NovelToon NovelToon
Rempah Sang Waktu

Rempah Sang Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Cinta Istana/Kuno / Reinkarnasi / Cinta Beda Dunia / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author:

Seorang Food Vlogger modern yang cerewet dan gila pedas, Kirana, tiba-tiba terlempar ke era kerajaan kuno setelah menyentuh lesung batu di sebuah museum. Di sana, ia harus bertahan hidup dengan menjadi juru masak istana, memperkenalkan cita rasa modern, sambil menghindari hukuman mati dari Panglima Perang yang dingin, Raden Arya.

Season 2 : 01. Asing Namun Familiar

Jakarta, 2025.

Suara klakson yang bersahutan dan deru mesin TransJakarta menjadi musik latar sore itu. Di sebuah restoran bernuansa vintage di kawasan Menteng, Kirana duduk di dekat jendela kaca besar. Tangannya sibuk memutar-mutar gelas es teh manis yang mulai berembun, sementara matanya tak lepas memandang pintu masuk.

Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari normal. Rasanya persis seperti saat ia menunggu vonis hukuman mati dari Raden Arya lima abad yang lalu. Bedanya, kali ini ia tidak takut kehilangan nyawa. Ia takut kehilangan harapan.

“Mau temani saya makan siang?”

Kalimat itu terngiang lagi di kepalanya. Kalimat yang diucapkan pria itu di museum seminggu yang lalu.

Kirana menunduk, menatap jari telunjuk kanannya. Cincin emas bermata merah delima itu masih melingkar di sana. Cincin kuno yang ia bawa dari masa lalu, yang menurut uji karbon laboratorium, berusia lebih dari 500 tahun.

“Kirana?”

Suara bariton yang berat dan familiar itu memecah lamunannya.

Kirana mendongak. Napasnya tercekat.

Di hadapannya, berdiri Arya Baskara.

Jika Raden Arya di masa lalu selalu mengenakan beskap hitam atau zirah perang yang penuh debu, Arya versi tahun 2025 ini terlihat sangat…bersih. Ia mengenakan kemeja navy lengan panjang yang digulung rapi hingga siku, celana chinos krem, dan jam tangan analog yang melingkar di pergelangan tangannya yang kokoh. Rambutnya dipotong pendek gaya undercut, rapi dan profesional.

Tidak ada keris. Tidak ada aura membunuh. Tapi tatapan mata elang itu—tajam, cerdas, dan sedikit mengintimidasi—masih sama persis.

“Hai, Arya,” sapa Kirana, berusaha terdengar santai meski tangannya gemetar. “Duduk. Sori kalau tempatnya agak rame.”

Arya tersenyum tipis—senyum yang membuat lutut Kirana lemas—lalu menarik kursi di hadapannya.

“Nggak masalah. Saya suka tempat ini. Arsitekturnya mempertahankan gaya kolonial Belanda, tapi sirkulasi udaranya modern.” Komentar Arya sambil mengedarkan pandangan ke langit-langit restoran. Naluri arsiteknya langsung bekerja.

Kirana tertawa kecil. “Kamu arsitek banget ya. Datang-datang yang dinilai plafonnya dulu.”

Arya terkekeh. “Kebiasaan kerja. Oh ya, kamu udah pesen?”

“Belum. Nungguin kamu,” Kirana menyodorkan buku menu. “Katanya mau nyari Nasi Goreng enak?”

Arya membuka buku menu itu. Matanya memindai daftar makanan dengan cepat.

“Saya pesan Nasi Goreng Kampung,” ujar Arya pada pelayan yang datang. “Pedas. Telurnya didadar, jangan diceplok. Dan kerupuknya di pisah, jangan kena nasi biar nggak mlempem.”

Kirana tertegun. Detail itu…

“Minumnya?” Tanya pelayan.

“Es jeruk. Gulanya sedikit aja.”

Kirana menahan napas. Ia memberanikan diri bertanya, sebuah pertanyaan jebakan yang sudah ia siapkan semalaman.

“Ar,” panggil Kirana.

Arya menutup buku menu. “Ya?”

“Kalau makan bubur ayam…kamu tipe yang diaduk atau enggak?”

Arya mengernyit, menatap Kirana seolah gadis itu baru saja menanyakan rumus fisika nuklir.

