NovelToon NovelToon
Kumpulan Cerita HOROR

Kumpulan Cerita HOROR

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Dunia Lain / Kutukan / Kumpulan Cerita Horror / Tumbal
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ayam Kampoeng

Sebuah novel dengan beragam jenis kisah horor, baik pengalaman pribadi maupun hasil imajinasi. Novel ini terdiri dari beberapa cerita bergenre horor yang akan menemani malam-malam mencekam pembaca

•HOROR MISTIS/GAIB
•HOROR THRILLER
•HOROR ROMANSA
•HOROR KOMEDI

Horor Komedi
Horor Psikopat
Horor Mencekam
Horor Tragis

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayam Kampoeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14 TEROR LEAK Part 14

Bantuan dari Gede Raka menghantam Bagus dan Mang Dirga. Wajah putus asa dan letih mereka kemudian berbinar. Secercah harapan pun mulai tumbuh menguatkan mereka. Bagus dan Mang Dirga tidak hanya berurusan dengan kekuatan gaib yang tak terduga, tetapi juga dengan keputus-asaan para warga desa Banjaran. Dan manusia yang putus asa bisa lebih mematikan daripada Leak. Mang Dirga, yang selama ini tenang dan penuh perhitungan, langsung mengambil tindakan.

“Kita harus segera berangkat. Sekarang!” katanya dengan suara rendah, namun penuh wibawa. Tidak ada waktu untuk berdiskusi lagi. “Bawa Marni. Gede, kau yang pimpin jalannya.”

Bagus menggendong Marni yang masih setengah sadar. Tubuhnya terasa ringan dan rapuh, seperti boneka porselen yang bisa pecah kapan saja. Nafasnya pendek, kulitnya pun terasa dingin.

Di tengah kegelapan malam yang pekat, mereka menyusuri jalan setapak di belakang gubuk Mang Dirga, masuk ke dalam hutan yang seolah-olah menunggu untuk menelan mereka bulat-bulat. Gede Raka berjalan di depan, tangannya memegang keris kecil dengan erat, matanya waspada memindai setiap bayangan yang bergerak.

Jalan rahasia itu adalah jalur yang nyaris tidak terlihat, ditandai dengan ukiran simbol kecil di batang sebuah pohon. Simbol itu adalah simbol pelindung yang hanya dikenali oleh para pemangku. Tanahnya basah, licin, dan berbau lumut tua.

Suara di hutan gelap itu teredam, terlalu sunyi, seakan-akan semua makhluk biasa telah mengungsi, meninggalkan hutan itu untuk penghuni lain yang tak kasat mata. Tidak ada jangkrik, tidak ada burung malam. Hanya suara nafas mereka dan suara kaki menginjak ranting kering yang memecah kesunyian.

Tiba-tiba, Gede Raka berhenti. Tubuhnya menegang. Di depan, di antara pepohonan, beberapa obor bergerak. Cahaya kuningnya menari-nari di antara batang pohon, diiringi suara gerutuan dan kemarahan yang terdengar samar. Mereka adalah warga desa yang dipimpin Komang. Mereka sudah menemukan gubuk Mang Dirga yang kosong dan sekarang menyisir hutan, mencari mereka seperti pemburu mencari mangsa.

“Kita harus memutar,” desis Gede Raka, wajahnya tampak pucat. Tapi sebelum mereka sempat berbalik, sebuah lolongan panjang dan menyayat, sama seperti yang mereka dengar di gua, menggema di dekat mereka. Suaranya seperti jeritan dari dunia lain, penuh penderitaan dan kebencian.

Dari balik semak-semak, seekor anjing hitam besar muncul. Tubuhnya tinggi, bulunya kasar dan berkilau seperti logam. Matanya merah menyala, dan dari mulutnya meneteskan air liur hitam yang menguap saat menyentuh tanah. Itu bukan anjing biasa. Itu adalah jelmaan Leak, makhluk yang bisa mengambil bentuk apa saja untuk menakut-nakuti dan mengintai.

