Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api cemburu
Tangan Rayyan yang semula hanya menempel di belakang kursi kini mengepal erat. Buku-buku jarinya memutih, mencerminkan gejolak yang tiba-tiba menguasai dadanya. Rayyan, sang pengendali, merasa dirinya tersentak oleh emosi asing campuran kejutan, rasa terkhianati, dan yang paling aneh, rasa tidak suka yang membakar karena melihat mantan suami Inara menatap istrinya dengan tatapan yang begitu posesif.
'Ini konyol,' batin Rayyan. 'Dia hanya istri kontrak. Kenapa darahku harus mendidih karena tatapan pria lain?'
Rayyan mencondongkan tubuhnya ke depan, seolah ingin menciptakan perisai antara Inara dan pandangan Hamdan.
"Mantan suami," ulang Rayyan, suaranya pelan dan tajam. Ia tidak berusaha menyembunyikan nada dominasi yang dingin itu. "Kenapa dia melakukan hal itu? Dan kenapa kalian bercerai?"
Inara terkejut dengan nada bicara Rayyan yang berubah drastis, dari meyakinkan menjadi menuntut.
"Dia... dia terpaksa Tuan, melakukan hal itu. Saya tahu itu," bisik Inara, mencoba agar Nyonya Martha di seberang meja tidak mendengar. "Kami pun bercerai... karena keluarganya. Mereka tidak pernah menyukai saya, Tuan. Mereka menganggap saya tidak pantas menjadi menantu mereka. Terutama Nyonya Amara, ibunya. Setelah dua tahun menikah dan saya melahirkan Baby Daffa, mereka memaksa Hamdan untuk menceraikan saya."
Jeda sebentar. Inara menelan ludah, air mukanya menunjukkan luka lama yang terkuak kembali.
"Meskipun Hamdan menolak pada awalnya, ia akhirnya setuju... dan menceraikan saya, dengan alasan yang tidak manusiawi yakni karena saya telah melahirkan seorang bayi yang tidak sempurna" Inara menyelesaikan penjelasannya dengan helaan napas pahit.
Rayyan terdiam, ekspresi Hamdan yang penuh penyesalan dan kesedihan kini masuk akal. Pria itu telah membuang permata ini, hanya untuk melihatnya kini bersinar di samping pria yang jauh lebih kuat darinya.
Tiba-tiba, sebuah suara yang ramah dan familiar menyela pikiran tegang Rayyan.
"Tuan Rayyan! Selamat ulang tahun untuk perusahaan hebat Witjaksono grup! Maafkan kami terlambat," Tuan Abraham, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah dan pembawaan meyakinkan, berjalan mendekat.
Di belakangnya, ada Megan, putrinya dan, tentu saja, Hamdan, calon menantunya.
Rayyan segera memasang senyum profesionalnya yang karismatik, berdiri untuk menyambut tamunya. Nyonya Martha juga berdiri, menyambut Tuan Abraham dengan hangat.
"Tuan Abraham, senang sekali Anda bisa datang," sambut Rayyan. Ia bersalaman, matanya sekilas melirik Hamdan yang berdiri kaku di samping Megan.
"Terima kasih atas undangannya, Nyonya Martha," kata Tuan Abraham. "Oh, dan perkenalkan. Ini putri saya, Megan, dan ini Hamdan. Mereka berdua adalah calon pengantin yang akan menikah beberapa minggu lagi."
Megan maju, mengulurkan tangan dengan centil. "Selamat malam, Tuan Rayyan, Nyonya Witjaksono. Selamat malam, Nyonya Martha. Suatu kehormatan bagiku bisa berada di sini."
Rayyan membalas jabatan tangannya singkat. Saat Megan menyapa Inara, mata Hamdan terpaku sepenuhnya pada mantan istrinya. Ia melihat Inara yang jauh lebih anggun, lebih dewasa, dan memancarkan aura 'Nyonya Besar' yang mempesona. Ia ingin sekali mendekat, memeluknya, dan memohon maaf, tetapi status Inara kini... adalah milik Rayyan. Pria yang telah mengalahkannya di setiap sisi.
"Tuan Rayyan," lanjut Tuan Abraham, kembali ke Rayyan. "Kami berencana akan melangsungkan pernikahan Megan dan Hamdan sebentar lagi. Tentu saja, saya harap Keluarga Witjaksono berkenan untuk hadir. Kehadiran Anda adalah suatu kehormatan besar bagi kami."
"Tentu saja, Tuan Abraham. Kirimkan saja undangannya," jawab Rayyan ramah. Ia merasakan pandangan membakar Hamdan yang tidak beralih sedikit pun dari Inara. Ekspresi Rayyan mengeras.
Nyonya Martha, merasakan ketidaknyamanan, ia berpamitan. "Saya harus menemui beberapa tamu lama. Kalian teruskan saja bincang-bincangnya."
Begitu Nyonya Martha pergi, Hamdan mengambil langkah maju, seolah ingin mendekati Inara. Inara, yang merasa sangat tidak nyaman dan gugup, segera mengambil inisiatif untuk melarikan diri.
"Permisi, Tuan. Saya... saya merasa sedikit tidak enak badan. Saya akan ke kamar hotel sebentar untuk beristirahat," kata Inara, nyaris tidak melirik Rayyan, dan mulai beranjak dari kursinya.