“Jelas enggak diaduk,” jawab Arya tegas, nadanya sedikit defensif. “Bubur itu punya estetika topping yang harus dihargai. Kalau diaduk, bentuknya kayak muntahan kucing. Saya nggak selera.”

DEG.

Air mata Kirana nyaris tumpah. Ia buru-buru meminum es tehnya untuk menutupi emosi yang meluap.

Itu kalimat yang sama. Persis. Kata demi kata. Bahkan intonasi jijiknya saat menyebut “muntahan kucing” pun sama.

“Kenapa?” Tanya Arya bingung melihat reaksi Kirana. “Kamu tim bubur diaduk ya? Wah, kita bisa berantem nih.”

Kirana menggeleng cepat, tersenyum haru. “Enggak. Aku seneng jawabannya sama.”

“Sama kayak siapa?”

“Sama kayak…temen lama aku,” jawab Kirana pelan.

Makanan datang tak lama kemudian. Nasi goreng berwarna kecokelatan dengan aroma terasi yang kuat. Arya langsung menyendok sambal tambahan dalam porsi yang tidak wajar untuk manusia normal.

“Kamu suka pedes banget ya?” Tanya Kirana.

“Banget,” Arya mengunyah suapan pertamanya. Wajahnya terlihat puas. “Anehnya, keluarga saya nggak ada yang suka pedes. Cuma saya. Kata Ibu saya, lidah saya kayak lidah orang zaman dulu.”

Kirana menatap pria didepannya dengan tatapan nanar. Arya Baskara ada di sini, hidup, nyata dan sedang makan nasi goreng dengan lahap. Bukan lagi sekedar nama di buku sejarah atau jasad yang memeluk jepit rambut plastik.

Namun, ada tembok kaca besar di antara mereka. Arya yang ini tidak mengenalnya. Arya yang ini tidak ingat bahwa dia pernah rela mati demi melindungi Kirana dari desakan massa di pasar malam.

“Ar,” Kirana meletakkan sendoknya. Ia merasa ini saatnya.

“Hmm,?” Arya mendongak, mulutnya sedikit belepotan minyak.

Kirana merogoh tasnya. Ia mengeluarkan sebuah benda yang dibungkus kain beludru hitam.

“Boleh minta tolong pegang ini sebentar?”

Arya mengangkat alis, tampak geli. “Apa ini? Kamu mau ngelamar saya?”

“Buka aja.”

Arya membersihkan tangannya dengan tisu, lalu menerima bungkusan itu. Ia membukanya perlahan.

Sebuah Sendok Perak kuno. Gagangnya berukir motif Lung-lungan (tanaman merambat) khas Majapahit, namun ujung sendoknya memiliki noda hitam samar yang tak bisa hilang meski sudah digosok ratusan kali. Noda bekas racun arsenik Dyah Ayu.

“Sendok?” Arya menatap benda itu bingung. “Antik banget. Punya siapa?”

“Pegang gagangnya, Ar. Genggam yang erat.”

Arya menuruti perintah aneh itu. Ia menggenggam gagang sendok perak itu dengan tangan kanannya.

Detik pertama, tidak terjadi apa-apa.

Detik kedua, Arya merasakan hawa dingin yang menusuk menjalar dari telapak tangannya, naik ke lengan, hingga tengkuknya.

Detik ketiga…

PRANG!

Sendok itu terlepas dari genggaman Arya, jatuh berdenting keras ke atas piring keramik.

Arya tersentak mundur, napasnya memburu tiba-tiba. Wajahnya memucat, matanya membelalak menatap sendok itu dengan horor.

“Ar? Kamu kenapa?” Kirana panik, refleks memegang tangan Arya. Tangan pria itu dingin sekali.

Arya memegangi kepalanya yang mendadak berdenyut nyeri.

“Barusan…” suara Arya terdengar serak dan jauh. “Barusan…saya lihat asap.”

“Asap apa?” Desak Kirana.

Arya memejamkan mata, berusaha mengumpulkan kepingan puzzle yang berantakan di kepalanya.

“Dapur. Dapur yang gelap dan panas. Ada bau kayu bakar…” Arya berbicara dengan tempo cepat, seperti orang mengigau. “Ada suara wanita…cerewet sekali. Dia marah-marah soal…kamar mandi?”

