"Briana Anderson, seorang miliarder berusia 30 tahun, bagaikan menggenggam dunia di tangannya. Dingin, penuh perhitungan, dan pemilik perusahaan multijutaan dolar, ia dikenal sebagai wanita yang selalu mendapatkan segala yang diinginkannya... hingga ia bertemu Molly Welstton.
Molly, yang baru berusia 18 tahun, adalah kebalikan sempurna dari Briana. Polos, pemalu, dan penuh dengan impian, ia berfokus pada studinya di jurusan manajemen bisnis. Namun, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat ketika jalan hidupnya bersilangan dengan CEO paling berkuasa dan posesif di New York.
Apa yang awalnya adalah ketertarikan sederhana, berubah menjadi sebuah obsesi yang membara. Briana bertekad untuk memiliki Molly dalam hidupnya dan akan melakukan segalanya untuk melindungi gadis itu dari ancaman apa pun — nyata atau hanya dalam bayangannya.
Akankah cinta Briana yang posesif dan menguasai cukup kuat untuk meluluhkan kepolosan Molly? Atau justru gairah cemburu si miliarder akan membuat Molly terasa terkurung? Sebuah kisah tentang kekuasaan, kontrol, dan cinta yang menantang semua aturan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raylla Mary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23
Ombak Keinginan
Angin malam bertiup lembut di atas kota, dan lampu-lampu memantul di kaca gelap mobil Briana saat dia mengemudi dengan satu tangan di kemudi dan yang lainnya bertumpu di kaki Molly. Sentuhan sederhana, tetapi sarat makna.
Molly melihat ke luar jendela, berusaha menahan senyum, tetapi kilau di matanya mengkhianatinya. Dia terpesona, lebih dari sebelumnya.
"Kamu bahagia?" tanya Briana, mengalihkan pandangannya sejenak untuk mengamatinya.
Molly mengangguk, tawa kecil lolos. "Sangat. Kurasa aku belum pernah merasa begitu... hidup."
Pengusaha itu tersenyum puas. "Hanya itu yang ingin kudengar."
Mobil melaju ke tepi pantai, tempat suara ombak bercampur dengan gumaman kota yang jauh. Briana memarkir mobil di dekat pantai dan mematikan mesin. Malam itu hangat, langit cerah, dan bulan memantul di air dengan kilau keperakan yang membuat segalanya tampak hampir ajaib.
Molly keluar dari mobil dan menarik napas dalam-dalam, merasakan udara asin. Briana segera menyusul, memeluknya dari belakang, menempatkan tubuhnya di tubuhnya.
"Aku membutuhkan ini," bisik Molly, meletakkan tangannya di tangannya.
"Aku juga. Kadang aku lupa untuk menghentikan dunia... tetapi bersamamu, aku ingin menghentikan waktu."
Mereka berjalan di atas pasir, tanpa alas kaki, menertawakan hal-hal sederhana — bagaimana Molly tersandung kerang, bagaimana Briana mencoba tampak "normal" dan akhirnya menarik perhatian bahkan dengan celana jins dan kaus.
Itu adalah kontras yang hampir puitis: miliarder wanita yang kuat dan mahasiswi pemalu, berbagi matahari terbenam yang sama, kesunyian yang nyaman yang sama.
Mereka berhenti di dekat tepi air. Molly menatap Briana dan, untuk sesaat, lupa cara bernapas.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Briana, mengangkat alis.
"Karena... aku masih tidak mengerti bagaimana seseorang sepertimu memilih seseorang sepertiku."
Briana mendekatkan wajahnya, matanya menjadi gelap karena intensitas. "Aku tidak memilih. Caramu menjebakku sebelum aku menyadarinya."
Molly merasakan jantungnya berdebar kencang. Ombak menerpa kakinya dengan lembut, dan dunia tampak menghilang.
Briana membungkuk dan menciumnya — ciuman yang lambat, mantap, penuh kerinduan dan janji diam-diam. Molly berpegangan pada lehernya, merasakan rasa garam, angin, dan keinginan yang tumbuh dengan setiap sentuhan.
Setelah beberapa detik, Briana menyandarkan dahinya di dahinya dan bergumam:
"Ayo pulang, sebelum aku menciummu sampai fajar."
