Sinopsis
Ini berawal dari Nara yang dijodohkan oleh Ayahnya dengan laki-laki dewasa, umur mereka terpaut selisih 15 tahun. Dimana saat itu Nara belum siap dari fisik dan batinnya.
Perbedaan pendapat banyak terjadi didalamnya, hanya saja Rama selalu memperlakukan Nara dengan diam (sillent treatment) orang biasa menyebutnya begitu.
Semua permasalahan seperti tak memiliki penyelesaian, finalnya hilang dan seperti tak terjadi apa-apa.
Puncaknya saat Nara kembali bertemu dengan cinta pertamanya, rasanya mulai goyah. Perbandingan antara diamnya Rama dan pedulinya Mahesa sangat kentara jauh.
Rama laki-laki dewasa, hatinya baik, tidak gila perempuan dan selalu memberikan semua keinginan Nara. Tapi hanya satu, Rama tak bisa menjadi suami yang tegas dan tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah bagi Nara.
Pertemuan dan waktu mulai mempermainkan hati Nara, akankan takdir berpihak dengan cinta Rama atau mulai terkikis karna masa lalu Nara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fay :), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Hari manis bersamamu
Sekian hari yang mereka lalui- canda tawa, ada luka dan kesalah pahaman, banyak maaf dan rasa saling memahami mereka usahakan dalam membangun rumah hangat yang mereka impikan.
Dua orang yang disatukan dengan jalan pikir yang berbeda, beda pendapat, beda cara bersikap, termasuk beda cara saling memahami.
Kadang yang menurut Nara benar, belum tentu benar menurut Rama. Begitupun sebaliknya. Hanya saja apa yang terjadi di masa lalu mereka jadikan pelajaran.
*
*
*
Malam itu, hujan turun rintik-rintik membasahi atap rumah mungil mereka. Suara tetesannya terdengar syahdu, memecah sunyi dengan irama yang menenangkan. Nara duduk di sudut ruang keluarga, mengenakan cardigan tipis, sambil memegang buku resep. Sejak sore tadi, ia merencanakan kejutan kecil untuk Rama: membuat kue bolu kesukaan suaminya.
Rama baru saja selesai mandi. Saat keluar dari kamar, ia melihat Nara yang asyik sendiri dengan bukunya. Tanpa banyak kata, Rama berjalan pelan, lalu duduk di samping istrinya. Bau sabun mandi masih melekat di tubuhnya, menambah kesan segar.
“Kamu lagi apa?” tanyanya pelan, suara Rama terdengar lebih hangat dari biasanya.
Nara tersenyum, menutup bukunya.
“Lagi lihat resep. Aku mau coba bikin bolu buat Mas. Besok, kalau aku nggak lupa beli bahan-bahannya.”
Rama menatap Nara, lalu tersenyum tipis. “Kamu nggak harus repot-repot, Nar.”
“Tapi aku mau. Aku pengen lihat Mas senyum pas makan kuenya,” jawab Nara jujur.
Rama menghela napas, bukan karena berat hati, tapi karena hatinya terasa hangat mendengar kata-kata itu.
“Kamu ini… selalu mikirin aku. Padahal aku sering bikin kamu bingung.”
Nara menggeleng. “Itu namanya sayang, Mas.”
Hujan di luar makin deras, namun justru menambah hangat suasana dalam rumah itu. Rama mengangkat tangannya, menyentuh rambut Nara yang basah sedikit oleh embun dari jendela terbuka.
“Kamu belum nutup jendelanya?”
Nara tersenyum malu. “Tadi lupa. Asyik lihat resep.” belanya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rama berdiri dan menutup jendela. Lalu kembali duduk di samping Nara, lebih dekat. Nara bisa merasakan hangat tubuh suaminya di dekatnya.
Pandangan Rama tertuju pada anak kecil yang sibuk bermain dengan robot kesayangannya dikarpet bulu halus, tatapannya teduh, ada rasa haru terlihat dimimik wajahnya.
“Aiden sudah semakin besar ya, dulu aku mengenalmu dia masih belum bisa berjalan sendiri. Sekarang kakinya sudah fasih menapak ditanah untuk berjalan dan suaranya yang lucu sekarang lebih bisa dipahami.” Ujar Rama jujur.
Jangan tanya lagi perasaan Nara, bak taman yang penuh bunga bermekaran. Bukan hanya bersyukur dirinya dicintai, tapi rasa syukur itu makin berlipat ganda karna darah dagingnya sangat dianggap dalam kehidupan Ayah sambungnya.
“Apa kamu benar-benar ingin punya anak Mas?” tanya Nara pelan ingin bicara dari hati ke hati.
Rama tersenyum hangat, ada binar dalam matanya. “Ya.. Aku sangat ingin itu dan sekarang Aiden..”
“Tunggu Aiden berumur tiga atau empat tahun dulu, semoga aku bisa hamil anak Mas Rama.” Potong Nara cepat, wajahnya bersemu merah, nampak malu-malu.
Sontak kepala Rama langsung menoleh ke arah Nara, antara terkejut atau bagaimana. “Apa kamu serius Nara?” Tanyanya.
Nara mengangguk, senyumnya kian tulus. Bagaimanapun Nara juga ingin memberikan keturunan yang asli dari darah Rama.
