Rara hanyalah seorang gadis biasa yang hidupnya berubah sejak diadopsi oleh pasangan kaya, Nadine dan Damar. Di usianya yang masih 15 tahun, ia merasa mendapat kesempatan kedua dalam hidup-tempat tinggal yang nyaman, kasih sayang, dan harapan baru. Tapi semua itu bukan tanpa alasan. Rara diangkat bukan hanya sebagai anak, tapi juga disiapkan untuk satu tujuan: menjadi ibu pengganti bagi anak pasangan itu.
Sebagai bentuk balas budi, Rara menerima takdirnya. Ia ingin membalas kebaikan mereka dengan keikhlasan, tanpa berharap apa-apa. Tapi takdir memiliki caranya sendiri untuk menghancurkan segalanya.
Di malam ulang tahun temannya, sebuah kesalahan tak termaafkan terjadi. Dalam keadaan mabuk dan tak sadar, Rara dan Damar menghabiskan malam bersama-tanpa cinta, tanpa kesengajaan, hanya kekeliruan yang tak bisa dihapus. Beberapa minggu kemudian, saat prosedur inseminasi kembali direncanakan, Damar menghentikannya. Ia tahu... Rara mungkin sudah hamil. Dan yang tumbuh di dalam rahim itu adalah anaknya-bukan dari hasil inseminasi, melainkan dari peristiwa yang disangkal dan ditutupi.
Sementara Nadine, yang begitu bahagia dengan kehadiran janin dalam rahim Rara, tak menyadari bahwa anak itu bukanlah hasil inseminasi seperti yang ia yakini. Sampai akhirnya, perhatian berlebih Damar pada Rara membongkar semuanya.
Kehancuran pun menyusul. Nadine merasa dikhianati, kebenaran -tentang janin yang dikandung Rara, dan tentang hubungan terlarang yang tak pernah Rara inginkan.
Diusir.
Dihina.
Dibuang.
Rara kehilangan segalanya-termasuk harga dirinya. Tapi ia memilih pergi... karena ia tahu, dirinya bukan pelaku... tetapi korban dari cinta beracun yang seharusnya tak pernah tumbuh, karena cinta dari pria seegois Damar bukan sesuatu yang bisa dihindari-itu adalah jerat.
Dan Damar sendiri,terjebak antara dua perempuan yang sama-sama mengisi ruang berbeda dalam hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Suara pintu mobil yang tertutup menandakan keduanya baru saja tiba di rumah. Damar turun lebih dulu, membuka bagasi dan mengangkat beberapa kantong belanjaan. Rara hanya berdiri di sisi mobil, tak bergerak, matanya menerawang ke arah rumah besar di depannya. Rumah yang semakin hari semakin terasa asing... dan sunyi.
"Masuklah," ujar Damar, menyadari Rara belum melangkah. "Saya bawa belanjaannya. Kamu istirahat aja."
Rara mengangguk kecil, tanpa suara.
Saat mereka memasuki rumah, suasana dalam rumah masih sama—sepi, seperti biasa akhir-akhir ini. Tak ada suara tumit sepatu Nadine yang biasanya terdengar lantang di lantai marmer, tak ada tawa riang atau dering telepon yang biasanya dikejar Nadine dengan panik.
Hanya sunyi. Dan langkah mereka berdua yang menggema pelan di koridor.
"Bersihkan dulu tubuhmu. baru Istirahat," kata Damar sambil meletakkan belanjaan di atas meja makan. "Kalau makanannya sudah selesai, aku panggil."
"Bu Nadine... belum pulang?" tanya Rara pelan, matanya melirik ke arah tangga, lalu ke arah jam dinding.
Damar menggeleng. "Sepertinya nggak pulang siang ini. "
Rara hanya mengangguk sekali lagi. Ia tak bertanya lebih lanjut. Sudah terlalu sering Nadine tak pulang siang, terlalu sering juga ia menahan rasa heran dan bertanya-tanya—tapi toh tak pernah mendapat jawaban.
Sementara Damar sibuk menata belanjaan di dapur, Rara memutar tubuhnya, bersiap menaiki anak tangga. baru beberapa langkah ia naik, terdengar lagi suara Damar dari arah ruang makan.
"Rara."
Ia berhenti sejenak, menoleh setengah badan.
