NovelToon NovelToon
Tea And Sword'S

Tea And Sword'S

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Diam-Diam Cinta / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / TKP
Popularitas:645
Nilai: 5
Nama Author: Aludra geza alliif

yang Xian dan Zhong yao adalah 2 saudara beda ayah namun 1 ibu,.
kisah ini bermula dari bai hua yg transmigrasi ke tubuh Zhong yao dan mendapati ia masuk ke sebuah game, namun sialnya game telah berakhir, xiao yu pemeran utama wanita adalah ibunya dan adipati Xun adalah ayahnya,,.
ini mengesalkan ia pernah membaca sedikit bocoran di game love 2 dia adalah penjahat utama, ini tidak adil sama sekali

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aludra geza alliif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kasus peramal

Lu Yu menaiki kudanya tanpa suara, menyusuri malam pekat bersama Fu Heng dan Guo Jia. Ketiganya berpacu menuju kediaman peramal yang dikabarkan mati secara misterius.

Sebelum pergi, Lu Yu menoleh ke balik pintu kamar. Di sana, sosok itu masih terlelap, meringkuk seperti kucing yang kebanyakan tidur di bawah matahari sore.

Zhong Yao—kucing liat berbulu halus, berbakat seperti siluman namun kini tertidur polos seperti bocah kelelahan. Lu Yu menyeringai kecil. Siapa sangka, di balik kipasnya yang angkuh dan komentar sarkastiknya, tersembunyi sesuatu yang rapuh?

“Aku meninggalkanmu pada Han Mu Zi,” gumam Lu Yu, menatap pengawal bayangan yang berdiri tanpa suara di luar jendela. “Jaga dia… meskipun dia tidak akan pernah mengaku butuh penjagaan.”

**

Kediaman peramal itu tidak seperti yang mereka bayangkan. Bukan gubuk penuh jimat atau ruangan gelap berisi tengkorak. Rumahnya luas, terawat, penuh sentuhan elegan layaknya rumah bangsawan kecil. Dupa tipis mengepul di sudut ruangan, menguar aroma cendana dan rempah tua.

Namun tubuh lelaki itu tergantung di tengah ruangan seperti tirai tragis—senyap, menakutkan. Lidahnya telah lenyap, dan matanya... melotot begitu besar seolah menyaksikan sesuatu yang tak mungkin dijelaskan.

Istrinya menangis tergugu di lantai, kedua lututnya lemas seperti seutas benang.

Fu Heng memeriksa dari dekat. “Tidak ada luka lain. Tidak ada jejak perlawanan… tapi lihat matanya, itu bukan ekspresi orang yang bunuh diri. Itu ekspresi orang yang tahu ajal datang… tapi tak mampu berteriak.”

Guo Jia mendongak ke arah langit-langit.

“Tali ini baru… tidak ada debu, seolah baru digantung beberapa saat lalu. Tapi lihat lantainya, terlalu bersih. Seperti... disapu setelah kejadian.”

Dari balik tirai, seorang pemuda muncul. Usianya sekitar dua puluh lima, wajahnya pucat menahan syok. Di belakangnya, seorang gadis muda mengikuti dengan langkah pelan. Wajahnya mirip—mungkin saudara kandungnya.

“Aku Hong Jin, anak lelaki dari Hong Rusti… ini adikku, Hong Mei.”

Lu Yu mengangguk. “Ceritakan segalanya. Dari awal.”

Hong Jin menarik napas. “Tiga hari lalu... ayah menerima sebuah paket. Kecil, dibungkus kain hitam. Ia tidak membiarkan kami melihat isinya, tapi sejak saat itu ia berubah. Gelisah, mudah marah, sering bicara sendiri. Ibu mengira itu hanya tekanan pekerjaan.”

“Tadi sore, kami makan malam bersama seperti biasa. Ia bilang ingin ke kamar untuk istirahat. Kami menunggu di ruang makan, tapi ia tak kembali. Setelah satu jam, kami masuk ke kamarnya…”

Ia terdiam, lalu menunduk. “Dan kami menemukannya seperti ini.”

