Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KINGSGUARDS : AYUNDA' LEADER OF MILITARY TRAINING CAMP
Fajar masih menyelimuti Kamp Pelatihan Sagara dengan selimut kabut pagi yang dingin. Di dalam tenda komando yang besar, Ayunda menyesap teh herbal panas dari cangkir porselennya. Peta yang tergantung di dinding—yang menunjukkan garis-garis kasar Benua Shirayuki Sakura—menyerap cahaya remang-remang dari lampu minyak di mejanya.
Ayunda, mengenakan seragam hitam yang rapi dan jubah panjangnya, menghela napas panjang. Pagi ini bukan tentang strategi peperangan besar, melainkan rutinitas pembentukan tulang punggung militer. Ia adalah pemimpin kamp ini, dan tanggung jawabnya adalah mengubah sekelompok pemuda dan pemudi yang bersemangat menjadi prajurit yang tangguh.
Setelah menghabiskan minumannya, Ayunda bangkit. Langkah kakinya yang berat dan mantap berdentum pelan di atas papan lantai kayu. Ia membetulkan ikat pinggang tempat belati terselip rapi, lalu melangkah keluar.
Udara pagi langsung menusuk kulitnya, namun Ayunda seolah tak terpengaruh. Di luar, siluet para rekrutan sudah terlihat berbaris di lapangan utama, menunggu instruksi. Beberapa tampak grogi, yang lain berusaha keras menampilkan ketegasan.
Ayunda berjalan menuju barisan dengan aura otoritas yang tenang, yang membuat keramaian seketika senyap.
"Pagi, Sagara!" serunya, suaranya lantang dan jelas tanpa perlu berteriak.
"Pagi, Komandan!" jawab para rekrutan serempak, walau terdengar sedikit canggung.
Ayunda mengangguk kecil. "Hari ini, kita lupakan pedang untuk sementara waktu. Fokus kita pada hal yang akan menyelamatkan nyawa kalian lebih sering daripada baja: Kesadaran Situasional dan Daya Tahan."
Ia menoleh ke arah seorang pemuda yang terlihat kelelahan di barisan depan. "Kamu, dengan lencana yang miring! Jelaskan, mengapa daya tahan lebih penting daripada serangan mematikan?"
Pemuda itu tergagap sejenak sebelum menjawab dengan keberanian yang terhambat, "I-itu, Komandan... karena jika kita tidak bertahan, kita tidak bisa menyerang lagi?"
Ayunda tersenyum tipis, senyum yang jarang ia tunjukkan dan tidak menjanjikan kemudahan. "Jawaban yang benar, tapi tidak lengkap. Jika kamu terlalu lelah untuk melihat jebakan, pedangmu hanyalah beban. Jika kamu tidak bisa bertahan selama tiga hari tanpa makanan layak dalam pelarian, kamu sudah mati sebelum musuh menemukanmu. Hari ini, kita berjalan kaki. Jaraknya dua puluh mil, dengan persediaan seadanya, dan setiap kalian harus kembali dengan panah yang dilepaskan secara efektif."
Terdengar beberapa tarikan napas kaget dari barisan. Dua puluh mil adalah jarak yang melelahkan bagi mereka yang belum terbiasa.
Seorang prajurit senior, yang bertugas sebagai kepala pelatih lapangan dan seorang pria bertubuh besar, menghampiri Ayunda. Ia membisikkan sesuatu yang khawatir.
Prajurit Senior: "Komandan, dua puluh mil dalam satu hari dengan medan yang kita pilih... Beberapa di antara mereka mungkin tidak akan sanggup. Mereka masih hijau."
Ayunda menoleh, matanya yang tajam memancarkan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Ayunda: "Justru itu tujuannya. Jika mereka tidak sanggup, mereka tidak layak berada di garis depan Benua Shirayuki Sakura. Tugasmu adalah memastikan mereka kembali dengan selamat, tapi mereka harus mendorong batas mereka. Ketika mereka berada di misi bersama R.I, atau menghadapi situasi sulit yang disiapkan Pemimpin Araya, mereka tidak akan punya pilihan selain melampaui batas ini. Kita harus menempa baja sekarang."
Prajurit senior itu mengerti, sebuah anggukan hormat diberikan sebelum ia berbalik untuk mulai memberi perintah.
Ayunda berjalan ke belakang barisan dan mengambil busur panjang yang tersandar di tenda. Ia mengambil beberapa anak panah dari tabung kulit di punggungnya, memutar dan memeriksa ujung-ujungnya dengan teliti.