Anjing itu tidak menyerang. Dia hanya duduk, menghalangi jalan memutar mereka, dan menatap dengan mata yang mengerikan. Matanya seperti menilai, seperti tahu siapa yang paling lemah.

“Mereka mengurung kita,” bisik Mang Dirga. “Manusia di depan, Leak di belakang. Kita terjepit.”

Mereka terjebak. Bagus mulai berkeringat dingin, punggungnya basah. Marni mengerang lemah di pundaknya, seakan merasakan bahaya yang mengancam. Suara obor dan teriakan semakin mendekat. Cahayanya sudah menerobos celah-celah daun.

“Di sini! Aku melihat mereka!” teriak Komang, suaranya penuh kemenangan.

Sekelompok warga desa dengan wajah penuh amarah dan ketakutan muncul dari balik pepohonan, mengelilingi mereka. Komang berdiri di depan, membawa parang yang berkilat di bawah cahaya obor. Matanya liar, seperti orang yang sudah kehilangan kendali.

“Tidak bisa lari lagi, kalian, hah!” geramnya. “Kalian akan menebus dosa-dosa kalian malam ini!”

“Komang, dengarkan aku!” teriak Bagus, mencoba untuk yang terakhir kalinya. “Kami sedang berusaha menyelamatkan desa! Mang Dirga akan melakukan ritual! Kami punya cara untuk menghentikan ini!”

“Ritual?!” Komang tertawa getir, “Ritual seperti yang membuat Kadek Sari mati? Seperti yang membuat Ni Luh Pertiwi tewas? Sudah cukup! Kalian membawa kutukan ke sini!”

Warga bergerak mendekat, mengacungkan berbagai senjata seadanya. Ada parang, bambu runcing, bahkan batu. Di belakang, anjing hitam itu mendesis, suara desisnya seperti bisikan yang menyuruh mereka menyelesaikan pekerjaan kotor ini.

Gede Raka berdiri gemetar, kerisnya teracung tapi tangannya lemah. Mang Dirga menghela nafas, matanya tertutup, seakan pasrah menerima takdirnya.

Tiba-tiba, Marni yang digendong Bagus mengangkat kepalanya dengan mata terbuka. Tapi kali ini, bukan mata kuning milik Ida Rengganis. Melainkan cahaya biru pucat berkilat di dalamnya, seperti cahaya bulan yang menembus kabut. Suara yang keluar dari mulutnya lembut, tapi berwibawa, seperti angin yang membawa pesan dari langit.

“Berhenti.”

Satu kata itu, diucapkan dengan kekuatan yang tidak berasal dari Marni, membuat semua orang membeku. Bahkan anjing hitam di belakang mereka mendekam pelan dan mundur beberapa langkah, ekornya turun menyentuh tanah. Suasana menjadi tenang. Seolah-olah alam sendiri menahan nafas.

“Anakku sedang berjuang,” kata suara itu, yang terdengar seperti gabungan banyak suara perempuan. “Dia berjuang untuk kalian semua. Dan kalian justru ingin membunuhnya?”

Komang dan warga lainnya terpana, melihat perubahan pada Marni. Sebuah cahaya samar menyelimuti tubuhnya, berdenyut pelan seperti jantung bumi. Daun-daun di sekitar mereka bergetar, bukan karena angin, tapi karena energi yang mengalir.

“Siapa... siapa kau?” tanya Komang, suaranya bergetar, parang di tangannya mulai diturunkan.

“Aku adalah roh penjaga pura ini. Roh yang telah menyaksikan desa ini sejak awal. Kekacauan ini bukan karena mereka,” suara itu menunjuk Bagus dan Mang Dirga, “tapi karena rasa takut dan kebencian kalian sendiri. Balian Rawa dan pengikutnya memakan energi itu. Setiap kali kalian membenci, setiap kali kalian takut tanpa alasan, kalian secara tak sengaja memberi mereka kekuatan. Emosi kalian adalah MAKANAN mereka.”