Fu Heng bergumam, “Apakah kalian tahu siapa yang mengirimkan paket itu?”

Hong Jin menggeleng pelan, namun Hong Mei ragu-ragu mengangkat tangannya.

“Ada... stempel kecil di kain pembungkusnya. Seperti ukiran giok, tapi bentuknya tidak biasa. Aku sempat melihat sebentar... seperti huruf ‘清’ tapi terbalik.”

Guo Jia dan Lu Yu saling pandang.

“清”... huruf itu berarti “jernih” atau “murni”. Tapi dalam sejarah, huruf itu juga dikaitkan dengan sekte-sekte terlarang yang menyamarkan dirinya di balik ramalan dan kesucian.

Lu Yu menghela napas.

“Jadi... peramal itu menerima pesan kematian, dan memilih untuk tetap tinggal di rumah mewah, menunggu ajalnya. Atau seseorang membuatnya terlihat seperti begitu.”

Guo Jia mengangkat alis. “Tapi kenapa lidahnya? Apa yang ingin ia katakan... yang begitu berbahaya?”

Fu Heng menatap api lilin yang mulai berkedip di altar peramal.

“Pertanyaan sebenarnya... adalah kepada siapa dia berniat bicara—dan apakah pesan itu sampai sebelum dia kehilangan lidahnya.”

**Lutut Lu Yu masih tertekuk di lantai kayu dingin, duduk dengan sikap tenang namun penuh waspada di sisi Fu Heng yang tengah mencatat hasil temuan mereka. Guo Jia di seberang sibuk mengumpulkan berkas-berkas dan catatan lama dari rak buku sang peramal, tangannya sigap memberi perintah pada petugas agar jenazah segera dibawa ke pengadilan untuk diotopsi lebih lanjut.

Cahaya lampu minyak memantulkan bayangan ganjil di dinding, menggoyangkan siluet gantungan itu seolah belum selesai mengisahkan tragedi.

Lu Yu mengangkat benda kecil yang tergeletak di meja altar: sepotong kain hitam, ukurannya hanya sejengkal tangan, dilipat rapi namun tepiannya compang-camping. Dengan hati-hati, ia membuka lipatan itu—tak ada tulisan, tak ada darah, namun aroma samar kayu manis dan tanah basah menyeruak darinya.

Ia mengelus permukaan kain itu perlahan, jemarinya menyusuri teksturnya seolah ingin bertanya langsung pada benangnya.

“Ini bukan kain biasa,” gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar.

Fu Heng menoleh. “Maksudmu?”

Lu Yu menatap kosong sejenak, lalu berkata perlahan, “Ini tenunan dari wilayah Yanchi... hanya dipakai untuk pakaian upacara kuno, atau—"

“—ritual pemanggilan arwah,” potong Guo Jia dari ujung ruangan.

Semuanya hening beberapa detik. Bahkan suara tangis istri peramal yang tadi terdengar pecah, kini seperti mengendap, menjadi gema.

Lu Yu kembali melihat ke kain itu. Di salah satu ujungnya, samar... ada jejak benang putih yang hampir tak terlihat, membentuk pola terputus seperti... angka? Atau huruf?

"Fu Heng... kau punya kaca pembesar?"

Dengan cepat Fu Heng mengeluarkan alat kecil dari kantongnya, dan bersama-sama mereka menyorot pola itu. Ternyata bukan angka.

Itu adalah simbol. Tiga garis bersilang yang dibungkus lingkaran, dan satu titik merah di tengah.

Lu Yu menarik napas panjang.

“Aku pernah melihat ini… waktu masih di Akademi Rahasia.”

Guo Jia mengangkat kepala. “Itu bukan simbol sembarangan. Itu lambang... pembersihan. Tapi bukan versi biasa. Ini versi kuno yang dipakai kelompok ekstremis di masa dinasti Liang.”

