Sebuah karya yang menceritakan perjuangan ibu muda.
Namanya Maya, istri cantik yang anti mainstream
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.Fahlefi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi bener?
"Heh, nenek peyot! Kalau ngomong jangan sembarangan dong, itu bisa jadi fitnah. Ingat, fitnah lebih kejam dari kemiskinan!" Suara Laras menggelegar.
Bu Sumi yang terkejut dengan kedatangan Laras sektika merasa dirinya tertantang.
"Berani-beraninya kau mengataiku nenek peyot!" Mata bu Sumi terbuka lebar, melotot seakan ingin menelan gadis di depannya itu hidup-hidup.
"Apa kau?!" Laras balas menantang, menatap Bu Sumi tanpa gentar.
"Kurang ajar! Anak kemarin sore udah berani menantangku!"
Tanpa menunggu lama, dengan hidung kembang-kempis Bu Sumi maju. Tangannya langsung tanpa permisi meraih rambut panjang Laras dan menariknya dengan kuat.
Laras mencoba menghindar tapi telat. Tarikan Bu Sumi di rambutnya begitu cepat sehingga membuat Laras berteriak kencang.
"SAKIT!! DASAR PEYOT!"
"RASAKAN!!! INI PELAJARAN UNTUK BOCAH SONGONG SEPERTIMU!"
Bu Sumi menarik semakin keras rambut Laras. Beberapa helai rontok dan terbang-terbang.
Rambutnya dihentak-hentak.
"Bu Sumi, hentikan! Sadar bu, sadar..!!" ucap pemilik warung. Ia berlari, berusaha memisahkan.
"Awww, sakit!!" Laras merintih, ia sepertinya salah perhitungan. Tenaga Bu Sumi alias si nenek peyot ternyata besar juga.
Bu Sumi tak bisa dihentikan. Ia menjambak-jambak Laras seakan ingin menguliti kepala gadis itu. Ia sudah berpengalaman dalam pertarungan seperti ini. Melawan gadis seperti Laras seperti melawan pendatang baru saja.
Alih-alih ikut melerai, ibu-ibu disana cuma menonton. Mereka tidak berani ikut campur. Hanya pemilik warung yang mencoba memisahkan mereka. Ia tidak mau warungnya dijadikan arena tarung bebas. Tapi nggak ada gunanya, pemilik warung sudah tua renta.
Lalu..
"SUDAH! CUKUP!"
Suara itu tenang, dalam, namun tegas.
Semua mata tertuju.
Gilang!
Gilang tiba masih dengan pakaian dinasnya, memakai kacamata hitam, sepatu mengkilat, serta rambut hitam berminyak.
Wangi dan rapi.
Dan juga ganteng.
Mata ibu-ibu sempat terpukau untuk beberapa saat. Suami Maya itu emang ayah muda yang punya kharisma.
"Bu Sumi? Laras? Ada apa ribut-ribut?"
Bu Sumi langsung menghentikan gerakan. Matanya langsung terpesona menatap pria berwajah ganteng itu. Dengan ucapan yang dibuat semanja mungkin ia pun berucap :
"Eh, ada mas Gilang. Nggak apa-apa kok mas, kami sedang latihan akting saja." Katanya dengan bibir yang melengkung kayak bulat sabit.
"Akting apaan! Jelas-jelas anda sudah menjambak rambut saya dengan sengaja! Asal anda tahu Mas Gilang, si nenek peyot ini telah menciptakan fitnah yang begitu keji di desa. Ia menuduh Maya melakukan pesugihan! Menuduh Maya menumbalkan orang-orang kampung!" Ucap Laras dengan aksen plus kalimat penuh drama.
Alis Gilang terangkat, menoleh pada nenek peyot alias Bu Sumi. Ia memang pernah mendengar sekilas tentang fitnah itu, tapi ia cuma menganggapnya angin lalu.
"Apa itu benar Bu Sumi?"
Bu Sumi menghela nafas, lalu mendekat ke sisi Gilang.
"Itu cuma salah sangka saja Mas Gilang, Laras ini jiwanya masih muda, masih susah untuk menyimak apa yang dikatan orang tua. Saya cuma bilang, kalau Maya itu harus hati-hati. Sebab orang-orang bisa beranggapan ia melakukan pesugihan, apalagi mas Gilang dan Maya sekarang kan sudah sukses."
"Alahh, cuihh! Dasar munafikun. Jelas-jelas kau yang bikin fitnah. Benar kan ibu-ibu?" Sanggah Laras menatap ibu-ibu yang sedang belanja di warung itu.
Gilang pun ikut menunggu jawaban ibu-ibu disana. Tapi..
Percuma.
Ibu-ibu disana diam. Mereka menunduk-nunduk. Tidak berani.
"Kami tadi nggak dengar, jadi nggak terlalu paham." Ucap salah satunya.