"Jangan lama-lama di kamar mandinya, oke? Kalau kamu pusing, atau mual lagi... panggil aku."
Rara tak menjawab. Ia hanya menatap Damar beberapa detik. Tak ada raut marah di wajah pria itu, hanya tatapan datar.
Akhirnya, tanpa suara, ia melanjutkan langkahnya ke atas.
...➰➰➰➰...
Satu minggu telah berlalu sejak Rara dinyatakan hamil. Waktu terasa begitu lambat baginya—seolah tiap detik adalah cobaan yang harus ia lalui dengan napas berat dan kepala pusing. Mual dan muntah menjadi bagian dari rutinitas hariannya. Bahkan hanya dengan mencium bau masakan dari dapur, ia sudah merasa seperti ingin mengosongkan isi perutnya. Hampir setiap jam ia harus menahan sensasi ingin muntah, dan di setiap saat itu pula, Damar selalu muncul... seakan tahu waktu pasti kapan Rara membutuhkannya.
Damar akan datang membawa minyak kayu putih, duduk di sisi ranjang, dan tanpa bicara banyak, memijat pelan perut atau punggung Rara tentu saja atas paksaan pria itu. Terkadang ia menyeka keringat dingin di dahi gadis itu, terkadang ia berdiri dan kembali dengan semangkuk sup hangat atau air jeruk hangat buatan sendiri. Seolah... ia benar-benar seorang suami siaga. Tapi bukan untuk Nadine. Untuk Rara—wanita yang seharusnya hanya menjadi ibu pengganti anaknya.
Sementara itu, Nadine... entah kenapa semakin hari semakin jarang terlihat di rumah. Sejak Rara dinyatakan hamil, janji-janji manis wanita itu terasa memudar. Ia yang dulu begitu cerewet mengatur Rara untuk beristirahat dan tidak boleh lelah, kini nyaris tak pernah ada di rumah untuk mengawasi semuanya. Alasannya selalu sama—pekerjaan, urusan butik. Bahkan Rara sudah hapal kalimat template yang selalu dilontarkan Nadine setiap pagi, "Aku ada urusan penting, jangan keluar rumah ya, jaga kandunganmu baik-baik."
Awalnya Rara tak peduli. Tapi lama-lama ia mulai mencurigai sesuatu.
Nadine tak pernah pulang tepat waktu. Kadang pulang larut malam, kadang tak pulang sama sekali dan hanya mengirim pesan singkat pada suaminya. Anehnya, Damar tampak biasa saja. Tak pernah mencurigai, tak pernah bertanya lebih jauh. Atau jangan-jangan... ia sudah tahu?
"Apa mungkin Nadine... selingkuh?" batin Rara suatu malam, saat ia termenung di balik tirai jendela kamarnya, memandangi jalanan sepi yang hanya diterangi lampu taman.
Tapi ia segera menepis pikiran itu. Nadine terlalu baik untuk melakukan hal sebodoh itu. Wanita itu sabar, lembut, dan terlihat mencintai Damar dengan sepenuh hati. Mustahil dia berselingkuh. Mustahil.
Namun satu hal yang benar-benar membuat Rara tak tenang... adalah perlakuan Damar yang tak berubah sedikit pun meski Nadine ada di rumah. Ia masih tetap menemaninya setiap kali muntah. Masih menyiapkan makanan yang ia inginkan. Masih berdiri di balik punggungnya saat ia kesulitan bangun dari tempat tidur. Bahkan terkadang, diam-diam, pria itu menungguinya tidur sebelum kembali ke kamarnya sendiri.
Itu yang membuat Rara makin frustasi.
Ia sudah berulang kali berusaha menghindar, menolak bantuan Damar, menutup diri, tapi entah kenapa—selalu ada saja alasan yang membuat mereka bersinggungan. Bahkan saat ia diam-diam mencoba keluar rumah tengah malam untuk membeli makanan yang sedang ia idamkan, Damar tetap tahu. Dan keesokan paginya, pria itu akan membawakannya makanan serupa tanpa perlu diminta.
Ia pikir itu hanya akan terjadi saat Nadine tak ada. Tapi ternyata tidak. Bahkan di depan istrinya sendiri, perlakuan Damar tak berkurang sedikit pun. Justru semakin kentara. Semakin... berani.
