NovelToon NovelToon
Dia Dan 14 Tahun Lalu

Dia Dan 14 Tahun Lalu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Enemy to Lovers / Cintapertama / Romantis / Romansa / TimeTravel
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Spam Pink

ini adalah perjalanan hidup clara sejak ia berumur 5 tahun membawanya bertemu pada cinta sejatinya sejak ia berada di bangku tk, dan reymon sosok pria yang akan membawa perubahan besar dalam hidup clara. namun perjalanan cinta mereka tidak berjalan dengan mulus, akankah cinta itu mempertemukan mereka kembali.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Spam Pink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 14

beberapa hari kemudian , kehidupan Clara tampak kembali normal setidaknya di permukaan. Ia kembali bercanda dengan teman-temannya, mengerjakan tugas seperti biasa, dan sesekali video call dengan Reymon. Hubungan mereka terasa lebih jujur dari sebelumnya, meski masih penuh kerinduan karena jarak kota yang memisahkan.

Namun satu sore, ketika Clara pulang sekolah, ibunya memanggil dari ruang makan.

“Clara, sini sebentar. Ibu mau ngomong sesuatu.”

Clara duduk berhadapan dengan ibunya, memandang wajah yang tampak serius itu dengan bingung.

“Ada apa, Bu?”

Ibu tersenyum kecil, namun matanya menunjukkan bahwa berita ini penting.

“Mulai bulan depan, kita harus pindah ke kota Banyaloka. Ayahmu dapat promosi di kantor pusat. Kita akan tinggal di sana setidaknya beberapa tahun.”

Clara tertegun. “Pindah… lagi? Tapi Bu, sekolah aku—teman-teman aku—”

“Kamu masih bisa transfer sekolah. Ibu tahu ini berat. Tapi tugas ayah memang mengharuskan pindah.”

Clara merasakan dadanya mengencang. Ia menatap meja, mencoba memahami apa yang baru didengarnya.

Pindah. Ke kota lain. Lebih jauh dari kota tempat Reymon tinggal sekarang.

Malam itu, Clara duduk di tempat tidur sambil memandang layar ponselnya. Ia tahu ia harus memberi tahu Reymon. Tapi ia masih menunda sampai akhirnya ia mengetik pesan.

Clara: “Rey, aku boleh bilang sesuatu? Penting.”

Balasan datang cukup cepat.

Reymon: “Boleh, Clara. Kamu bikin aku deg-degan. Ada apa?”

Clara menarik napas pendek lalu mengetik.

Clara: “Rey… aku harus pindah. Bulan depan.”

Reymon tidak langsung membalas. Titik-titik penanda ia sedang mengetik muncul dan hilang beberapa kali.

Akhirnya pesan itu masuk.

Reymon: “Pindah kemana?”

Clara: “Banyaloka. Kota yang lebih jauh dari kamu…”

Reymon kembali terdiam sebelum mengirim pesan panjang.

Reymon: “Clara, kita ini aja sudah jauh. Dan sekarang kamu tambah jauh lagi? Kamu tahu kan aku lagi susah banget adaptasi di sekolah baruku. Dan sekarang kamu mau pindah lagi?”

Clara menggigit bibir. “Rey, ini bukan keinginanku. Aku juga berat. Tapi aku gak bisa nolak keputusan orang tuaku…”

Reymon: “Tapi kamu bahkan gak sounding dulu. Kamu nunggu semuanya fix baru bilang ke aku.”

Clara menghela napas. “Maaf, Rey. Aku cuma… takut ngeliat reaksi kamu.”

Reymon: “Ya kamu lihat kan sekarang? Aku gak suka ini, Clara.”

Clara menatap layar ponselnya tanpa mengirim balasan. Kata-kata Reymon seperti duri yang menusuk hati.

Malam itu mereka berdua tidur tanpa pesan penutup seperti biasanya.

Seminggu Tanpa Suara

Hari-hari berikutnya terasa aneh. Reymon jarang membalas pesan. Kadang hanya “Oke.” atau “Hmm.”

Kadang tidak membalas sama sekali.

Clara berusaha menghubunginya:

Clara: “Rey, kamu sibuk ya?”

— Tidak dibaca.

Clara: “Aku tau kamu mungkin belum bisa nerima, tapi aku kangen ngobrol. Boleh kita call bentar?”

— Centang dua, tidak biru.

Clara: “Rey?”

— Tidak dibalas.

Hari pertama, Clara mencoba maklum.

Hari kedua, ia mulai cemas.

Hari kelima, ia menangis.

Hari ketujuh, ia menyerah.

Ia mematikan data seluler dan menutup ponsel, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara di atas bantal.

“Kenapa semua harus serumit ini…” bisiknya.

Namun pada hari kedelapan, sebuah pesan masuk ketika ia baru pulang sekolah.

Reymon: “Clara, maaf. Aku butuh waktu buat mikir. Aku cuma takut kehilangan kamu. Aku kangen.”

Clara terpaku sejenak sebelum air matanya jatuh lagi — kali ini karena lega.

Clara: “Aku juga kangen. Dan aku gak kemana-mana, Rey.”

Reymon: “Aku sayang sama kamu. Pindah atau enggak, aku masih mau sama kamu.”

Clara tersenyum meski matanya sembab.

Mereka melakukan panggilan video malam itu.

Meski terbata, hubungan itu kembali terjalin.

Sebulan Kemudian

Clara sudah mulai beradaptasi di Banyaloka. Sekolahnya lebih besar, kelasnya lebih ramai, dan jarak rumahnya lebih jauh. Tapi ia masih menyempatkan diri untuk menghubungi Reymon setiap malam.

Setidaknya pada awalnya.