Bahkan satu dua dari mereka sudah pergi. Cepat-cepat meninggalkan warung. Mereka takut, khawatir sebab Bu Sumi itu menyeramkan. Kalau mereka buka mulut, maka Bu Sumi akan mempersusah hidup mereka. Seperti tidak memberi suami mereka jatah pupuk subsidi dari pemerentah.
"Udah deh Mas Gilang, lupakan saja, toh ini cuma kesalahpahaman saja kok." Bu Sumi semakin merapatkan tubuhnya ke dekat Gilang.
Gilang bergeser.
"Udah tua, kecentilan. Ingat buk kades, itu suami orang! Main nempel-nempel aja!"
"Eh eh eh, kau ini ya Laras. Mas Gilang aja nggak protes, kok kau pula yang sewot."
Laras menggeram, wajahnya menatap nggak percaya kepada Bu Kades yang ke pedean.
"Whattt?? Jelas-jelas mas Gilang terlihat risih!"
Gilang hendak tertawa, ia lucu melihat wajah Laras yang kayak buah mengkal. Tapi Gilang nggak mau memperpanjang masalah ini. Ia semakin bergeser menjauh.
Tapi Bu Kades malah ikut bergeser.
Melihat itu Gilang menggaruk-garuk kepalanya yang nggak gatal. Susah emang kalau sudah berhadapan dengan Bu Kades satu ini. Dari dulu hingga sekarang sikap keganjenannya nggak berubah.
Laras semakin esmosi melihat suami dari sahabatnya itu jadi korban kegatelan.
Laras pun menarik tangan bu Kades dengan kuat. Seketika itu pula kepala Bu Sumi terhunyung kebelakang.
Bu kades yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan itu gegas langsung membalas. Ia maju dua langkah dan langsung menggebuk Laras.
"Dasar bocah, kurang ajar!! Kau kira aku siapa hah?!"
"Nenek LAMPIR, GILA!!" Balas Laras.
Adegan perkelahian tidak bisa dielakkan. Kali ini mereka nggak main jambak-jambak lagi. Mereka berkelahi adu jotos.
Tinju-tinjuan.
Laras menjadi-jadi, jika tadi dia kalah dalam adu jambak, sekarang saatnya ia membalas dendam. Ia mengepalkan tangan, meninju dengan membabi-buta.
Gilang berusaha melerai keduanya. Tetapi keduanya sudah sama-sama emosi, sama-sama ngotot tidak ingin berhenti.
Bug!
Satu tinju Laras lolos mengenai wajah bu Sumi.
Hingga beberapa saat keributan itu memicu datangnya beberapa laki-laki dewasa, salah satunya adalah pak kades, suami bu Sumi.
"Udah ma, udah! Bikin malu saja, ayo pulang." Ucap Pak Kades. Ia dan beberapa yang lainnya berusaha memisahkan mereka.
Bu Sumi menggeram, rambutnya awut-awutan, matanya lebam sebelah.
"Lepaskan! Aku mau kasih pelajaran sama ini bocah!"
"Sini kau! Maju! Nenek peyot nenek lampir genderuwo!!" Balas Laras.
Dua orang dewasa lain yang kebetulan lewat ikut melerai.
Akhirnya berhasil dipisahkan. Tapi..
Lingkar mata Bu Sumi sudah lebam.
Pelipisnya berdarah.
"Dasar perempuan gila! Perawan tua! Gak laku! Sini kau! Kupatahkan lehermu!" Bu Sumi masih murka.
Laras juga masih tersulut emosinya. Ia meronta hendak melepaskan diri. Tapi, kaum bapak-bapak sudah menahannya agar berhenti.
"Nenek peyot, nenek sihir! Siapa yang nggak laku? Hah? 20 laki-laki bisa kudapatkan dalam sehari, termasuk pak kades!" Balas Laras.
"APA! Kau mau laki-laki ini? Nih AMBIL SAJA! GRATIS!" Jawab Bu Sumi yang membuat orang-orang disana menggaruk-garuk kepala, canggung, hendak tertawa, tapi yang ada di sana adalah pak kades.
Tawa mereka tertahan.
Pak kades menelan ludah. Wajahnya memerah dan kumisnya terangkat.
"Ma, jangan gitu dong, gini-gini aku masih punya harga diri." Protes pak kades nggak terima digituin oleh istrinya. Apalagi di tempat umum seperti ini.
"Udah, diem aja! Nggak usah ikut campur."
"Eh nenek peyot, siapa juga yang mau sama pak kades? Aku udah punya pacar, orang kota."
Mata Bu Kades membulat, "Nggak mungkin, kau pasti pake pelet, ya kan?"
"Pelet ndasmu! Aku itu cantik, putih, bahenol. Nggak kayak kau, udah tua, jelek, dasar mak lampir!"
Bu Sumi meradang, ia pun berusaha meronta, tapi pak kades dan yang lain sekuat tenaga menahan.
Laras juga demikian, dipikirannya cuma ingin menelan bu Sumi hidup-hidup.
"Udah ras, udah! Cukup! Ayo kita pulang!" Gilang yang merasa keadaan kembali memanas menariknya.
