“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Bel istirahat bergema di seluruh penjuru sekolah, memecah kebekuan jam pelajaran terakhir. Para siswa berhamburan dari kelas, sebagian menuju kantin, sebagian lain ke lapangan atau tempat-tempat favorit mereka untuk bersantai. Suara langkah kaki dan tawa bersahutan, mengisi udara dengan semangat remaja.
Namun di belakang gedung sekolah, tempat yang jauh dari keramaian, seorang siswa duduk membisu di bangku panjang.
Elang.
Wajahnya muram, tatapannya kosong menatap rerumputan di bawah kakinya. Biasanya, di jam seperti ini, Nayla akan datang menghampirinya, duduk di sampingnya dengan senyum lembut dan bekal sederhana di tangan. Tapi hari ini, bangku itu kosong.
Dan hatinya... terasa kosong pula.
Rasa kecewa masih menusuk-nusuk dadanya. Foto itu. yang menyebar seperti virus. telah menghancurkan kepercayaan yang selama ini ia bangun terhadap Nayla. Tapi di balik kemarahan, ada yang lebih kuat: rindu. Kosongnya bangku di sampingnya adalah bukti betapa kehadiran Nayla berarti lebih dari sekadar rutinitas.
Tiba-tiba, suara langkah pelan menghampiri.
Seseorang duduk di sampingnya dengan hati-hati, lalu menyodorkan sebotol minuman dingin ke arahnya.
“Panas, ya?” suara itu lembut, penuh perhatian.
Elang menoleh perlahan, dan mendapati Mira, sahabat Nayla yang dikenal pendiam tapi selalu terlihat anggun. Ia mengangkat alis, sedikit terkejut.
“Minumlah,” ucap Mira lagi, tersenyum kecil. “Kamu kelihatan... capek.”
Elang tidak menyentuh botol itu, namun tak menolak kehadirannya. Ia hanya kembali memandang ke depan.
Mira tetap duduk di sampingnya, tidak beranjak, tidak banyak bicara. Ia tahu, diam bisa menjadi bentuk simpati terbaik.
Beberapa detik kemudian, ia membuka suara lagi, pelan.
“Elang... aku tahu kamu pasti marah. Bingung juga. Jujur, aku pun kaget waktu lihat foto itu.”
Nada suaranya sangat tenang, seperti seseorang yang bicara karena benar-benar peduli, bukan ingin ikut campur.
“Tapi aku juga percaya, Nayla bukan tipe orang yang melakukan hal seperti itu tanpa alasan.”
Elang menoleh, tak berkata apa-apa, tapi kini tatapannya sedikit melunak.
“Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku percaya... semua orang pasti punya alasan saat mereka melakukan sesuatu yang kita sendiri nggak bisa pahami.”
Mira menunduk, menggenggam botol minuman yang ia sodorkan tadi.
“Kamu tahu, Nayla itu... selalu tampak kuat. Tapi kadang, orang-orang kuat itu justru yang paling hancur di dalam. Mereka cuma nggak pernah bicara.”
Ia menatap Elang dengan sorot seolah-olah dia benar-benar peduli. Namun di balik tutur lembut itu, hatinya sedang mengukur reaksi. Ia ingin terlihat sebagai orang yang penuh pengertian. Ia ingin Elang mulai melihatnya sebagai tempat bersandar yang baru. Bukan Nayla.
Dan untuk pertama kalinya sejak pagi itu, Elang mengangguk kecil. Ia tidak lagi membisu penuh amarah. Matanya kini menatap Mira... dengan tatapan yang perlahan meluruhkan dinding kecewanya.
“Kamu... perhatian juga, ya,” gumam Elang pelan.
Mira tersenyum tipis, menatap lurus ke depan. “Bukan perhatian. Aku cuma... ingin kamu nggak terlalu keras pada dirimu sendiri. Atau pada Nayla.”
Sejak hari itu, sesuatu berubah.