Namun seiring waktu berjalan, Clara mulai menyadari bahwa Reymon semakin sulit dihubungi.

Awalnya hanya terlambat membalas.

Lalu semakin jarang.

Lalu akhirnya ia seperti tak punya waktu sama sekali.

Clara: “Rey, kamu lagi apa?”

Reymon (2 jam kemudian): “Belajar. Maaf.”

Clara: “Kapan kita telpon?”

Reymon (5 jam kemudian): “Kayaknya nggak bisa hari ini.”

Clara: “Kamu gak apa-apa?”

Reymon: “Aku fokus sama nilai dulu ya. Semester ini penting.”

Hari demi hari terasa makin hambar. Clara berusaha mengerti. Ia tahu sekolah Reymon ketat. Ia tahu Reymon ingin mempertahankan prestasinya. Tapi ia juga tahu bahwa hubungan tak bisa hanya dipupuk satu orang.

Suatu malam, saat hujan turun deras membasahi halaman rumah barunya, Clara menunggu pesan balasan lebih dari dua jam. Ia menatap ponselnya yang sunyi.

Clara akhirnya mengetik:

Clara: “Rey, kamu masih sayang aku?”

Butuh 10 menit untuk mendapatkan balasan.

Reymon: “Clara… aku sayang. Tapi aku lagi banyak tekanan. Banyak tugas. Banyak target. Aku gak mau mengecewakan orang tua aku.”

Clara menggigit bibir. “Jadi aku beban buat kamu?”

Reymon: “Bukan begitu. Tapi… aku cuma gak bisa bagi fokus sekarang.”

Clara menatap pesan itu lama. Sangat lama.

Ia menulis, kemudian menghapus.

Menulis lagi, lalu menghapus lagi.

Akhirnya ia menulis satu pesan panjang.

Clara:

“Rey… hubungan kita sekarang bukan hubungan lagi. Aku selalu nunggu kamu. Aku selalu coba ngerti kamu. Tapi kamu bahkan gak sempat untuk sekadar nanya kabarku. Kita cuma ketemu lewat chat singkat seperti orang asing.

Kalau kamu sudah gak punya waktu buat aku… mungkin kita harus berhenti dulu.”

Kali ini balasan datang cepat. Sangat cepat.

Reymon: “Clara jangan. Kita masih bisa coba. Aku cuma tertekan.”

Clara meneteskan air mata.

Clara: “Aku juga tertekan, Rey. Tapi aku berusaha buat kita. Kamu enggak.”

Reymon: “Jadi kamu mau putus?”

Clara terdiam lama. Badai di luar jendela terasa seperti suasana hatinya sendiri.

Clara akhirnya membalas.

Clara: “Iya, Rey. Aku ingin kita berhenti dulu.”

Tidak ada balasan setelah itu.

Hanya keheningan yang menusuk seperti jarum dingin.

Clara menaruh ponselnya di meja, menangis dalam diam.

Hatinya pecah. Bukan karena ia tidak mencintai Reymon lagi — tapi karena ia masih terlalu mencintai seseorang yang bahkan tak punya waktu untuknya.

Beberapa Hari Setelahnya

Clara menjalani hari-harinya seperti bayangan dirinya sendiri.

Sekolah, pulang, makan, tidur.

Tanpa senyum.

Tanpa pesan.

Tanpa Reymon.

Teman-teman barunya mulai sadar.

“Clara, kamu gak apa-apa? Kok murung terus?”

Clara hanya menggeleng kecil, berusaha tersenyum.

Namun setiap malam sebelum tidur, ia masih membuka layar ponselnya — berharap Reymon mengirim pesan.

Tapi tidak ada.

Namun Cerita Belum Selesai

Suatu sore saat Clara duduk di taman belakang sekolah barunya, angin berembus pelan, membawa aroma daun basah. Ia baru saja selesai menulis di buku catatan kecilnya, mencoba mengalihkah pikiran dari Reymon yang terus menghantui benaknya, ketika ponselnya tiba-tiba bergetar.

Satu notifikasi.

Satu nama.

Yang sudah seminggu tak muncul.

Reymon.

Tangan Clara bergetar.

Ia membuka pesan itu.

Reymon:

“Clara, boleh aku bicara? Aku tahu aku yang salah. Tapi aku gak bisa pura-pura semuanya baik-baik saja tanpa kamu.”

Clara terdiam. Jantungnya berdegup cepat.

Angin di sekitarnya berhenti.

Waktu seolah membeku.

Ia belum membalas.

Belum tahu apa yang harus ia katakan.

Ia masih terluka. Masih marah. Masih rindu.

Reymon mengirim pesan lagi.

Reymon:

“Aku siap berubah, Clara. Tapi kalau kamu gak mau denger aku sekarang… aku akan nunggu.”

Clara menatap langit sore yang mulai memerah, hatinya bergejolak.

Ia tahu satu hal:

ini belum akhir.

Apapun yang terjadi selanjutnya, hubungan mereka belum usai.

Entah menuju perbaikan, atau luka yang lain.

Tapi cerita ini belum menemukan tujuannya.

Belum.

Dan Clara tahu, perjalanan mereka baru akan semakin rumit.

— Bersambung…

1
mindie
AAAAAA saltinggg bacanya😍😍🤭
Caramellmnisss: terimakasih kak☺️
total 1 replies
mindie
layak di rekomendasikan
Charolina Lina
novel ini bagus banget 👍🏻
Caramellmnisss: terimakasih kak😍🙏
total 1 replies
mindie
baguss bngt tidak sabar menenunggu updatetanny author🤩
Caramellmnisss
kami update tiap malam yah kak, jangan ketinggalan setiap eps nya yah☺️
Miu miu
Jangan lupa terus update ya, author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!