aira yang keluar dari Perusahaan di jam makan siang.
"Aku harus menyelesaikan hari ini juga," ucap Aira yang menggunakan kesempatan itu untuk mengurus masalahnya.
"Aira!" Aira tiba-tiba saja terkejut saat mendengar suara yang tidak asing itu dan ternyata benar itu adalah Arfandi yang tiba-tiba saja muncul di belakangnya.
"Iya," sahut Aira.
"Kamu kenapa gelisah sekali? kamu mau pergi?" tanya Arfandi.
"Iya. Aku mau ke kantor penagihan yang memiliki urusan denganku. Aku putuskan langsung melakukan pembayaran di sana saja," jawab Aira.
"Baguslah kalau begitu aku juga setuju. Agar lain kali orang-orang mereka yang disuruh turun ke lapangan bisa menjaga sikap dan mendapatkan teguran atas apa yang mereka lakukan," ucap Arfandi yang membuat Aira menganggukkan kepala.
"Hmmmm, kamu sendiri sibuk tidak?" tanya Aira tampak hati-hati.
"Tidak juga. Memang kenapa?" tanya Arfandi.
"Mau menemaniku?" tanya Aira yang benar-benar sangat takut mengatakan kalimat itu.
Respon Arfandi sangat baik sekali yang bahkan sampai tersenyum.
"Ayo aku antar," sahut Arfandi yang ternyata tidak masalah dan mempersilahkan Aira untuk berjalan terlebih dahulu ke mobil ini. Aira menganggukkan kepala.
Arfandi ternyata bukan hanya mengantar Aira saja, bahkan dia menunggu Aira sampai selesai mengurus semua permasalahan pembayaran yang sudah tertunggak. Arfandi memang tidak ikut masuk, karena Aira tidak ingin permasalahan diperpanjang yang tadinya Arfandi sempat mengungkit untuk membawa masalah itu ke dalam polisi.
Aira menganggap segala sesuatu yang terjadi karena konsekuensi yang memang dia dapatkan. Jadi Aira hanya mengambil jalan Tengah saja untuk berdamai dan menyelesaikan permasalahannya.
Tidak lama Aira sudah kembali lagi memasuki mobil Arfandi dengan membawa dokumen.
"Selesai?" tanya Arfandi melihat wajah Aira tampak lebih fresh. Aira mengangguk tersenyum.
"1 yang selesai dan masih ada yang lain," jawab Aira yang memang masalah hutang piutang itu bukan hanya pada satu pihak saja.
"Kemana lagi?" tanya Arfandi.
"Hmmm, aku akan menyelesaikannya di rumah nanti," jawab Aira.
"Baiklah kalau begitu sekarang kita makan siang saja. Ini sudah lewat jam makan siang," ucap Arfandi.
Aira menganggukkan kepala, perutnya juga keroncongan sejak tadi.
Arfandi tampak senang dengan Aira yang sekarang memang tidak terlalu sungkan lagi.
Bersambung......
semoga sj afandi mau membantu mia
insyaallah aku mampir baca novel barumu thor
itu arfandi ada apa ya ga keluar dari kantornya apa dia sibuk di dlm apa sakit, bikin penasaran aj
jarang2 kan aira bisa sedekat itu sama arfandi biasanya dia selalu menjauh...
tapi arfandi lebih menyukai aira,,,
setelah ini aira bisa tegas dalam berbicara apalagi lawannya si natalie... dan jangan terlalu insecure ... semua butuh proses