Semua orang mengira Zayan adalah anak tunggal. Namun nyatanya dia punya saudara kembar bernama Zidan. Saudara yang sengaja disembunyikan dari dunia karena dirinya berbeda.
Sampai suatu hari Zidan mendadak disuruh menjadi pewaris dan menggantikan posisi Zayan!
Perang antar saudara lantas dimulai. Hingga kesepakatan antar Zidan dan Zayan muncul ketika sebuah kejadian tak terduga menimpa mereka. Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 14 - Keputusan Zidan
"Aku bersedia, Ayah. Aku mau menjadi bagian keluarga Nugroho." Setelah berpikir cukup lama, Zidan akhirnya membuat keputusan. Ia juga akan mencoba membiasakan diri memanggil Jefri dengan sebutan ayah.
"Benarkah? Itu keputusan tepat, Nak! Terima kasih." Jefri senang bukan kepalang. Ia langsung memeluk Zidan.
Semenjak dekat dengan Zidan, Jefri jarang pulang ke rumah. Fokusnya memang adalah membangun hubungan baik dengan Zidan. Sebelum membawa Zidan ke rumah keluarga Nugroho, Jefri juga berniat menyiapkan banyak hal. Terutama terkait Zidan. Ia membawa lelaki itu ke villa pribadinya di puncak.
Langit sore di vila keluarga Nugroho tampak tenang, tapi hati Zidan justru bergejolak. Ia duduk di teras belakang, menatap kolam ikan koi yang berkilau diterpa sinar matahari. Suara air mancur kecil seakan menenangkan, namun pikirannya tetap berputar pada satu hal, keputusan besar yang baru saja ia ambil.
Zidan sudah resmi menjadi bagian dari keluarga Nugroho. Bukan sekadar tamu atau orang asing yang dikasihani, tapi anak yang diakui oleh Jefri, ayah kandungnya sendiri. Kalimat itu masih terasa asing di telinganya, ayah kandung. Setelah bertahun-tahun hidup sebagai pawang binatang di pelosok, tiba-tiba ia punya tempat yang disebut keluarga.
Ketika Jefri datang menghampiri sore itu, Zidan masih belum terbiasa dengan caranya memanggil. “Zidan, Nak, boleh aku bicara sebentar?”
Nada suaranya tenang, tapi juga penuh harap. Zidan menoleh, lalu mengangguk.
“Tentu.”
Jefri duduk di sampingnya, mengenakan kemeja santai berwarna krem. Wajahnya menua tapi teduh, dan di balik keriput di matanya, ada kasih yang tak lagi bisa disangkal.
“Aku tahu, jadi bagian dari keluarga ini mungkin nggak mudah buat kamu,” ucap Jefri pelan. “Tapi aku janji, nggak akan ada perbedaan antara kamu dan Zayan. Kalian berdua tetap anakku.”
Zidan menunduk, jantungnya terasa berat. “Aku nggak minta banyak. Aku cuma pengin hidup tenang, dan… mungkin, mulai belajar jadi anak yang nggak malu sama masa lalunya.”
Jefri tersenyum. “Itu permintaan yang indah, Zidan. Dan aku punya satu hal lagi buat bantu kamu mulai dari awal.”
Zidan menatap heran. “Apa itu?”
Jefri menarik napas dalam, lalu mengeluarkan sebuah map berlogo rumah sakit dari Jepang. “Aku sudah hubungi dokter di Tokyo. Mereka punya teknologi prostetik paling canggih di Asia. Aku mau kamu pasang tangan baru, Nak.”
Zidan membeku. Pandangannya jatuh ke tangan kirinya, atau lebih tepatnya tangan buntungnya.
“Ayah… aku udah terbiasa begini,” gumamnya. “Aku bisa kerja di kebun binatang, bisa makan sendiri, bisa hidup tanpa tangan kiri. Aku nggak butuh itu.”
Jefri menggeleng lembut. “Aku tahu kamu bisa bertahan. Tapi kamu berhak untuk hidup lebih dari sekadar bertahan.”
Ia menatap Zidan penuh keyakinan. “Kau pantas merasa lengkap lagi, bukan karena logam atau mesin, tapi karena aku ingin kau percaya, tubuhmu, hidupmu, semuanya masih bisa disembuhkan.”
Kata-kata itu menghantam Zidan tepat di dada. Ia menatap ayahnya lama, lalu menghela napas panjang.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku akan coba.”
Dua minggu kemudian, mereka berangkat ke Jepang.
