Di Kota Pontianak yang multikultur, Bima Wijaya dan Wibi Wijaya jatuh hati pada Aisyah. Bima, sang kakak yang serius, kagum pada kecerdasan Aisyah. Wibi, sang adik yang santai, terpesona oleh kecantikan Aisyah. Cinta segitiga ini menguji persaudaraan mereka di tengah kota yang kaya akan tradisi dan modernitas. Siapakah yang akan dipilih Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Bunga dari Satu Akar
Setelah acara perayaan kesuksesan pameran Jepang selesai, Andini duduk sendirian di sudut teras toko sambil menyortir foto-foto dokumentasi perjalanan. Matanya tertuju pada sebuah foto lama di mana dia berdampingan dengan Abi. Pria itu kakak kandung Pramudya yang dulunya jadi kekasihnya sebelum mereka putus tiga tahun yang lalu.
“Abi bilang dia akan datang besok untuk melihat seri produk baru,” suara Pramudya terdengar dari belakang. Andini terkejut lalu cepat-cepat menyembunyikan foto lama itu ke dalam amplop. Pramudya mendekat dengan membawa dua gelas teh hangat. Wajahnya terlihat cemas karena tahu betapa hubungan antara Andini dan kakaknya masih jadi beban bagi mereka berdua.
“Kamu sudah tahu ya tentang kunjungannya besok?” ucap Andini dengan suara yang sedikit gemetar. Dia merasa tidak nyaman karena belum benar-benar bisa menghadapi Abi setelah semua yang terjadi.
Pramudya mengangguk lalu duduk di sisi Andini. “Aku tahu kamu masih merasa tidak enak dengan apa yang terjadi dulu. Tapi Abi sekarang sudah berbeda. Dia bekerja sebagai konsultan untuk program pengembangan ekonomi kreatif di daerah terpencil. Dia bilang ingin belajar dari cara kita bekerja sama dengan pengrajin Papua.”
Malam itu Andini tidak bisa tidur nyenyak. Dia mengingat masa lalu ketika dia dan Abi masih bersama. Mereka sama-sama mencintai budaya Indonesia dan punya impian untuk mengembangkan kerajinan tangan. Namun perbedaan visi membuat mereka putus. Abi ingin mengubah motif tradisional agar lebih modern dan mudah diterima pasar internasional, sedangkan Andini ingin tetap menjaga makna dan nilai budaya di balik setiap karya.
Hari berikutnya, Abi datang tepat pada jam yang telah disepakati. Penampilannya lebih matang dan dia mengenakan kemeja batik yang terlihat sederhana namun elegan. Saat dia melihat Andini, matanya menunjukkan rasa sayang yang masih ada namun juga rasa hormat yang lebih dalam.
“Andini. Kamu semakin cantik dan lebih percaya diri dari sebelumnya,” ucap Abi dengan suara yang lembut. Dia memberikan sebuah bingkisan kecil kepada Andini. Di dalamnya ada sebuah buku tentang kerajinan tradisional dari seluruh dunia.
“Terima kasih, Abi. Kamu juga tampak lebih tenang dan fokus pada pekerjaanmu,” jawab Andini dengan suara yang sedikit gemetar namun lebih tenang. Mereka duduk bersama di ruang tamu toko dan mulai berbicara tentang program kerja mereka masing-masing.
Abi mengaku bahwa dia telah menyadari kesalahannya dulu. Dia terlalu terburu-buru untuk mencapai kesuksesan dan melupakan bahwa nilai sejati dari kerajinan tangan terletak pada cerita dan budaya yang terkandung di dalamnya. “Saya melihat karya kolaboratifmu dengan pengrajin Papua di media sosial. Itu benar-benar luar biasa. Setiap produk punya cerita yang hidup dan bisa menyentuh hati orang yang melihatnya,” ucap Abi dengan penuh penghargaan.
Perbincangan mereka menjadi lebih hangat. Mereka berbagi pengalaman dan ide tentang bagaimana bisa lebih baik membantu pengrajin lokal di seluruh Indonesia. Pramudya yang awalnya khawatir melihat mereka berdua bertemu kini merasa lega karena suasana yang terbentuk bukanlah ketegangan melainkan rasa saling menghargai.