Fu Heng menyipitkan mata. “Jadi dia menerima ancaman kematian yang disamarkan sebagai pesan ritual… lalu dibungkam sebelum sempat bicara.”

Lu Yu berdiri perlahan, menatap keluar jendela, ke langit malam yang masih diguyur mendung.

“Dan kita belum tahu siapa yang akan dibungkam berikutnya.”Malam masih lengang saat langit Xi Zhou memudar dari kelam pekat ke abu-abu tipis. Udara dini hari menusuk dan lembap, menyelubungi kota dalam bisikan dingin yang membuat langkah-langkah para penjaga terdengar seperti bisikan rahasia.

Lu Yu berdiri di depan kediaman peramal yang kini telah dipasangi segel merah. Ia menatap dalam pada bayangan-bayangan yang menempel di dinding-dinding, sebelum akhirnya memutar tubuh dan memanggil Guo Jia dan Fu Heng.

“Kita cari orang dari wilayah Yanchi. Pedagang, biasanya. Tapi sekarang... kita cari yang tidak biasa,” ujarnya dengan suara rendah namun tegas.

Guo Jia mengangguk. “Yanchi terkenal dengan tenun dan minyak rempah. Aku akan minta daftar pedagang asing yang datang dua minggu terakhir. Mereka harus meninggalkan catatan di gerbang utara.”

Fu Heng menambahkan, “Kita juga bisa periksa catatan pembelian bahan dupa dan kain khusus. Kalau simbol itu dikirim, maka ada jalur pengantar. Dan seseorang pasti dibayar.”

Lu Yu berpikir sejenak. Ia tahu jalur informasi ini akan membuka simpul penting. Tapi semua ini masih seperti benang kusut—dan untuk menyusunnya, ia butuh satu orang.

Zhong Yao.

Lu Yu menghela napas, setengah karena kelelahan, setengah karena... ia tahu saat pulang, ia akan melihat wajah malas namun tajam dari pria itu—entah sedang tidur sembarangan, entah sibuk mengupas buah yang tidak seharusnya ia makan dari taman tetangga.

“Jaga kediaman ini. Tidak ada yang masuk, tidak ada yang keluar. Pantau rumah keluarga Hong dan semua tamu yang sempat datang selama seminggu terakhir.”

Guo Jia menyilangkan tangan. “Dan jika ada yang mencurigakan?”

“Buntuti diam-diam. Jangan ganggu mereka dulu. Kita butuh data, bukan kegaduhan.”

Dengan itu, Lu Yu menaiki kudanya dan memacu pulang. Di jalan, ia membiarkan pikirannya kosong sejenak. Lelah. Tapi juga penasaran. Ia tahu, tak peduli seaneh apapun caranya berpikir, Zhong Yao sering kali menangkap sesuatu yang tak terlihat oleh mata biasa.

Setengah jam kemudian, ia tiba di rumah besar dengan taman luas yang baru ia beli untuk ‘kucing luar’ itu. Cahaya belum menyala. Sepi. Hanya suara angin dan gemericik kolam.

Ia membuka pintu pelan.

Dan benar saja, di ruang tengah, tertidur di atas karpet dengan satu kaki menyelip di bawah meja teh, Zhong Yao—masih memegang kipas dan setengah mangkuk buah plum—berdengkur pelan seperti kucing kelelahan.

Lu Yu menatapnya sebentar. Satu alisnya terangkat. Kemudian, dengan suara rendah namun jelas, ia berkata:

“Bangun. Aku butuh kepalamu yang jahat itu sekarang.”

"mmmmhhh"

Zhong yao hanya mengeliat malas dan membuka ujung matanya,

lu yu duduk di sampingnya bersandar pada dinding mengistirahatkan punggung nya yg letih. kantuk menyerangnya dan ia tertidur biasanya ia selalu insomnia, namun di dekat Zhong yao ia jadi ikut mengantuk.

1
gezha allif
ah aku malah salting dewe
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!