Warga desa terdiam, terpana dan merasa malu. Beberapa mulai menurunkan senjata mereka, tangan mereka gemetar. Seorang ibu menangis pelan, memeluk anaknya yang ketakutan.

“Kalian ingin menyelamatkan desa?” lanjut suara itu. “Maka bantulah mereka mencapai Pura Kahyangan. Hanya di sana, dengan pengorbanan yang tulus, kutukan ini bisa diakhiri. Tapi jika kalian terus membenci, terus menyalahkan, maka kalian akan menjadi bagian dari kegelapan itu sendiri.”

Cahaya di sekitar Marni lantas memudar perlahan, dan tubuhnya kembali melemas. Suara roh penjaga itu telah pergi, tapi pesannya tertanam dalam hati semua yang hadir. Tidak ada yang berani bicara. Bahkan Komang berdiri kaku, perasaan campur aduk. Kebencian, malu, dan harapan berbaur di wajahnya. Ia menatap tanah, tidak berani menatap Marni atau Mang Dirga.

Akhirnya, dengan gerakan kasar, dia menurunkan parangnya. “Pergilah,” katanya pada Mang Dirga, suaranya serak. “Tapi jika ini jebakan, aku akan mencari kalian. Dan aku tidak akan datang sendiri.”

Dia memutar balik, menyuruh warga desa lainnya untuk membubarkan diri. Dalam hatinya, Komang menyesali semua tuduhannya pada Bagus dan Marni. Langkahnya gontai dengan kepala tertunduk, malu. Beberapa warga desa masih menatap dengan curiga ke arah Bagus dan Marni, tapi tidak ada yang berani melawan kata-kata roh penjaga. Jalan mereka kini terbuka lebar menuju Pura Kahyangan. Anjing hitam gaib itu pun juga ikut menghilang, lenyap seperti kabut yang tersapu angin.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan perasaan campur aduk. Bantuan datang dari sumber yang tidak terduga, tapi waktu mereka semakin sempit. Fajar sudah mulai menyingsing di ufuk timur, menandakan bahwa malam purnama dan ritual terakhir, hanya tinggal hitungan jam lagi. Langit mulai berubah warna, dari hitam pekat menjadi abu-abu lembut. Tapi di balik keindahan itu, ancaman masih mengintai mereka...

*

1
Mini_jelly
Rasain lu ndra!!!
Ayam Kampoeng: Ndra...
ato Ndro? 🤣🤣
total 1 replies
Mini_jelly
seruuu, 🥰🤗
Mini_jelly: sama2 kak 🥰
total 2 replies
Mini_jelly
Bully itu emg bukan cuma fisik. Ejekan kecil yang diulang-ulang, pandangan sinis, atau diasingkan perlahan-lahan juga membunuh rasa percaya diri. Sadar, yuk."
Sebelum ikut-ikutan nge-bully, coba deh tanya ke diri sendiri. Apa yang akan aku rasakan jika ini terjadi padaku atau adik/keluargaku?
☺️🥰
Ayam Kampoeng: 😊😊😊........
total 3 replies
Mini_jelly
😥😭😭
Ayam Kampoeng: nangis .. 🥲
total 1 replies
Mini_jelly
🤣🤣🤣
Ayam Kampoeng: hadeh ..
total 1 replies
Mini_jelly
me too 🥰❤️
Ayam Kampoeng: ekhem 🙄🤭
total 1 replies
Mini_jelly
udh lama gk mampir, ngopi dlu 🥰
Ayam Kampoeng: kopi isi vanila. kesukaan kamu 🤤🤸🤸
total 1 replies
Mini_jelly
🤣🤣🤣🤣
Ayam Kampoeng: malah ketawa... 😚😚😚💋
total 1 replies
Mini_jelly
semangat nulisnya pasti seru nih 🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!