Setelah Abi pergi, dia melangkah dengan langkah yang pelan. Kakinya terasa berat setiap langkahnya, seolah membawa beban yang sudah lama tersimpan dalam hati. Di dalam mobilnya, dia duduk sejenak menyaksikan aktivitas di sekitar toko dari kaca jendela. Dia melihat Pramudya sedang membantu Andini menyusun rak produk baru, tangan mereka kadang saling bersentuhan saat mengambil kotak yang berat. Kedua orang itu terkadang saling melihat dengan senyum yang penuh makna, sebuah senyum yang dulu hanya dia yang bisa dapatkan dari Andini.
Hati Abi terasa sesak dan sedikit sakit. Meskipun dia sudah tahu bahwa hubungan mereka berdua sudah berakhir tiga tahun yang lalu, melihat wanita yang pernah dia cintai dengan segala hatinya sekarang bersama dengan adiknya sendiri bukanlah hal yang mudah untuk diterima. Dia ingat saat mereka masih bersama, mereka sering berencana untuk membangun sebuah pusat kerajinan yang bisa menjadi rumah bagi pengrajin dari seluruh Indonesia. Tapi impian itu hancur karena dia terlalu terburu-buru untuk mencapai kesuksesan dan memaksakan idenya sendiri tanpa memperhatikan pendapat Andini. Dia menghela napas dalam-dalam, matanya sedikit berkaca-kaca saat menghidupkan mesin mobil dan melaju meninggalkan tempat itu.
Di rumahnya sendiri yang terletak di pinggiran kota, Abi masuk ke ruang tamu yang penuh dengan buku, catatan tangan, dan dokumentasi foto tentang kerajinan tangan dari berbagai daerah di Indonesia. Dinding ruangan itu dihiasi dengan kain tenun ikat dari Sumba dan anyaman dari Nusa Tenggara Timur yang dia kumpulkan selama perjalanannya. Ibunya yang sedang menyiapkan teh hangat dan kue kering mendekat dengan langkah yang lembut, kemudian duduk di sisi nya. Wanita tua itu sudah mengenal Abi sejak lahir, dia bisa merasakan getaran emosi yang sedang mengalir dalam diri anaknya pertama.
“Kamu masih mencintainya kan?” tanya Ibunya dengan suara yang lembut namun jelas, sambil memberikan cangkir teh hangat ke tangan Abi.
Abi mengangguk perlahan, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Suara tangisan yang tertahan keluar dari celah jari. “Ya, Bu. Aku masih mencintainya dengan sepenuh hati. Aku tidak bisa menyangkalnya. Aku pernah berpikir bahwa suatu hari nanti kita akan bisa kembali bersama, setelah aku memperbaiki diri dan mengubah cara pandangku tentang kerja kita. Tapi sekarang dia terlihat bahagia bersama dengan Pramudya. Aku tidak punya hak untuk mengganggu kebahagiaan mereka berdua. Bahkan aku merasa tidak pantas untuk bisa melihatnya bahagia dengan orang lain, terutama dengan adikku sendiri.”
Ibunya mengelus punggung Abi dengan penuh kasih sayang, matanya juga berkaca-kaca melihat kesusahan anaknya. “Cinta yang sejati bukan hanya tentang memiliki orang yang kita cintai, nak. Kadang kala cinta juga tentang melepaskan nya dengan tulus agar dia bisa mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kamu sudah melakukan yang terbaik untuk memperbaiki diri selama tiga tahun terakhir. Kamu bekerja keras membantu pengrajin di daerah terpencil, kamu belajar banyak tentang nilai budaya yang terkandung di balik setiap karya. Itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa kamu telah tumbuh menjadi pria yang lebih baik. Dan aku yakin Andini juga melihat perubahan itu dalam dirimu.”
