Dara sebagai pelatih Taekwondo yang hidupnya sial karena selalu diteror rentenir ulah Ayahnya yang selalu ngutang. Tiba-tiba Dara Akan berpindah jiwa raga ke Tubuh Gadis Remaja yang menjatuhkan dirinya di Atas Jembatan Jalan Raya dan menimpa Dara yang berusaha menyelamatkan Gadis itu dari bawah.
Bagaimana Kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amanda Ricarlo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadiah dari Seseorang
Alia memperhatikan seragam yang dikenakan Lesham dari atas sampai bawah tampak basah. dirinya saat iba melihat Lesham seperti ini. Alia langsung beranjak dari kursi sambil membawa nampan makanannya. Dan menyuruh Lesham mengikuti langkahnya.
"Lesham, ikut aku sebentar," ucapnya tanpa basa-basi.
Lesham menoleh, dahi berkerut.
"Hah? Ke mana?"
"Nanti juga tahu. Ayo," sahut Alia sambil melangkah duluan.
Lesham menatap punggungnya sejenak, lalu mengikuti. Mereka berjalan melewati lorong yang lengang, hingga berhenti di depan deretan loker besi. Alia membuka pintunya dan mengeluarkan baju olahraga lengkap dengan celananya.
"Nih, pakai ini. Aku tidak mau kau sakit," ujarnya sambil menyodorkan pakaian itu.
Lesham memandangi baju tersebut, lalu menatap Alia dengan wajah polos.
"Kau pinjamkan ini untukku? Padahal begini pun tidak apa-apa. Seragamku bisa kubersihkan sendiri."
"Aku tidak mau dengar alasanmu. Pakailah. Besok kau bisa mengembalikannya," kata Alia dengan senyum tipis, tapi nada suaranya jelas tidak memberi ruang untuk menolak.
Akhirnya Lesham mengangguk dan menerima pakaian itu. Karena semua guru sedang rapat, suasana sekolah terasa lebih santai. Mereka memutuskan pergi ke kantin membeli es.
Cuacanya saat ini sangat Panas, Mereka berdua membeli Es stik di kantin sebagai penyebar tubuh. Dengan cuaca yang tampak panas sangat cocok memakan es stik seperti ini. Alia mengambil es kiko rasa nanas yang kuning cerah, sementara Lesham memilih rasa anggur berwarna ungu. Sambil mengunyah es, mereka berjalan santai di koridor lantai enam.
Saat melewati sebuah ruangan besar, terdengar teriakan dan hentakan kaki. Pintu ruangan itu sedikit terbuka, dan Lesham spontan melirik ke dalam.
Alia yang menyadarinya berhenti. Ia melihat Lesham sedang mengintip sambil tetap menggigit esnya.
"Kau lihat apa?" bisiknya, ikut mengintip.
"Kau suka latihan seperti itu?" tanyanya.
Di dalam, beberapa siswa sedang berlatih taekwondo. Lesham terdiam. Tatapannya kosong, seolah pikirannya melayang ke masa lalu. Masa ketika Dara di tubuh aslinya, berlatih tanpa beban, tanpa tekanan siapa pun.
Lesham menarik napas panjang, lalu menegakkan badan dan berjalan lagi sambil terus menikmati esnya.
"Kau kenapa? Kau tampak menikmati mereka yang sedang latihan, Malah kau seperti ingin bergabung dengan mereka" kata Alia sambil berjalan di sampingnya.
"Aku sedang tidak ingin mengingat masa lalu. Sekarang aku hanya ingin fokus pada hidupku yang sekarang," jawabnya tanpa menoleh.
Alia terdiam. Pikirannya justru semakin penuh tanda tanya. Masa lalu Lesham sebenarnya seperti apa? Bukankah dulu ia terlihat begitu lemah saat dibully? Jika benar ia pernah ikut taekwondo, mengapa bisa begitu? Dan Sekarang Lesham malah terlihat lebih percaya diri dan… hidup. Malah seperti satu tubuh dengan dua kepribadian yang berbeda.
