Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sedikit
..."Perubahan sedikit itu membuatmu tampak berbeda. Tapi aku menyukainya"...
...•...
...•...
Teriknya matahari telah tertutupi awan mendung di atas sana. Para pengunjung taman jadi mereda karena cuaca yang tidak mendukung. Ada yang ke parkiran untuk pulang, ad pula yang masuk ke dalam Timezone yang permainannya lebih lengkap di dalam.
Adara melirik Leon yang sedang fokus pada ponsel laki-laki itu. "Gimana?"
Leon menatap skor Adara yang hampir saja beberapa angka lagi sama. "Terusin, sampai bener-bener melewati skor gua."
Adara mendengus kesal dan menghela nafasnya untuk kembali memukul benda tersebut. Ia melihat sekitarnya yang mulai sepi dan bersiap melakukan tendangan memutar seperti yang Leon lakukan sebelumnya.
Brak! Sontak mata Leon melihat ke arah Adara. Ia membulatkan matanya saat melihat gadis itu benar-benar melakukan tendangan memutar seperti dirinya sebelumnya. Bahkan, skor gadis tersebut melampauinya 5 angka. Ia memasukkan ponselnya ke saku celana dan menghampiri Adara.
Leon memeluk bahu Adara dengan tersenyum ke arah gadis itu. "Bagus, lo selesai di kedua bagian dasarnya. Termasuk pukulan dan tendangan."
Gadis itu tersenyum puas dengan menghela nafasnya. Ia melepaskan tangan Leon yang masih berada di bahunya dan berjalan ke arah tempat duduknya untuk meminum minumannya. Melirik awan yang mendung di sana membuat hatinya khawatir.
"Pulang, ya?" Ajak Adara.
"Kenapa?" Leon menghampirinya.
"Mendung, takut kehujanan nanti."
"Tenang aja, nggak akan kok."
Beberapa detik kemudian, hujan tiba-tiba mengguyur dengan derasnya. Orang-orang langsung berhamburan kesana-kemari untuk mencari tempat berteduh.
Sementara itu, Leon hanya diam menikmati tusukan-tusukan di kulitnya yang mengenai air hujan. Adara celingak-celinguk dengan tangannya yang melindungi matanya untuk mencari tempat berteduh. Tapi, mereka sudah basah kuyup dalam beberapa detik kemudian.
Adara melirik halte bus yang kosong di sebrang jalan sana. Ia menarik tangan Leon, dan berlarian ke arah sana. Tidak lupa, ia juga berhati-hati sebelum menyebrang. Saat sampai, Adara menghela nafas lega dengan melirik Leon yang sedang menatapnya.
"Apa?" Tanya Adara, dengan menyentuh rambutnya yang sudah sangat basah.
"Ngapain meneduh?"
Leon langsung menarik tangan Adara untuk berlarian menikmati guyuran air hujan di atas trotoar jalanan yang sepi. Adara menatap mata Leon yang tersenyum menikmati guyuran ini. Senyuman laki-laki itu mengembang. Deretan giginya yang terlihat membuat laki-laki itu tampak tampan di mata Adara.
"Rain boy," lirih Adara.
Laki-laki itu mendekatinya dan memajukan wajahnya di bagian telinga. "Apa? Gua nggak denger."
Adara menjauhkan dirinya dengan melangkah beberapa langkah kebelakang. Ia menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Enggak."
Leon tersenyum menatap Adara, walaupun matanya menyipit karena terkena air hujan. Ia mengelus rambut Adara yang basah. "Mau tahu sesuatu yang menyenangkan nggak?"
Gadis itu langsung mengangguk cepat. "Apa?"
Leon menarik tangan Adara. Lalu berlari di atas trotoar dengan senyuman yang merekah. Adara hanya bisa mengikuti langkah Leon dengan menatap punggung laki-laki yang sedang berbahagia di bawah guyuran air hujan. Sederhana, tapi membahagiakan.
Saat sampai di jalanan tepi pantai, Leon bersandar pada pembatas jalan dengan menatap laut yang dihujani rintikan air hujan di sana. Gadis di sebelahnya tersenyum ke arah laut dengan mengusap wajah basahnya.
"Coba teriak," pinta Leon.