Beberapa hari kemudian, setelah berpikir panjang dan merenungkan kata-kata ibunya, Abi memutuskan untuk menghubungi Pramudya dan mengajaknya bertemu di kedai kopi kecil bernama “Kopi Wangi” yang sering mereka kunjungi saat masih muda. Tempat itu memiliki suasana yang hangat dengan lantai keramik tua dan dekorasi dinding dari barang antik yang dikumpulkan oleh pemiliknya. Saat mereka bertemu, suasana awalnya terasa sedikit kaku dan tidak nyaman. Pramudya duduk di sisi meja dengan tangan yang terlipat di atas permukaan meja, sementara Abi hanya bisa melihat ke arah gelas kopinya yang masih mengeluarkan asap panas.
Setelah beberapa menit berlalu dan suasana mulai mereda, Abi membuka pembicaraan dengan suara yang pelan namun jelas. “Kamu benar-benar mencintainya kan? Andini?”
Pramudya mengangguk dengan tegas, matanya menunjukkan keyakinan yang kuat. “Ya, Kak. Aku mencintainya dengan sepenuh hati. Aku telah mencintainya sejak lama, bahkan sebelum kamu dan dia putus. Tapi aku tidak pernah mengungkapkannya karena kamu adalah kakak ku dan aku menghormati hubungan kalian berdua. Setelah kalian berdua putus, aku hanya ingin menjadi teman yang bisa diandalkan baginya. Aku ingin membantu dia mencapai impiannya untuk mengembangkan kerajinan tangan Indonesia. Dan seiring waktu, rasa sayangku padanya tumbuh menjadi cinta yang dalam dan tulus. Aku berjanji akan selalu menjaganya, menghargai setiap nilai yang dia anut, dan tidak akan pernah menyakitinya seperti yang kamu lakukan dulu.”
Abi terdiam sejenak mendengar kata-kata adiknya. Hatinya terasa sakit mendengar pengakuan itu, tapi dia juga merasa lega karena tahu bahwa Andini akan berada di tangan yang bisa menjaganya dengan baik. Dia menghela napas lalu melihat mata adiknya sendiri dengan penuh penghargaan. “Aku akan selalu mendukungnya dalam setiap langkahnya. Karena dia wanita yang luar biasa dan pantas mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya. Dia bekerja keras untuk apa yang dia percayai, dia memiliki hati yang hangat untuk membantu orang lain, dan dia selalu menghargai nilai budaya yang ada di dalam setiap karya. Tapi aku butuh waktu untuk bisa benar-benar menerima hubungan kalian berdua. Jangan marah ya jika aku tidak bisa langsung muncul dengan senyum penuh setiap kali melihat kalian berdua bersama. Jangan marah jika aku kadang harus menjauh untuk bisa menyembuhkan luka di hatiku.”
Pramudya mengambil tangan kakaknya dengan lembut, matanya juga berkaca-kaca melihat kesusahan yang dialami Abi. “Tidak masalah, Kak. Aku mengerti perasaanmu sepenuhnya. Cinta tidak bisa dipaksakan dan kehilangan orang yang kita cintai adalah hal yang paling menyakitkan dalam hidup. Kita akan menunggu sampai kamu benar-benar siap. Dan apa pun yang terjadi, kamu tetap adikku yang tersayang dan bagian penting dari keluarga kita. Kita masih akan bekerja sama dalam proyek kerajinan kita, bukan? Karena itu adalah impian kita bersama juga.”
Abi tersenyum perlahan lalu mengangguk. “Tentu saja. Kerja sama kita untuk mengembangkan kerajinan tangan Indonesia tidak akan pernah terganggu oleh hubungan pribadi kita. Itu adalah hal yang lebih besar dari kita semua.”
Sementara itu, setelah Abi pergi dari toko, Andini mendekati Pramudya yang sedang mengecek pesanan produk baru. “Aku merasa lega sekarang. Seperti ada beban yang terangkat dari bahuku,” ucap Andini sambil melihat ke arah pintu toko dimana Abi baru saja pergi.
Pramudya mengambil tangan Andini dengan lembut. “Aku tahu ini tidak mudah untuk kamu. Tapi aku selalu menghargai bagaimana kamu bisa melihat sisi baik dari setiap orang dan selalu bersedia untuk memaafkan.”