Pikiran itu masih berkecamuk dipikiran Alia saat ini. Hingga dimana mereka berpapasan dengan dua sepasang siswa berjalan berlawanan dengan mereka yaitu Zane dan Evelyn. Alia melirik Lesham, namun ia sama sekali tidak menoleh.
"Kau tidak lihat mereka barusan?" bisik Alia.
"Apa? Siapa? Oh mereka berdua tadi, memangnya kenapa? Apa mereka artis sekolah ini? Kalau pun iya, aku pun tidak peduli," jawab Lesham santai, sambil sedikit mengangkat bahu.
"Hanya saja Zane tadi sempat melirikmu tapi kau melihat kearah lain"
"Aku tidak peduli, Dia melirikku atau tidak. Yang terpenting sekarang aku ingin hidup dengan bebas" Sambil menggigit Es stik ditangannya
Alia tersenyum kecil, menggeleng. "Wah… aku bangga padamu," gumamnya.
Mereka turun ke lantai empat. Alia berhenti di depan pintu bertuliskan Kelas 2-1A.
"Kelasmu di sini?" tanya Lesham. Alia pun mengangguk.
"Kalau kau mau mencariku, kelasku di sebelahmu, dikelas 2-1B."
"Baiklah. Aku masuk dulu," katanya sambil tersenyum tipis, lalu menghilang di balik pintu.
Lesham melanjutkan langkah menuju kelasnya. Begitu membuka pintu, suasananya terasa aneh. Semua teman menatapnya.
"Ada apa?" tanyanya, bingung.
Tatapannya jatuh ke meja. Di sana tergeletak sebungkus bunga mawar dan kotak kecil berwarna putih. Ia berjalan mendekat.
"Ini dari siapa?" gumamnya pelan.
Dari belakang, seseorang berkomentar, "Wih, Lesham manjur juga rayuannya. Cogan Sekolah sampai memberikan bunga dan kotak hadiah."
Yang lain menimpali, "Jangan-jangan dia sudah memberikan sesuatu yang lebih padanya, iyakan?"
"ihhh, menjijikan sekali" sahut yang lain, disambut tawa kecil.
Lesham menoleh dengan tatapan tajam. "Sudah puas? Kalian malah lebih menjijikkan dari yang kukira," ucapnya datar, lalu duduk.
Ia mengambil secarik surat kecil yang terselip di bunga, membukanya, dan mulai membaca:
'Lesham, apa kabar? Senang melihat kau baik-baik saja.Tapi aku kecewa padamu, karena kau tidak mengenaliku waktu kita bertemu di tangga itu. Ya Itu aku, Ghava. Aku ingin memperkenalkan diri lagi agar kau bisa mengingatku kembali. Aku rindu masa-masa kita dulu. Ini nomorku. Hubungi aku kapan saja ya . See you — by Ghava.'
Lesham yang membacanya saat ini hanya menghela napas panjang sambil bergidik. "Apa iniSerius? Bahkan di usiaku yang ke 28 Tahun. bisa-bisanya di dirayu anak brondong?" gumamnya, lalu meletakkan surat itu di meja.
Dengan rasa penasaran, ia membuatnya membuka kotak kecil itu. Begitu tutupnya terbuka, kedua matanya melebar. Kalung perak berkilau dengan liontin huruf "L". Dari kilauannya saja sudah terlihat jelas barang ini sangat mahal.
"Astaga… bisa-bisanya anak brondong itu memberi barang seperti mahal seperti ini. Bahkan saat ini aku baru kenal dengannya saat ditangga itu," keluhnya sambil menutup kotak itu cepat-cepat.
Ia sama sekali tidak ingat bahwa kini berada di tubuh anak orang kaya. Dalam pikirannya, ia masih Dara yang dulu, yang harus berpikir seribu kali sebelum meminta sesuatu. Padahal, jika mau, orang tuanya bisa membelikan barang sepuluh kali lipat dari itu hanya dengan satu kalimat saja.