Dan itu membuat Rara takut.
Bukan takut pada Damar. Tapi takut jika Nadine tahu dan mulai mencurigai sesuatu. Jika itu terjadi... semuanya akan hancur.
"Kenapa semuanya jadi serumit ini..." batin Rara, menatap perutnya yang masih rata, namun terasa begitu berat. Bukan karena bobotnya. Tapi karena isi rahasia yang ia bawa di dalamnya.
...➰➰➰➰...
Pagi itu, suasana rumah terasa lebih hidup dari biasanya. Matahari baru saja naik ketika aroma masakan menyeruak dari dapur. Di meja makan, Nadine sudah duduk rapi menyantap sarapan, dengan rambut disanggul sederhana dan makeup tipis seperti biasa. Damar duduk tak jauh darinya, masih menyendok nasi ke piring ketika langkah ringan terdengar menuruni tangga.
Rara, yang wajahnya masih sedikit pucat, muncul dengan langkah pelan. Perutnya masih datar, tapi tubuhnya sudah menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Ia melihat sekilas ke meja makan, tersenyum kecil—atau berusaha—sebelum akhirnya duduk di salah satu kursi kosong.
Begitu duduk, aroma rendang ayam yang begitu pekat langsung menyergap indera penciumannya. Bumbu rempah yang biasanya menggugah selera justru membuatnya mual hebat.
Rara buru-buru menutup mulutnya, wajahnya menegang. "Hk—!" suara itu keluar sebelum dia berdiri dengan cepat dan berlari menuju kamar mandi belakang yang ada di area dapur.
Nadine, tanpa menoleh, tetap menyuap makanannya perlahan. "Tolong bantu Rara," katanya singkat pada ART yang sedang berdiri di sudut ruangan.
Namun belum sempat ART itu bergerak, Damar sudah berdiri dari kursinya, gerakannya cepat, dingin namun terkontrol.
"Biar aku saja," ucapnya pendek. Ia bahkan tidak menatap Nadine saat melangkah ke arah belakang rumah.
Nadine mendongak, alisnya berkerut. "Mas, enggak usah. Sudah ada mbak—"
"Kamu gak liat? dia muntah muntah? " Damar hanya menoleh sekilas, suaranya datar. Tanpa menunggu reaksi lebih jauh, ia menyibak tirai menuju belakang.
Nadine memandangi punggung suaminya yang menghilang di balik dapur. Ia tidak bicara lagi, hanya menggenggam sendoknya erat-erat, tak jadi menyuap makanannya.
Hari-hari berikutnya kembali terjadi lagi.
Sore hari itu, Rara berjalan menuju dapur dengan langkah pelan kepala nya sedikit berdenyut dan Mual masih menyergap tubuhnya sejak siang tadi dan meskipun ia mencoba untuk terlihat kuat, matanya berkabut dan tubuhnya lemas.
Tapi ia harus makan, setidaknya walaupun perutnya kembali mengeluarkan semua makanan itu, dan kebetulan dia ingin memasak indomie saja sepertinya liur nya butuh makanan yang berkuah selain sayur sop dan soto.
"Aduh... hati-hati,,mbak. bisa masak sendiri?" gumam ART yang sedang membersihkan lantai dapur saat melihat Rara tengah memasak sesuatu dan hampir menjtauhkan panci itu.
"Ah iya maaf Bi, jaku bisa sendiri." Jawab Rara dengan senyum tipis, berusaha meyakinkan diri sendiri.
Namun, langkahnya terlalu terburu-buru. Tanpa sengaja, mangkuk ditangan nya hampir terjatuh Begitu cepat,Tiba-tiba Damar muncul dari balik pintu dapur, meraih mangkuk panas itu sebelum menyentuh lantai.
"Ra!" Damar berseru nyaring spontan tangannya mantap menangkap piring yang nyaris terjatuh. "Jangan ceroboh kayak gini, sudah berapa kali saya beritahu!" ucap Damar dingin.
Rara yang terkejut hanya bisa diam. Nafasnya terengah-engah. Damar kemudian mengalihkan mangkuk ke atas itu meja.
Dari ruang makan, Nadine yang mendengar hiruk-pikuk itu hanya mengangkat wajahnya. Sebelumnya, dia memang melihat kejadian ini, namun dia memilih untuk diam. Bibirnya mengerucut sedikit.