Rama menarik Nara dalam pelakunnya, kebahagiaan sempurna muncul diwajahnya. “Terima kasih…”
Rama memang sudah memberitahu Nara jika sangat menginginkan Anak, tapi Rama tak pernah memaksa agar Nara segera hamil anaknya. “Biarkan Aiden merasa cukup dulu, baru memiliki seorang adik.” begitu katanya, singkat, tapi menenangkan
*
*
*
Beberapa menit mereka duduk, diam merasakan kebahagiaan yang ada. Lalu Nara kembali bersandar pelan ke bahu Rama. Rama meraih tangan Nara, menggenggamnya.
“Kamu capek hari ini?” tanya Nara pelan.
Rama menggeleng, menatap lurus ke depan.
“Nggak. Hari ini aku tenang. Mungkin karena kamu ada di sini.”
Hati Nara berbunga-bunga mendengarnya. Ini mungkin kalimat sederhana, tapi dari seorang Rama, ini adalah bentuk kasih sayang yang tulus.
Nara memejamkan mata sejenak, menikmati momen itu. Lalu, dengan suara pelan, ia berkata,
“Kalau hujannya berhenti, ayo kita keluar bentar, Mas. Aku suka bau tanah habis hujan.”
Rama tersenyum. “Baiklah. Nanti kita keluar.”
Hujan terus turun, tapi kini hanya gerimis halus. Nara bangkit, menyiapkan dua cangkir teh hangat, dan mereka duduk di teras, menatap halaman kecil mereka yang basah oleh air hujan.
Ini waktu mereka untuk menghabiskan waktu berdua, setelah Aiden terlelap dari tidurnya. Bicara dari hati ke hati atau pertanyaan yang terdengar tidak terlalu penting. Dan ya seperti biasa, lebih banyak Nara yang memulai kata-kata.
*
*
*
Angin malam membawa hawa dingin, tapi Nara merasa hangat karena ada Rama di sampingnya. Mereka duduk berdua, berbagi selimut tipis. Lampu teras temaram, membuat suasana semakin syahdu.
“Mas, boleh aku tanya sesuatu?” bisik Nara, ragu.
Rama melirik Nara, lalu mengangguk. “Tanya aja.”
Nara tersenyum, menatap langit gelap.
“Kalau Mas boleh milih, mau nggak hari-hari kita selalu kayak gini? Tenang, nggak ada yang ganggu?”
Rama terdiam, memikirkan pertanyaan itu. Lalu, dengan suara dalam, ia menjawab,
“Mau. Aku mau banget. Aku cuma pengen rumah ini jadi tempat aku pulang tanpa takut, tanpa beban. Kamu bisa bikin aku ngerasa begitu, Nar.”
Nara terharu. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tahan. Ia hanya mengeratkan genggamannya di tangan Rama.
“InsyaAllah, Mas. Aku juga mau gitu. Aku mau rumah ini selalu penuh sayang.”
Rama mengangguk. Lama mereka duduk, menikmati sisa gerimis, menikmati diam yang bukan lagi membekukan, tapi mendamaikan.
“Biasakan banyak bercerita apapun itu ya Mas, sekalipun itu bukanlah hal yang penting.” Ungkap Nara lag.
“Aku usahakan Nara.”
*
*
*
Saat gerimis benar-benar berhenti, Nara mengajak Rama berjalan pelan di halaman kecil. Kaki mereka basah oleh sisa air hujan, tapi mereka tak peduli. Mereka tertawa kecil, seperti anak-anak, saat Rama hampir terpeleset di batu licin.
“Nah, kan, siapa suruh ikut aku jalan-jalan habis hujan,” canda Nara.
Rama ikut tertawa, untuk pertama kalinya malam itu tawa lepas terdengar dari bibirnya.
“Ya salah kamu juga, ngajakin.”
Nara memandangi Rama yang tertawa. Ada rasa bahagia yang mengalir deras di dadanya. Tuhan, terima kasih… akhirnya aku lihat dia tertawa seperti ini…
*
*
*
Malam makin larut. Mereka kembali ke dalam rumah. Sebelum tidur, Nara memberanikan diri bertanya pelan,
“Mas… besok kita mau masak bareng nggak? Biar aku belajar bikin bolunya, kamu jadi tester-nya. Besok mumpung kamu libur dan memanfaatkan sisa waktu bersama sebelum ldr.”
Rama tersenyum, mengusap kepala Nara.
“Mau.”
Nara mengangguk senang.
“Mas, makasih ya… sudah mau pelan-pelan membuka diri ke aku.”
Rama tak menjawab dengan kata-kata, hanya memeluk Nara sebentar, “harusnya aku yang bilang kaya gitu, bukan kamu.” Terang Rama tersenyum tipis.
“Aku memang pendiam, sulit membuka obrolan. Aku harap kamu bisa ngerti dan bisa memperbaikinya sedikit.” Sambutnya lagi.
“Aku tidak akan merubah sifatmu yang tidak terlalu banyak bicara Mas, tapi aku akan usahakan kamu tenang jika sudah selesai cerita ke aku.” Balas Nara.
Wajahnya yang terkesan cantik sederhana, semakin membuat hati Rama takjub. “Dia menerimaku, dari banyaknya kurang ku.” Batin Rama berucap.
Setelah puas bicara yang hawanya hangat diantara mereka, kini Rama membimbing Nara menuju tempat tidur. Malam itu mereka tidur dengan hati yang sama-sama tenang.
Dan di luar sana, sisa gerimis masih menetes perlahan, seolah langit memberkati kebahagiaan sederhana dua insan yang saling belajar mencinta.
*
*
*