Arya membuka matanya, menatap Kirana dengan tatapan yang berbeda. Tatapan yang membuat jantung Kirana berhenti berdetak. Ada kebingungan, ketakutan, tapi juga kerinduan yang samar di sana.

“Dan saya merasa…sedih. Sedih yang luar biasa sampai dada saya sakit,” Arya menyentuh dadanya sendiri, tepat di jantungnya. “Kenapa sendok ini bikin saya pengen nangis, Kirana?”

Kirana menggigit bibir bawahnya, menahan isak tangis. Ingatan itu ada. Terkubur di sana.

Kirana kembali mengambil sendok itu, membungkusnya cepat. Ia tidak mau menyiksa Arya lebih lama.

“Mungkin…karena pemilik sendok itu pernah sangat kesepian, Ar,” jawab Kirana lembut.

Arya menarik napas panjang, berusaha menormalkan detak jantungnya. Ia meminum es jeruknya sampai habis dalam sekali teguk. Sisi rasionalnya sebagai arsitek berusaha menolak kejadian mistis barusan, tapi rasa sakit di dadanya terlalu nyata.

“Kamu…” Arya menunjuk Kirana. “Kamu siapa sebenarnya? Kenapa sejak ketemu kamu di museum, hidup saya yang teratur jadi berantakan? Kenapa saya merasa kenal kamu padahal kita baru ketemu dua kali?”

Kirana tersenyum sedih. Ia mengulurkan tangannya di atas meja, telapak tangan terbuka.

“Namaku Kirana. Dan aku di sini buat bantuin kamu nyari jawaban itu, Ar. Pelan-pelan. Asal kamu percaya sama aku.”

Arya menatap tangan Kirana. Tangan yang terlihat rapuh namun juga kuat. Logikanya berteriak untuk lari, untuk meninggalkan wanita aneh yang membawa sendok keramat ini.

Tapi hatinya…hatinya yang selama ini kosong, tiba-tiba merasa penuh.

Perlahan, Arya meletakkan tangannya di atas tangan Kirana. Menggenggamnya.

“Oke,” bisik Arya. “Saya nggak ngerti apa yang terjadi. Tapi saya percaya. Entah kenapa, saya percaya.”

Di sudut restoran, seorang pelayan yang sedang membersihkan meja melirik mereka sekilas, lalu berbisik pada temannya.

“Eh, lihat deh pasangan di meja 14. Cocok banget ya? Kayak di film-film zaman dahulu.”

Tanpa mereka sadari, roda takdir telah berputar kembali. Di luar jendela, langit Jakarta mulai mendung, seolah bersiap menyambut badai baru yang akan menguji apakah cinta beda zaman ini bisa bertahan di era modern yang tak kenal ampun.

1
Roro
yeee ketemu lagi arya sama kirana
Roro
keren sumpah
NP
Makasih banyak ya kak 🥰🔥
Roro
wahhh ternyata nanti berjodoh di masa depan 😍😍😍
NP: 🤣🤣 tadinya mau stay di masa lampau kirana nya galau 🤭
total 1 replies
Gedang Raja
tambah semangat lagi ya Thor hehehe semangat semangat semangat
Roro
akan kah kirana tinggal
Roro
ayo thor aky tungu update nya
Roro
gimana yah jadinya, apa kita akan bakal pulang atau bertahan di era masa lalu.
NP: Hayoo tebak, kira kira Kirana pilih tinggal di masa lalu atau masa depan?
total 1 replies
Roro
Arya so sweet
Roro
panglima dingin.. mancair yah
NP
Ditunggu ya kak hehehe.. makasih udah suka cerita nya😍
Roro
aku suka banget ceritanya nya Thor, aku tunggu lanjutan nya
Roro
lanjut thor
Roro
kok aku suka yah sama karakter Kirana ini
Roro
ahhhsetuju Kirana
Roro
bagus ceritanya aku suka
Roro
keren thor
Roro
keren jadi semngat aku bacanya, kayak nya tertular semangat nya Kirana deh
NP: Makasih banyak kak Roro😍🙏
total 1 replies
Roro
fix Kirana berada di abad ke 14
Roro
jangan jangan Kirana sampai ke abad 14
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!