Pesawat mendarat di Bandara Haneda dengan lembayung senja yang indah. Tokyo menyambut mereka dengan hiruk pikuk khas kota modern, lampu-lampu neon, aroma kopi, dan angin dingin yang menusuk kulit.
Jefri sudah menyiapkan segalanya. Mereka menuju Shinagawa Advanced Prosthetics Center, rumah sakit berteknologi tinggi dengan reputasi internasional. Bangunannya menjulang dengan dinding kaca biru dan tulisan Jepang di atasnya yang artinya “Harapan Baru.”
Begitu masuk, aroma antiseptik menyergap lembut. Perawat menyambut mereka dengan sopan, lalu mengantar ke ruang konsultasi. Di sana, seorang dokter paruh baya berkacamata menunduk hormat.
“Selamat datang, Tuan Nugroho,” katanya dalam bahasa Inggris beraksen Jepang. “Kami sudah menyiapkan model prostetik dengan teknologi neurosensor terbaru untuk putra Anda.”
Zidan hanya mengangguk. Tangannya yang tersisa ia letakkan di atas meja, jantungnya berdegup cepat.
Dokter menunjukkan gambar rancangan prostetik di layar, tangan logam dengan lapisan silikon lembut yang menyerupai kulit manusia. “Prostetik ini terhubung dengan saraf dan otot Anda melalui chip kecil yang akan kami tanam di bagian dalam. Setelah operasi, Anda akan menjalani latihan agar tangan ini merespons seperti anggota tubuh asli.”
Zidan menelan ludah. “Jadi aku bisa… menggenggam lagi?”
Dokter tersenyum. “Bukan hanya menggenggam, tapi juga merasakan tekanan. Bahkan suhu.”
Mata Zidan berkaca-kaca. Ia melirik Jefri yang duduk di sebelahnya, dan ayahnya hanya menatap dengan ekspresi yang tak bisa diuraikan antara bangga dan haru.
Hari operasi pun tiba.
Ruang operasi dingin dan berkilau putih. Zidan berbaring di ranjang dengan jantung berdebar. Lampu sorot menyinari wajahnya. Dokter dan tim medis berbicara cepat dalam bahasa Jepang yang tak sepenuhnya ia pahami.
Sebelum anestesi disuntikkan, Jefri menggenggam tangan kanannya. “Kau nggak sendiri, Zidan,” ucapnya lembut. “Aku di sini.”
Zidan tersenyum samar. “Terima kasih, Ayah… untuk semuanya.”
Lalu pandangannya mulai kabur.
Orang yang menggunakan atau melakukan sesuatu yg direncanakan untuk berbuat keburukan/mencelakai namun mengena kepada dirinya sendiri.
Tidak perlu malu untuk mengakui sebuah kebenaran yg selama ini disembunyikan.
Menyampaikan kebenaran tidak hanya mencakup teguh pada kebenaran anda, tetapi juga membantu orang lain mendengar inti dari apa yang anda katakan.
Menyampaikan kebenaran adalah cara ampuh untuk mengomunikasikan kebutuhan dan nilai-nilai anda kepada orang lain, sekaligus menjaga keterbukaan dan keanggunan.
Mempublikasikan kebenaran penting untuk membendung berkembangnya informasi palsu yang menyesatkan lalu dianggap benar.
Amarah ibarat api, jika terkendali ia bisa menghangatkan dan menerangi. Tapi jika dibiarkan, ia bisa membakar habis segalanya termasuk hubungan, kepercayaan, bahkan masa depan kita sendiri...😡🤬🔥
Kita semua pernah marah. Itu wajar, karena marah adalah bagian dari sifat manusia.
Tapi yang membedakan manusia biasa dengan manusia hebat bukanlah apakah ia pernah marah, melainkan bagaimana ia mengendalikan amarah itu.
Alam semesta memiliki caranya sendiri untuk menyeimbangkan segala hal.
Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai.
Prinsip ini mengajarkan kita bahwa tindakan buruk atau ketidakadilan akan mendapatkan balasannya sendiri, tanpa perlu kita campur tangan dengan rasa dendam..☺️
Meluluhkan hati seseorang yang keras atau sulit diajak berdamai adalah tantangan yang sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Baik dalam hubungan keluarga, pertemanan, maupun pekerjaan.
Meluluhkan hati seseorang adalah usaha yang harus diiringi dengan kesabaran, doa, dan perbuatan baik. Serahkan segala urusan kepada Allah SWT karena hanya Dia yang mampu membolak-balikkan hati manusia.
Jangan lupa untuk selalu bersikap ikhlas dan terus berbuat baik kepada orang yang bersangkutan.
Karena kebaikan adalah kunci untuk meluluhkan hati manusia.