Langkah Inara baru saja satu langkah seketika Rayyan bergerak cepat. Tangan kirinya menjulur ke belakang, merengkuh pinggang Inara dengan gerakan yang cepat dan pasti.
Hamdan tersentak. Tuan Abraham dan Megan hanya melihat pemandangan itu dengan mata berbinar.
Tarikan Rayyan membuat tubuh Inara limbung, dan dalam sepersekian detik, Inara sudah duduk di pangkuan Rayyan, tubuhnya menempel erat pada suaminya. Inara terkejut bukan main, sementara mata Hamdan membulat, menatap pemandangan itu dengan campuran amarah dan kepedihan yang tak tertahankan.
"Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Rayyan, suaranya melembut, penuh kemesraan yang dibuat-buat, namun nadanya menguasai. Ia memiringkan kepalanya, menatap Inara dengan mata yang bermain-main. Ekor matanya menangkap wajah Hamdan yang memerah karena cemburu. Rayyan tahu, ia menang.
"Temani aku di sini, honey. Kau tahu kalau aku tidak bisa jauh darimu. Kamu kenapa, hmm?" Rayyan mengusap pipi Inara dengan ibu jarinya, sebuah gestur yang sangat int*m.
Tuan Abraham tersenyum penuh kekaguman. "Astaga, Tuan Rayyan. Sungguh romantis sekali!"
Megan menoleh kepada Hamdan, menyentuh lengan tunangannya. "Lihat, Mas Hamdan! Betapa manisnya mereka. Kamu harus bisa seromantis Tuan Rayyan padaku nanti."
Hamdan tidak menjawab. Semua pandangan dan pikirannya hanya terfokus pada Inara yang berada di pangkuan pria lain, begitu dekat, begitu mesra.
Inara merasa canggung luar biasa. Jantungnya berdebar kencang, dan pipinya memanas. Jarak mereka begitu dekat, ia bisa mencium aroma maskulin Rayyan yang samar. Tangan Rayyan melilit pinggangnya erat-erat, menahan agar ia tidak bisa lepas.
Inara melirik Hamdan. Ia melihat mantan suaminya mengepalkan tangan, wajahnya menahan amarah dan kekecewaan. Sebuah ide nakal muncul. Inara menyadari ini adalah kesempatannya untuk memberi pelajaran pada Hamdan yang dulu meninggalkannya karena tekanan ibunya.
Ia mengangkat kedua tangannya, melingkarkannya dengan perlahan di leher Rayyan.
Sentuhan kulit Inara membuat bulu kuduk Rayyan meremang. Sensasi dingin dan lembut dari tangan Inara terasa seperti sengatan listrik halus yang menjalar ke sekujur tubuhnya. Rayyan terkejut, tetapi ia mempertahankan senyumnya.
"Maafkan aku, Suamiku," bisik Inara, suaranya kini terdengar manja di telinga Rayyan. "Aku sedikit pusing. Jadi, aku ingin ke kamar sebentar, bukankah kamu sudah mempersiapkan kamar untuk kita di hotel ini?"
Rayyan tersenyum nakal. Inara benar-benar masuk ke dalam permainan.
"Apakah malam ini kita akan menikmati malam indah seperti kemarin lagi, hmm? Mungkin kau membutuhkan belaian dan sentuhan dariku agar rasa pusingmu hilang!" jawab Rayyan, sengaja meninggikan sedikit suaranya agar terdengar oleh semua orang di meja itu.
Mendengar itu, Hamdan semakin bergejolak. Ia mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya gemetar, ingin sekali ia berdiri dan memukul Rayyan saat ini juga.
Dan yang lebih gila lagi, tanpa diduga, Rayyan mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekatkan wajahnya ke wajah Inara, dan dengan beraninya mengecup bibir Inara tepat di depan Tuan Abraham, Megan, dan Hamdan.
Inara kaget tak percaya. Tubuhnya menegang, tetapi Rayyan sudah melepaskan ciuman singkat itu. Rayyan menatapnya dengan pandangan puas dan tidak berdosa. Seketika, wajah keduanya merona karena tindakan mendadak itu, menciptakan kecanggungan yang manis.
Rayyan perlahan melonggarkan pelukannya. "Baiklah, Sayang. Pergilah. Aku akan menyusul setelah berbicara sedikit dengan Tuan Abraham."
Inara segera bangkit, mengucapkan permisi singkat, dan melangkah pergi, menuju lift, meninggalkan aura yang membuat Hamdan tercekik.
Rayyan melirik sekilas ke arah Hamdan. Pria itu menatapnya dengan mata penuh kebencian. Rayyan tersenyum tipis senyum penuh kemenangan dan kepuasan.
"Maaf atas adegan itu, Tuan Abraham. Kami memang baru menikah dan sedang dimabuk cinta," kata Rayyan dengan nada santai, seolah adegan tadi adalah hal paling wajar di dunia.
Hamdan menunduk, darahnya sudah meledak-ledak menahan rasa cemburu yang menyiksa.
Bersambung...
hamdan jantung amankan ya klu mau copot minta sm othor suruh ganti pake jantung kucing🤣🤣🤣🤣🤣