Beberapa saat kemudian, ketika para rekrutan mulai bergerak meninggalkan kamp, Ayunda sudah berada di bukit terdekat, mengawasi pergerakan mereka. Ia tidak hanya mengawasi mereka, ia juga berlatih. Busurnya ditarik dengan kekuatan luar biasa, menargetkan batang pohon di kejauhan.
Plak! Anak panah itu menancap tepat di tengah sasaran.
Ayunda menarik napas perlahan. Hari-hari seperti ini—melatih, mengawasi, memastikan setiap prajurit memahami bahwa mereka adalah benteng pertama pertahanan—adalah dasar yang penting. Namun, ia tahu betul, tak lama lagi ia akan dipanggil untuk misi yang lebih sunyi dan berisiko. Misi yang melibatkan pergerakan cepat dan bisikan strategis dengan Seniornya, R.I.
Mengingat R.I. membuatnya menarik cangkir kecil di dadanya yang berisi lencana kecil berukir singa. Ia memejamkan mata sesaat, mengingatkan dirinya pada tanggung jawabnya yang lebih besar.
'Tuan Putri harus tenang dan fokus pada misinya,' pikir Ayunda. 'Dan tugasku adalah memastikan semua fondasi di sini kuat sebelum aku pergi mendampinginya.'
Ia melepaskan satu panah lagi, targetnya hampir tak terlihat oleh mata telanjang.
Plak! Kena.
Ayunda menyeringai puas. Persiapan tidak pernah sia-sia. Baik dalam memimpin kamp atau melayani kepemimpinan Benua. Hari masih panjang, dan setiap jam adalah kesempatan untuk menjadi lebih kuat.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sinar matahari pagi yang keras menerobos celah-celah tenda kamp militer, membangunkan Ayunda. Ia sudah duduk di kursinya, seragam hitamnya sudah terpasang sempurna—seolah ia tidur dalam keadaan siap tempur. Di atas meja, segelas air jernih dan setumpuk laporan menunggu. Namun, prioritasnya pagi ini bukan tinta dan kertas, melainkan suara gesekan pedang dan tarikan busur.
Ayunda menghabiskan airnya dalam satu tegukan. Ia adalah komandan, pemimpin kamp pelatihan, dan ia tahu betul disiplin dimulai dari dirinya sendiri.
Ketika Ayunda melangkah keluar, udara dingin menghantamnya, namun panas dari aktivitas sudah mulai terasa di lapangan. Para rekrutan muda sudah memulai latihan pagi mereka. Ia berjalan ke arah area pemanah, di mana beberapa anak panah meleset jauh dari sasaran.
Seorang perwira pelatih, bertubuh kecil namun gesit, menyambutnya dengan hormat.
Perwira Pelatih: "Komandan. Mereka sudah berlatih sejak fajar. Kebanyakan dari mereka masih kesulitan mempertahankan kuda-kuda yang benar."
Ayunda mengamati seorang pemuda yang tampak frustrasi setelah anak panahnya hanya mengenai udara.
Ayunda: "Kuda-kuda yang salah menghasilkan tenaga yang terbuang. Mereka harus belajar bahwa busur bukanlah tentang otot, melainkan tentang keseimbangan dan fokus. Busur adalah perpanjangan pikiran. Kumpulkan mereka."
Perwira itu memberi perintah, dan beberapa rekrutan berkumpul mengelilingi Ayunda.
Ayunda: "Kalian lihat musuh di depan sana?" Ia menunjuk ke sasaran. "Bukan! Kalian hanya melihat sepotong kayu. Musuh kalian adalah ketidakpastian. Kalian harus membayangkan pergerakannya, napasnya, kelemahannya. Sekarang, tarik busur kalian."
Mereka semua menarik tali busur. Ayunda berjalan di antara mereka, matanya tajam mengamati setiap detail.
Ayunda: "Lengan ditekuk sedikit... Tidak, itu terlalu kaku. Santai! Jika kalian tegang seperti itu, panah kalian akan mengikuti ketegangan itu." Ia berhenti di depan seorang rekrut wanita. "Bagus. Kamu sudah mendapatkan bentuknya. Sekarang, lepaskan napas saat kamu melepaskan tali busur."
Rekrut wanita itu mengikuti instruksinya, dan Jlep! Panahnya menancap lebih dekat ke sasaran daripada yang lain.