Adara menarik nafasnya dalam-dalam dan berteriak sekencang-kencangnya dengan suara gemuruh hujan. Jangan malu, karena di sini sangatlah sepi. Bahkan, tidak ada kendaraan yang lewat sama sekali.
"Lagi," pinta Leon lagi.
Gadis itu menurut, dan berteriak lagi. Kali ini lebih panjang. Dan sepertinya setengah dari isi pikiran gadis itu telah dikeluarkan. Adara menghembuskan nafasnya lega dan melirik Leon dengan tersenyum.
"Kenapa cuman gua? Elo?"
Leon bersiap, dan melakukan hal yang sama seperti Adara. Suara teriakan laki-laki itu terdengar lebih keras daripada suara Adara. "Pulang, yuk?" Kali ini Leon yang mengajak.
"Iya, udah basah semua ini." Adara melihat keadaannya yang basah kuyup dengan rambutnya yang terurai juga.
"Nggak apa-apa, masih cantik kok," kata Leon.
Adara hanya tersenyum menanggapinya. "Tetap jadi Leon yang kayak gini, ya? Jangan berubah."
"Sejak kapan gua berubah? Sikap dan sifat gua selalu sama kalau sama lo, dan nggak akan berubah kalau ceweknya itu elo."
"Hem.... lo temen yang paling penting di kehidupan gua, Le."
"Dan lo cewek yang berharga setelah nyokap gua, Ra."
"Apa? Lo ngungkapin perasaan sekarang?"
Leon terkekeh. "Bukannya udah dari dulu, ya?"
Adara menahan tawanya menatap laut lepas di sana.
"Ayo! Nanti lo kedinginan." Leon melangkah pergi terlebih dahulu dengan langkah kaki santai.
Adara mengimbangi langkah kaki Leon dan berjalan bersamaan di jalanan tepi pantai dengan guyuran air hujan.
Ada saatnya hujan itu menenangkan, menakutkan, membahagiakan, bahkan dapat dijadikan sebagai teman. Para pecinta hujan pasti memiliki alasan tertentu mengenai perasaannya tentang hujan. Tapi perasaan itu tidak mudah untuk diungkapkan, melainkan dirasakan bersama.
Leon menatap gadis di sebelahnya dengan tersenyum tipis. Banyak hal yang ingin ia ceritakan, tapi ia menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan apa yang ada di dalam kepalanya.
Hatinya ingin bercerita, tapi pikirannya menolak. Dan dirinya hanya bisa memperdebatkan hal tersebut dalam diam.
"Nanti kalau SMA, kita sering-sering jalan bareng ya, Le?" ajak Adara. Senyuman gadis itu tampak tulus dengan menatapnya untuk menunggu jawaban.
Leon mengangguk. "Iya, tapi lo harus janji."
Adara menghentikan langkahnya. "Apa? Kenapa harus ada janji?"
"Karena gua mau lihat cewek di depan gua bahagia di masa depannya dengan pria yang ia cintai."
"Apa?"
"Jangan malas belajar hanya karena nggak bisa. Justru rasa tidak mampu itu harus lo terjang. Jangan dengerin apa yang orang-orang katakan jika itu hal buruk, dan jangan besar kepala jika dapat pujian."
Adara mengangguk paham. "Dan lo juga harus punya janji dari gua."
"Apa?"
"Tetap jadi teman gua, jangan berubah kalau yang berubah itu gua, ingatkan gua. Jangan cuekin gua."
Leon tidak menjawab, ia justru menarik Adara dalam pelukannya. Barulah setelah itu, Leon mengangguk dalam pelukannya. Adara bingung, tapi ia membalas pelukan itu.
"Kenapa?"
Leon menggelengkan kepalanya dengan mengeratkan pelukannya. "Gua cuman pengen lo bahagia walaupun laki-laki itu bukan gua."
"Gua lebih bahagia kalau laki-laki itu elo," batin Adara.
...••••...
Kezia menatap air hujan yang berjatuhan di balkon dengan memeluk boneka kesayangannya. Entah kenapa, pikirannya tiba-tiba mengingat mamanya yang telah tiada. Nama wanita itu juga terlintas dalam pikirannya, Varsa. Dan seorang laki-laki yang ia sayangi, Zayan dan Ezra.
"Sini, sayang." Varsa memeluk Kezia dari samping dan mengelus rambut putrinya dengan surai.