Pak kades juga menyuruh istrinya pulang dengan paksa.
Keributan itu berhenti. Baik Laras maupun Bu Sumi sudah sama-sama ditarik.
Dari jauh, Bu Sumi masih nampak mengomel-ngomel. Sesekali ia memukul pak kades. Tapi pak kades nggak membalas, ia menarik lengan bu Sumi agar mengikuti langkahnya.
Diperjalanan Laras masih nggak terima.
"Mas Gilang, kok diam aja sih! Tuh kalian sedang di fitnah, mulut wanita itu harus dikasih pelajaran!"
Gilang tetap tenang, diam. Ia terus menarik lengan Laras hingga sampai ke rumah.
Di rumah alangkah terkejutnya Maya melihat suaminya dan Laras datang berdua. Apalagi saat melihat pelipis Laras yang berdarah.
"Ya ampun Ras, kau kenapa? Main tinju?"
Maya buru-buru mengambil kain basah dan alat-alat pertanian, eh maksudnya alat p3k.
Maya membersihkan luka Laras sambil mendengar penjelasan panjang lebar.
Laras menceritakan semuanya. Gilang ikut mendengarkan dengan seksama.
"Dasar mak lampir!" Gerutu Maya ikut-ikutan emosi.
"Iya May, kita harus beri pelajaran itu orang!" Sambung Laras.
"Udah-udah, biarin aja. Semua orang udah tahu kebenarannya. Mereka nggak bakal percaya sama bu Sumi." Gilang menenangkan.
Maya dan Laras diam, meski hati mereka memanas.
"Tapi, ini bukan soal benar atau tidak Bang, ini tentang harga diri kita!" Jawan Maya kemudian.
Gilang mengangguk, setengah setuju. Tapi ia nggak mau perpanjang masalah.
"Biarkan saja May, nggak akan ada yang percaya."
Maya masih jengkel, apalagi Laras. Tapi mereka tidak berani membantah apa yang dikatakan oleh Gilang yang ganteng.
A view days later..
Buntut dari fitnah yang dilakukan oleh Bu Sumi memang tidak serius. Tidak ada yang tertarik membahasnya. Mereka tahu kalau Bu Sumi kelakuannya kadang diluar angkasa.
Tapi, ada seseorang yang tertarik dengan gosip murahan itu.
Mirna!
Adik ipar Maya.
Meski baru dapat transferan jatah dari Maya, Mirna sama sekali tidak merasa berhutang budi. Malah merasa Maya lah yang berhutang padanya. Ada sesuatu yang mengusik ketenangan batinnya, ketentraman jiwa raganya, serta membuatnya nggak bisa tidur dengan nyenyak. Apalagi sekarang Maya sudah mendapat perhatian dari ibu mereka. Maya sudah dianggap menantu yang baik budi, penuh perhatian dan menantu idaman. Tidak seperti dulu lagi.
Pagi-pagi, setelah Gilang berangkat kerja dan Sari berangkat sekolah Mirna datang ke rumah Maya. Maya sedang bersiap menuju ladang harapan.
"Kak May."
Mirna diambang pintu, berdiri. Ia menatap sekeliling rumah Maya dengan mata penuh curiga.
"Mirna? Ada apa? Kok pagi-pagi udah nongol kayak tukang sayur keliling?" Jawab Maya.
Mirna terus menatap bagian dalam rumah Maya, mencari sesuatu. Matanya jeli menatap setiap sudut.
"Ada apa? Ada sesuatu yang mengusik ketenangan jiwamu lagi?" Tanya Maya lagi. Ia tahu tahu kelakuan Mirna kadang sering diluar logika dan akal sehat. Sebab itu Maya harus memperlakukannya dengan cara diluar nurul.
"Kak May, aku boleh ikutan nggak?"
Mata Maya memicing, bingung dan tidak mengerti angin apa yang membuat adik iparnya berkata demikian.
"Maksudnya? Kau mau ikut ke ladang? Emang nggak takut sama matahari? Sama panas? Nanti kulitmu gelap, bekoreng. Beli skincare itu mahal Mir."
"Bukan itu kak May, ihh! Kakak pura-pura bodoh atau betulan bodoh sih? Oh ya, maaf aku lupa. Kakak kan nggak tamat SMA." Ucap Mirna santai. Seakan ucapannya itu seperti angin yang berhembus, seperti kotoran yang mengalir di kali, biasa saja.
"Eh Mir, jangan ngajak ribut-ribut ya. Aku emang nggak tamat, tapi bukan berarti aku bodoh?"
"Udah deh kak, bodoh ya bodoh, aku cuma ingin ikut kakak aja."
"Sedari tadi aku udah nanya SETAN, kau itu mau ikut apa?" Maya jengkel, kata-kata mutiara yang selalu jadi andalannya ketika kesal pun keluar.
Mirna nggak marah, ia tidak tersinggung dikatai setan. Ia sudah terbiasa dengan itu.
"Jadi begini, aku dengar kakak punya pesugihan. Jadi..."
"STOP!" Potong Maya.