Elang mulai lebih sering berbicara dengan Mira. Bukan karena ia langsung berpaling dari Nayla, tapi karena Mira selalu hadir di saat ia hancur. Mira tak menggantikan posisi Nayla, namun menjadi pelipur luka yang sementara.
Mereka sering terlihat duduk bersama di bangku belakang sekolah. Kadang hanya berbicara ringan, kadang saling diam. Mira pandai memainkan perannya. tak terlalu agresif, namun cukup hangat untuk membuat Elang nyaman. Ia tidak pernah menyentuh luka Elang secara langsung, tapi hadir sebagai penenang sunyi.
Dan itu cukup membuat Mira bahagia.
Langkah awalnya berhasil.
Kini, ia telah menanam benih di hati Elang. Ia tahu, jika ia terus sabar, terus menunjukkan bahwa dirinya ada… maka cepat atau lambat, Elang akan benar-benar berpaling. Bukan hanya sebagai teman bicara.
Tapi sebagai seseorang yang baru… yang akan menatapnya, bukan Nayla.
“Perlahan… tapi pasti,” batin Mira sambil menatap Elang yang tengah tertawa kecil atas celetukannya.
“Aku akan menggantikan tempatnya.”
...
Hari Ketiga Skorsing.
Langit baru saja berganti warna saat Nayla keluar dari rumah. Ia mengenakan seragam sekolah seperti biasa, menyampirkan tas di pundak, dan melangkah sambil tersenyum kecil kepada ibunya yang sedang menyiapkan sarapan. Semua ia lakukan agar sang ibu tidak menaruh curiga padanya.
“Jangan lupa makan siang, ya, Nak,” ujar sang ibu lembut sambil membungkuskan roti isi ke dalam kantong plastik.
“Iya, Bu. Nayla berangkat dulu,” balasnya, mencoba terdengar ringan.
Padahal langkahnya berat.
Karena ia tidak benar-benar pergi ke sekolah.
Setiap pagi, Nayla berbelok di ujung jalan, lalu berjalan menyusuri jalur setapak yang menuju ke sebuah pohon besar di belakang sekolah. cukup jauh untuk tak terlihat, tapi cukup dekat untuk melihat aktivitas sekolah dari kejauhan.
Di situlah ia duduk setiap hari, sendiri, bersandar pada batang pohon tua dengan daun-daun berguguran menimpa bahunya. Ia duduk diam, mengamati para siswa dari kejauhan, melihat hiruk-pikuk yang dulu adalah dunianya.
Tapi yang paling menyiksa bukanlah kesendirian itu…
Melainkan sosok Elang dan Mira.
Dari balik semak, Nayla bisa melihat keduanya sering duduk bersama di bangku belakang sekolah. Kadang mereka bicara. Kadang tertawa. Kadang Elang terlihat membetulkan rambut Mira yang tertiup angin.
Dada Nayla terasa sesak.
Ia tak tahu harus merasa apa. Cemburu? Tapi apakah ia pantas cemburu? Sedangkan tubuh dan martabatnya sendiri sudah dikorbankan demi menyambung hidup. Ia bahkan telah menjual harga dirinya… kepada kakak Elang sendiri.
Air mata menggenang di matanya.
Namun tiba-tiba, sesuatu mencuat di pikirannya.
Malam itu. Di ruangan karaoke itu. Saat ia duduk dengan pria-pria dewasa. Ia teringat… ia tidak sendiri.
Mira juga ada di sana.
Mereka berdua duduk berdampingan. Minuman berderet di meja. Musik keras berdentum.
Tapi… mengapa hanya fotoku yang tersebar?
Mengapa hanya aku yang dijadikan bahan cemooh?
Perlahan, tubuh Nayla menegang.
"Jangan-jangan…" bisiknya lirih. "Mira…"
Ia memejamkan mata, napasnya tercekat.
“Aku harus bicara dengannya. Ini tidak bisa dibiarkan.”
...
Sore hari.