"Papa sama Bang Ez kemana, Ma?" Varsa melepaskan pelukannya dan memegang kedua sisi kepala Kezia.
"Keluar, katanya mau cariin mie ayam buat kamu."
Kezia menundukkan kepalanya. "Padahal di luar hujan."
Varsa mengangkat kepala putrinya. "Itu karena kekuatan sayang dari kamu. Mangkanya mereka mau ngelakuin apa aja buat kamu."
Tiba-tiba Ezra datang dengan mengangkat kresek putih yang ia bawa di ambang pintu kamar. "Zia! Abang udah nemuin mie ayam, nih. Makan, yuk?"
Kezia langsung beranjak dari duduknya dan melangkah mengikuti langkah Ezra yang menuju dapur. Sementara Varsa tersenyum melihat putra dan putrinya.
Mengingat kejadian hal sederhana dengan keluarga lengkapnya dulu membuat Kezia tersenyum, tetapi dalam beberapa detik saja. Setelah itu, bendungan air mata kembali muncul di mata gadis itu.
"Kayaknya mie ayam enak kalau hujan-hujan gini," lirih Kezia.
"Mau Abang beliin?" tawar Ezra.
Kezia menundukkan kepalanya saat mengingat abangnya yang sangat perhatian. Ia merindukannya, sangat-sangat merindukan laki-laki itu.
Zayan yang selalu ada cerita, kini cerita itu telah usai. Setiap ada bagian pembuka, pasti ada bagian penutup. Dan penutupnya adalah takdir tuhan yang tidak mendukungnya.
Mengatakan jika takdir tuhan itu kejam, memang ada saatnya. Karena takdir tidak selamanya kejam pada insannya.
Hujan itu mereda, tergantikan dengan pelangi di sisi awan yang tiba-tiba muncul dengan cahaya matahari dari sela-selanya. Kezia mengusap air matanya dan tersenyum ke arah warna-warna yang tercetak indah di langit luas.
"Kapan pelangiku datang?"
"Cantik ya pelanginya?" tanya Zayan dengan tersenyum ke arah putrinya.
Kezia mengangguk dengan mengayunkan kedua kakinya yang bergelantungan karena gazebo yang tinggi. "Aku?"
"Sejak kapan putri Papa nggak cantik? Kamu selalu cantik di mata Papa, sayang."
Kezia memeluk lengan Zayan dan menyandarkan kepalanya. Di sana, di sisi ombak yang ingin meraih daratan. Varsa dan Ezra berlarian kesana-kemari saling mengejar.
Hujan dan ombak yang menghantam karang tanpa habis. Lalu kapan dengan ketenangan dan pelangi itu datang?
Beranjak dari duduknya dan menutup pintu balkon agar angin dingin tidak memasuki rumah sepinya. Kezia menaiki ranjang Ezra dengan memeluk guling milik abangnya dan terlelap dalam beberapa menit kemudian. Dia meninggalkan keindahan pelangi, dan memilih untuk menuju alam mimpi.
Rumah ini sangat besar, dan kenangan dalam masa lalu yang tebal. Keramaian dan kebahagiaan pun jarang rumah ini rasakan. Suasana ramai itu akan datang saat orang-orang yang saling menyayangi itu berkumpul.
Gazebo rumah yang jarang didatangi menjadi berdebu dengan orang yang telah meninggalkannya. Suara kegaduhan yang telah lenyap, dan pelukan hangat yang telah hilang.
Pelukan, kasih sayang, kehangatan, canda gurau, telah hilang tertimbun tanah dengan sang pemiliknya. Mungkin, mereka sudah bertemu di alam lain. Yang tidak terdapat Kezia tentunya. Gadis itu sudah memakai selimut, tapi masih kedinginan. Karena selimut itu adalah selimut kesepian.
Teman yang selalu menjadi ember dalam narasi yang akan ia keluarkan, memang ada. Tapi Kezia hanya berkeinginan untuk berkumpul lengkap dengan keluarganya. Rasa muak dan tersiksa saat Keluarga sendiri tidak lengkap.
Kerinduan, kesepian, berbedanya suasana yang dirasakan membuat Kezia ingin terus tertidur. Karena dengan tidur, ia dapat melupakan dunia walaupun hanya sementara.
...••••...
...TBC....