Andini menatap mata Pramudya dengan penuh perhatian. Selama ini dia melihat Pramudya sebagai rekan kerja yang handal dan bisa diandalkan. Tapi saat ini dia menyadari bahwa perasaannya sudah melampaui itu. Dia merasa nyaman dan tenang setiap kali ada di dekatnya. Dia merasa dipahami dan didukung dalam setiap langkahnya.
“Pramudya. Ada sesuatu yang aku ingin katakan,” ucap Andini dengan suara yang jelas dan tegas. “Selama ini aku mencoba untuk menghindari perasaanku karena takut akan menyakiti orang lain atau merusak kerja sama yang telah kita bangun. Tapi sekarang aku menyadari bahwa cinta bukanlah sesuatu yang harus kita hindari. Cinta bisa menjadi kekuatan untuk membuat kita lebih baik dan bekerja lebih keras untuk mencapai impian kita bersama.”
Pramudya tersenyum dengan mata yang penuh kebahagiaan. Dia telah menunggu saat ini selama cukup lama tapi dia tidak pernah ingin memaksakan kehendaknya pada Andini. Dia ingin Andini datang kepadanya dengan kemauan sendiri.
“Andini. Aku suka sama kamu dari waktu yang lama. Tapi aku tidak pernah mengatakannya karena aku ingin kamu benar-benar siap dan merasa nyaman dengan perasaanmu sendiri. Aku tidak ingin kamu merasa tertekan atau harus memilih antara cinta dan impianmu. Karena aku yakin bahwa kita bisa menjalankan keduanya bersama,” ucap Pramudya dengan penuh rasa cinta dan penghargaan.
Mereka saling memandang tanpa perlu banyak bicara. Kedua orang yang telah melalui banyak hal bersama kini menemukan bahwa cinta bisa tumbuh dari rasa saling menghargai dan pengertian yang mendalam. Mereka tahu bahwa jalan yang akan ditempuh tidak akan selalu mudah tapi mereka siap menghadapinya bersama sebagai satu tim yang solid.
Beberapa minggu kemudian, saat tim berkumpul untuk merencanakan kolaborasi baru dengan Sulawesi Selatan, Pramudya mengumumkan hubungan mereka dengan bangga. Seluruh tim memberikan tepukan tangan dan doa terbaik. Udara acara dipenuhi dengan suara tawa dan musik akustik yang dimainkan oleh salah satu pengrajin muda dari Bali. Meja makan penuh dengan makanan khas dari berbagai daerah seperti gudeg dari Yogyakarta, babi guling dari Bali, dan ikan bakar dari Papua. Seluruh tim dan pengrajin berkumpul bersama seperti satu keluarga besar, merayakan kebahagiaan kedua orang yang telah membawa mereka semua bersama-sama.
Namun di tengah kegembiraan itu, ada sedikit kekosongan yang terasa oleh Andini. Dia terus melihat ke arah pintu masuk, berharap bisa melihat wajah Abi datang dan memberikan dukungannya. Saat acara memasuki puncaknya dan seluruh orang mulai memberikan ucapan selamat kepada mereka berdua, seorang staf depan datang membawa sebuah bingkisan besar yang dibalut dengan kain batik merah tua dan diikat dengan tali rotan berwarna kuning. Di samping bingkisan ada sebuah amplop putih yang tertulis nama Andini dan Pramudya dengan tulisan tangan yang rapi.
Andini dengan hati-hati membuka amplop dan membaca surat yang ada di dalamnya dengan suara yang sedikit gemetar:
“Untuk Andini dan Pramudya. Aku minta maaf jika aku tidak bisa hadir hari ini untuk merayakan kebahagiaan kalian berdua. Aku masih butuh waktu untuk bisa benar-benar menerima hubungan kalian berdua dan melihat kalian bersama-sama. Tapi itu tidak berarti aku tidak merasakan kebahagiaan yang dalam saat mengetahui kabar baik ini. Aku telah melakukan banyak refleksi diri selama beberapa minggu terakhir dan aku menyadari bahwa aku telah melakukan kesalahan besar dalam hubungan kita dulu. Aku memaksakan kehendakku sendiri tanpa memperhatikan perasaan dan pendapatmu. Aku menyakitimu dan aku sangat menyesalinya. Tapi aku juga melihat bagaimana kamu tumbuh menjadi wanita yang lebih kuat dan sukses setelah kita berdua putus. Kamu berhasil mewujudkan impianmu untuk membuat kolaborasi kerajinan tangan antar daerah di Indonesia. Dan sekarang kamu memiliki seseorang yang benar-benar mencintai dan menghargai mu sepenuhnya.