Bel pulang sekolah berdentang nyaring. Gerbang depan mulai dipadati murid-murid yang keluar berbondong-bondong. Beberapa tertawa, beberapa mengeluh soal PR, dan sebagian sibuk dengan ponsel mereka.
Di seberang jalan, Nayla berdiri. Tidak lagi bersembunyi. Wajahnya tegas, langkahnya mantap, dan matanya tak lagi bersembunyi di balik keraguan.
Lalu dia melihatnya…
Mira.
Berjalan santai bersama tiga temannya, tertawa kecil sembari memainkan rambutnya. Gadis itu tampak begitu polos. seolah bukan orang yang telah menusuknya dari belakang.
Nayla melangkah ke tengah jalan, menghentikan langkah Mira dengan suara datar:
“Kita harus bicara.”
Mira berhenti, wajahnya terkejut, lalu segera berubah menjadi senyum lembut.
“Oh, Nayla... kau membuatku kaget. Ada apa?”
Tanpa basa-basi, Nayla mendekat. Tatapannya tajam.
“Kau yang menyebarkan foto itu, kan?” suaranya meninggi, cukup untuk membuat beberapa siswa menoleh.
Mira pura-pura mengerutkan kening. “Maksudmu apa? Foto apa?”
Nayla mendekat selangkah lagi. “Jangan berpura-pura, Mira. Kita berdua ada di ruangan itu malam itu. Tapi kenapa hanya aku yang ada di foto itu? Kenapa cuma aku yang jadi bahan hinaan satu sekolah?”
Wajah Mira masih berpura-pura kebingungan. “Aku nggak tahu apa yang kamu maksud, Nayla…”
“Berhenti berbohong!” Nayla hampir berteriak. “Kau yang mengambil foto itu, kan?! Kau yang menyebarkannya, kan!”
Tatapan Mira mulai berubah. Lalu ia mengangkat dagunya, sikapnya tak lagi berpura-pura.
“Ya,” ucapnya datar. “Aku yang menyebarkannya.”
Teman-teman Mira yang semula berdiri kaku kini terdiam dalam keterkejutan.
“Karena aku menyukai Elang, Nayla. Dan aku benci melihatmu selalu di sampingnya. Dia terlalu dekat denganmu, dan aku tidak suka itu.”
Nayla mematung.
"Tapi itu... tidak ada hubungannya denganku!" serunya, suara gemetar karena marah dan kecewa.
“Justru itu hubungannya, Nayla.” Mira mendekat, matanya dingin. “Karena kau halanganku. Karena selama kau masih ada di sekitarnya… aku tak akan pernah punya kesempatan.”
Dan saat itu juga, Nayla tak bisa menahan emosinya lagi.
PLAKK!
Tangan Nayla melayang keras ke pipi Mira, membuat gadis itu tersungkur ke trotoar. Beberapa murid menjerit kaget. Semua mata kini tertuju pada mereka.
Dan dari kejauhan…
Elang melihatnya.
Ia segera berlari menghampiri, sorot matanya tajam, napasnya memburu.
“Nayla! Apa yang kamu lakukan?!”
Nayla tertegun.
“Elang, dengar aku dulu...”
“Kenapa kamu menampar Mira?! Dia salah apa?!”
Mira masih duduk di tanah, memegangi pipinya dengan air mata menggenang.
“Aku… aku cuma ingin bicara baik-baik…”
“Elang, dia...”
“Tidak kusangka!” seru Elang, suaranya marah.
“Di balik wajah polosmu, ternyata kau menyimpan sifat sekejam ini. Selama ini kau hanya menipuku dengan kepura-puraanmu!”
Nayla membeku. Kata-kata itu… jauh lebih menyakitkan daripada tamparan mana pun.
Dan sebelum ia sempat membuka mulut, Elang sudah lebih dulu menarik tangan Mira dan membawanya pergi, meninggalkan Nayla berdiri sendiri di tengah trotoar. Diam. Terpaku. Terluka.
kasian Nayla hancur N merasa bersalah bngt pastinya ..ibunya mninggal karna tau kerjaan nayla😭