Dendam Dan Cinta Tuan Mafia

Aira keluar dari mobil dengan langkah yang masih terasa sedikit lemah, namun dengan dagu terangkat tinggi, menantang dunia yang seolah berkonspirasi untuk membuatnya hancur. Ia menolak bantuan kursi roda yang disodorkan para pelayan, sorot matanya yang tajam mengisyaratkan bahwa ia tidak ingin terlihat rapuh di hadapan mereka.

"Aku tidak membutuhkan kursi roda itu lagi. Aku bisa berjalan sendiri," ucapnya tegas, suaranya lirih namun penuh determinasi. Ia ingin membuktikan, pada dirinya sendiri dan pada orang lain, bahwa ia masih memiliki kendali atas hidupnya, meskipun tubuhnya masih terasa sakit dan pikirannya masih diliputi trauma.

Aira mengamati rumah megah yang berdiri di hadapannya. Bangunan itu menjulang tinggi, arsitekturnya memadukan gaya klasik dan modern dengan sentuhan mewah yang mencolok. Ukiran-ukiran rumit menghiasi langit-langit dan dinding, memancarkan kemewahan yang tak terjangkau. Namun, di balik kemegahan itu, Aira merasakan aura dingin dan asing, seolah rumah itu menyimpan rahasia kelam yang tersembunyi di balik dinding-dindingnya.

Dengan langkah hati-hati, Aira memasuki rumah itu, diikuti oleh dua pelayan wanita yang tampak muda dan cantik. Mereka berjalan di belakangnya dengan langkah yang sopan dan teratur, siap memenuhi setiap permintaannya. Aira merasa risih dengan kehadiran mereka, seolah mereka adalah mata-mata yang ditugaskan untuk mengawasinya.

Aira dibawa menuju sebuah kamar yang terletak di lantai atas. Kamar itu sangat luas dan mewah, dilengkapi dengan tempat tidur berukuran besar yang ditutupi dengan kain sutra yang lembut, lemari pakaian yang penuh dengan gaun-gaun indah, dan kamar mandi yang dilengkapi dengan bathtub jacuzzi. Pemandangan dari jendela kamar itu sangat indah, menampilkan taman yang luas dan terawat dengan air mancur yang menari-nari di tengahnya.

Namun, Aira tidak merasa terkesan dengan kemewahan kamar itu. Ia merasa seperti sedang berada di dalam sangkar emas, dikelilingi oleh kemewahan namun terisolasi dari dunia luar. Ia merasa seperti sedang diperlakukan seperti barang berharga yang harus dijaga dan dilindungi, bukan sebagai manusia yang memiliki perasaan dan kehendak bebas.

Sesampainya di kamar, Aira terheran-heran melihat beberapa pakaian yang telah disiapkan oleh para pelayan. Pakaian-pakaian itu terdiri dari gaun-gaun malam yang mewah, lingerie yang menggoda, dan perhiasan-perhiasan yang berkilauan. Pakaian-pakaian itu terlalu seksi dan terbuka, sama sekali tidak sesuai dengan gaya berpakaian Aira yang sederhana dan konservatif.

"Baju siapa itu?" tanya Aira, dengan nada bingung dan curiga. Ia menatap salah satu pelayan wanita yang sedang menyiapkan pakaian-pakaian itu dengan tatapan menyelidik.

"Baju Anda, Nyonya," jawab pelayan itu, dengan sopan dan hormat. "Tuan Rayyan menyuruh saya untuk menyiapkannya untuk malam ini," tambahnya, membuat Aira seketika melebarkan matanya karena terkejut dan marah.

Bagaimana tidak? Pakaian-pakaian yang disiapkan oleh para pelayan itu adalah pakaian-pakaian yang biasa dipakai oleh seorang istri untuk memuaskan suaminya. Pakaian-pakaian itu terlalu provokatif dan merendahkan, seolah Aira hanyalah objek seksual yang tidak memiliki harga diri.

"Untuk apa aku memakai baju-baju itu?" tanya Aira, dengan nada marah dan jijik. "Ganti saja! Berikan aku piyama panjang yang nyaman," pintanya, berharap para pelayan akan mengerti perasaannya dan menolak untuk menuruti perintah Rayyan.

"Maaf, Nyonya," jawab pelayan itu, dengan nada menyesal dan takut. "Saya tidak bisa. Karena ini permintaan langsung dari Tuan Rayyan," tambahnya, membuat Aira semakin geram dan frustrasi.

Aira merasa seperti sedang dipermainkan dan direndahkan oleh Rayyan. Ia merasa seperti sedang dijadikan alat untuk memuaskan hasrat pria itu, tanpa mempertimbangkan perasaannya dan keinginannya. Ia merasa seperti sedang kehilangan kendali atas hidupnya, dan ia tidak tahu bagaimana cara menghentikan semua ini.

Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan para pelayan. Ia tidak ingin memberikan kepuasan pada Rayyan dengan melihatnya menderita.

"Baiklah," ucap Aira, dengan nada dingin dan datar. "Kalian boleh pergi sekarang. Aku akan berganti pakaian sendiri."

Bersambung...