Ayunda: "Itu hasilnya. Keberhasilan adalah hasil dari pengendalian diri, bukan kemarahan atau kegembiraan."
Ia menoleh ke perwira pelatih. "Pastikan mereka berlatih hingga jari mereka melepuh, dan kemudian, mereka harus terus berlatih. Kita tidak membutuhkan pemanah yang baik, kita membutuhkan pemanah yang tidak pernah meleset. Malam ini, kita mulai latihan navigasi di kegelapan. Mereka harus bisa mengidentifikasi jalan hanya dari bau dan suara. Persiapkan tim pengawasan."
Perwira Pelatih: "Akan dilaksanakan, Komandan."
Ayunda berjalan menjauh, meninggalkan area pemanah untuk bergerak ke tempat latihan pertahanan diri. Ia memimpin kamp pelatihan ini atas nama kepercayaan tinggi yang diberikan oleh Pemimpin Tertinggi dan untuk memastikan Seniornya memiliki dukungan terbaik ketika misi tingkat tinggi tiba.
Hari itu, Ayunda menghabiskan waktu di tengah lumpur, debu, dan teriakan, membimbing, menegur, dan terkadang, memberikan kata-kata motivasi yang dingin dan tajam. Ia melatih mereka untuk bertahan hidup dalam segala cuaca, dan untuk selalu berhati-hati terhadap lingkungan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Matahari sudah lama tenggelam, digantikan oleh bulan perak di langit Benua Shirayuki Sakura. Kamp akhirnya sunyi, hanya suara kayu bakar yang pecah dan sesekali langkah kaki penjaga yang terdengar.
Di dalam tenda komandonya, Ayunda akhirnya duduk. Ia telah menanggalkan jubah beratnya, hanya mengenakan seragam gelapnya yang ramping. Lampu minyak di mejanya memancarkan cahaya hangat, menyorot peta kuno di dinding dan tumpukan buku tebal di rak.
Seorang ajudan senior, seorang wanita muda yang tampak selalu siap, membawakan cangkir keramik yang mengepul.
Ajudan: "Komandan. Kopi herbal favorit Anda. Campuran yang sama, dengan sedikit kayu manis untuk relaksasi otot."
Ayunda mengangguk, menerima cangkir itu. Aromanya langsung memenuhi tenda, berbeda dengan bau keringat dan debu yang mendominasi harinya.
Ayunda: "Terima kasih. Bagaimana dengan latihan malam? Ada laporan tentang yang terluka serius?"
Ajudan: "Tidak ada yang serius, Komandan. Beberapa pergelangan kaki terkilir karena kurangnya kewaspadaan, dan satu orang tersesat selama hampir satu jam. Tapi mereka semua kembali. Tingkat kesuksesan melampaui harapan kita."
Ayunda menyesap kopi herbalnya, rasa hangat dan sedikit pahit menyentuh lidahnya. Ia memejamkan mata sesaat, menikmati ketenangan setelah kekacauan yang terkendali.
Ayunda: "Itu bagus. Mereka mulai memahami. Beri tahu para pelatih, besok, lupakan serangan. Fokus utama kita adalah pada Penyamaran dan Pelarian Taktis. Tujuannya adalah tidak tertangkap, bukan membunuh."
Ajudan: "Dicatat, Komandan. Anda beristirahatlah. Besok akan sama beratnya."
Ajudan itu memberi hormat dan keluar dari tenda, meninggalkan Ayunda sendirian.
Ayunda mencondongkan tubuh ke belakang, membiarkan punggungnya bersandar di kursi. Ia menatap peta di dinding. Peta itu terlihat damai, namun ia tahu setiap garis, setiap gunung, setiap sungai, adalah potensi medan pertempuran.
...
...
Sambil menikmati kopi panasnya, Ayunda teringat pesan dari Seniornya yang ia terima beberapa hari lalu—sebuah isyarat bahwa sebentar lagi ia akan dibutuhkan. Ia adalah pemimpin di sini, tetapi ia juga pendukung utama dalam misi-misi rahasia.
Ia menarik napas panjang. Pelatihan adalah segalanya. Malam ini, ia menikmati kopi. Besok, ia kembali menempa para prajurit untuk pertahanan Benua Shirayuki Sakura. Ketenangan ini hanyalah selingan yang singkat, namun penting untuk menyambut hari-hari penuh tantangan di depan.