"Harusnya ART aja yang urus itu..." Nadine bergumam sambil menatap secangkir kopi yanb baru saja dibuat ART
" Maaf,a-aku gak sengaja. tapi itu kan gak sampai jatuh, jadi om Damar tak perlu khawatir." jawab Rara cepat meraih mangkuk itu lagi berniat membawanya kedalam kamarnya saja tapi keburu Damar menghentikannya.
Damar menyentuh bahu Rara dan berkata pelan, "Aku nggak bisa diem aja, Ra. Kalau kamu kenapa-kenapa, siapa yang bertanggung jawab?"
Nadine yang masih mendengar, menjawab sedikit keras dari arah ruangna makan.
"Selalu kamu yang membantu, selalu kamu yang ambil alih. Rara itu bukan anak kita, Damar."
Sedangkan Rara tanpa permisi segera pergi menuju kamarnya meninggalkan kedua pasangan itu yang saling bertatapan sengit Rara tak mau ikut campur masalah rumah tangga keduanya.
Damar menatap Nadine dengan serius. "Dia ibu pengganti, Nadine. Dia hamil anak kita. Kita harus bertanggung jawab, bahkan lebih dari itu."
Nadine menyeringai, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak. Ia menatap Rara sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke piring yang sudah dibersihkan.
"Tentu, karena dia ibu pengganti, bukan berarti segala hal harus kamu lakukan untuknya, ya?"
Damar menghela nafas, merasa semakin terjebak dalam percakapan ini. "Kamu tahu itu bukan cuma karena ibu pengganti. Tapi dia hamil anak kita, Nadine. Tidak ada yang salah kalau aku bantu dia."
...➰➰➰➰...
Hujan baru saja reda. Udara segar masuk ke dalam rumah, namun tanah dan lantai teras masih licin. Rara keluar untuk membuang sampah, berusaha berjalan pelan Saat melangkah, kakinya tergelincir. Tubuhnya oleng, dan ia hampir terjatuh ke lantai.
Tapi, sekali lagi, Damar muncul tepat pada waktunya, meraih tangannya dan menarik tubuhnya agar tetap seimbang. Rara terdiam sesaat, kaget, dan tubuhnya terasa lemas.
"Kau sudah gila?? sudah berapa kali saya peringatkan jangan ceroboh! " bentak Damar, nafas lelaki itu memburu merasa tak tenang.
Tak sekali dua kali Rara hampir jatuh, jika bukan karena dirinya yang kebetulan lewat entah apa yang terjadi pada Rara saat itu.
Rara mengangguk pelan. "Aku cuma mau buang sampah, jalan nya juga udah pelan banget." Rara mencoba membela dirinya, tapi dengan suara lemah.
Damar menggelengkan kepala. "Kamu hamil, Ra. Nggak bisa sembrono kayak gini terus!!! ada ART dirumah kenapa harus kamu?."
Setelah memastikan Rara aman, Damar meletakkan sampah ke tempatnya dan melangkah kembali ke dalam rumah.
Dari dalam rumah, Nadine yang melihat kejadian itu hanya terdiam. Wajahnya menyiratkan amarah yang dipendam, namun dia memilih untuk tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap suaminya yang lagi-lagi berfokus pada Rara, membantunya seperti ini.
Saat Damar kembali ke kamar Nadine akhirnya membuka mulut, meskipun dengan nada datar yang diselubungi ketegangan. "Kenapa selalu kamu yang membantu dia? "
Damar menatap Nadine, kali ini lebih tegas. "Dia hamil, Nadine. Kamu tahu sendiri kondisi dia sekarang. Kamu bisa bantu, tapi kamu lebih sering nggak ada di rumah."
Nadine terdiam, menunduk, tapi pikirannya terus bergolak. "Kamu selalu belain dia, Damar. Apa dia lebih penting dari aku?"
" Bukan aku membela nya, tapi yang membuat semuanya disituasi ini adalah kamu kan? bukan aku? jadi jangan salahkan aku, jika aku lebih peduli padanya. jika terjadi sesuatu yang tak di inginkan padanya yang disalahkan utama nya adalah kita. karena dia masih dibawah umur." kata Damar tajam meninggalkan istrinya seorang diri dalam kamar yang menatapnya nanar.