Di dalam bingkisan ini ada sebuah patung kayu kecil yang aku ukir sendiri selama beberapa minggu. Patung ini melambangkan kalian berdua dan aku. Meskipun kita memiliki jalan hidup yang berbeda dan memilih cara yang berbeda untuk mencapai tujuan kita, namun kita berasal dari akar yang sama yaitu cinta yang dalam pada budaya Indonesia yang kaya dan indah. Tiga bunga yang tumbuh dari satu akar kuat melambangkan kita masing-masing. Bunga pertama untukmu, Andini, melambangkan keindahan dan kekuatan. Bunga kedua untuk Pramudya, melambangkan kebijaksanaan dan kesetiaan. Dan bunga ketiga untuk diriku sendiri, melambangkan proses penyembuhan dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Semoga kalian berdua selalu bahagia dan bisa mencapai semua impian kalian bersama. Semoga hubungan kalian berdua bisa menjadi contoh bagi banyak orang tentang bagaimana cinta yang sejati bisa tumbuh dari rasa saling menghargai dan pengertian yang mendalam. Aku berjanji akan selalu mendukung kerja sama kita dalam mengembangkan kerajinan tangan Indonesia dan aku berharap suatu hari nanti kita bisa bekerja sama lagi dengan damai dan penuh penghargaan. Dengan cinta dan penghargaan yang tulus. Abi.”
Membaca surat itu membuat mata Andini berkaca-kaca, air mata mulai mengalir ke pipinya yang dipenuhi dengan rasa haru dan penghargaan. Pramudya menyelimuti pundaknya dengan lembut, memberikan dukungan dan rasa nyaman. Seluruh tamu yang hadir juga terdiam mendengar isi surat tersebut, beberapa di antaranya juga merasa haru dan berkaca-kaca melihat kedalaman perasaan yang terkandung di dalamnya. Andini kemudian berdiri dan mengambil patung kayu kecil dari dalam bingkisan. Patung itu dibuat dari kayu mahoni berkualitas baik dengan finishing yang halus dan detail yang indah. Tiga bunga yang diukir dengan presisi tinggi terlihat seperti hidup dan siap mekar di bawah sinar matahari.
“Kita akan menunggu dia ya,” ucap Andini sambil melihat ke arah Pramudya dengan mata yang penuh dengan harapan dan penghargaan. “Karena dia bukan hanya mantan kekasihku tapi juga saudara dari orang yang aku cintai dan bagian penting dari perjalanan kita untuk mengembangkan kerajinan tangan Indonesia. Kita akan menunggu sampai dia benar-benar siap untuk menerima kita berdua dan untuk bisa kembali bekerja sama dengan kita seperti dulu.”
Pramudya mengangguk lalu mencium dahi Andini dengan penuh kasih sayang. “Ya, kita akan menunggu dia. Karena keluarga dan persahabatan adalah hal yang paling berharga dalam hidup kita. Kita tidak akan pernah memaksakan apa pun pada dia. Kita akan memberikan waktu yang cukup untuk dia bisa menyembuhkan luka di hatinya dan untuk bisa menerima hubungan kita berdua dengan tulus.”
Setelah acara berakhir dan tamu mulai pulang, Andini menempatkan patung kayu kecil tersebut di atas meja kerjanya yang terletak di tengah ruang kerja toko. Cahaya lampu dari atas membuat setiap detail patung itu terlihat lebih jelas dan indah. Dia tahu bahwa perjalanan untuk mencapai kedamaian dan persahabatan yang sebenarnya dengan Abi.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*