Apartemen Briana terasa lebih intim malam itu. Lampu-lampu redup, musik lembut memenuhi ruangan, dan Molly tampak melayang.
"Mau anggur?" tanya Briana, membuka sebotol.
"Hanya jika kamu minum bersamaku," jawab Molly, dengan tatapan nakal.
Briana tertawa, memberinya gelas. "Kamu sedang belajar bernegosiasi, nona."
"Mungkin aku belajar darimu."
Mereka bersulang dan minum, bertukar pandang yang berbicara lebih dari kata-kata.
"Tahu tidak apa yang paling kusukai darimu?" kata Molly, tiba-tiba.
"Hmm... rekening bankku?" goda Briana, tersenyum miring.
"Cara kamu menatapku." Molly tersipu, tetapi melanjutkan. "Seolah aku... semua yang kamu inginkan."
Briana meletakkan gelasnya dan mendekat, perlahan, sampai berjarak beberapa sentimeter darinya.
"Justru itulah dirimu, Molly. Segalanya."
Udara di antara mereka menjadi padat. Molly merasakan tubuhnya bereaksi bahkan sebelum dia mengerti apa yang sedang terjadi.
Briana menyentuh dagunya, mengangkatnya dengan lembut. Tatapannya mantap, intens, tetapi penuh kasih sayang.
"Tunjukkan padaku betapa kamu menginginkanku," gumamnya, hampir seperti tantangan.
Molly menjawab bukan dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan. Dia menarik Briana dengan kemejanya dan menciumnya dengan desakan yang mengejutkan bahkan dirinya sendiri. Itu adalah keinginan, itu adalah kebutuhan, itu adalah kerinduan yang terkumpul dari hari-hari ketika dia memimpikan sentuhan itu.
Briana membalas ciuman itu dengan kuat, tangannya memegang erat pinggangnya, seolah ingin mengukir momen itu di kulitnya.
Ciuman itu menjadi lebih dalam, lebih lambat, lebih didominasi oleh sensasi daripada oleh akal.
Dan ketika Briana membawanya ke kamar tidur, semuanya tampak tak terhindarkan.
Cahaya bulan menembus jendela dan memandikan seprai dengan warna keperakan.
Molly berbaring, jantungnya berdebar kencang, sementara Briana mengamatinya, dengan tatapan antara keinginan dan kekaguman.
"Aku bisa menatapmu selama berjam-jam," akunya, dengan suara serak.
"Kalau begitu tataplah," bisik Molly, dengan senyum malu-malu.
Briana menurut. Dia menyentuh wajahnya dengan ujung jarinya, turun perlahan ke lehernya, sampai menjalin tangannya dengan tangannya.
Tidak ada ketergesaan. Ada penyerahan.
Seolah-olah waktu telah berhenti hanya untuk memungkinkan mereka saling memahami tanpa perlu berbicara.
Di antara ciuman, belaian, dan desahan, cinta hadir.
Itu bukan hanya fisik — itu emosional, mendalam, penuh janji dan penemuan.
Briana tersesat dalam gerakan-gerakan polos Molly, dan Molly menemukan dirinya dalam keamanan dan intensitas Briana.
Kemudian, ketika keheningan memenuhi kamar, Molly meringkuk di dadanya, bermain-main dengan ujung kalung yang tidak pernah dilepas Briana.
"Tahu tidak apa yang kusadari hari ini?" katanya, mengantuk.
"Apa?"
"Bahwa aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu."
Briana menciumnya di puncak kepala, sentuhan yang lama, hampir khusyuk.
"Aku juga tidak, sayangku. Dan aku tidak akan pernah membiarkanmu meragukannya."
Molly menutup matanya, tersenyum. Jantungnya berdetak selaras dengan jantung Briana — irama yang tenang, penuh gairah, tetapi dengan janji tersembunyi:
bahwa, bahkan dengan dunia di luar sana, mereka akan menemukan perlindungan satu sama lain.
Dan sementara cahaya bulan menyebar ke seluruh kamar, Briana memeluknya erat, tahu bahwa malam itu — di antara tawa, pengakuan, dan gairah — menandai awal dari sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar keinginan.
Itu adalah awal dari cinta yang, akhirnya, mereka berdua berhenti berjuang untuk disembunyikan.