Mu Yao, seorang prajurit pasukan khusus, mengalami kecelakaan pesawat saat menjalankan misi. Secara tak terduga, ia menjelajah ruang dan waktu. Dari seorang yatim piatu tanpa ayah dan ibu, ia berubah menjadi anak yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Ia bahkan memiliki seorang adik laki-laki yang sangat menyayanginya dan selalu mengikutinya ke mana pun pergi.
Mu Yao kecil secara tidak sengaja menyelamatkan seorang anak laki-laki yang terluka parah selama perjalanan berburu. Sejak saat itu, kehidupan barunya yang mendebarkan dan penuh kebahagiaan pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seira A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 : Penemuan Aneh di Gunung (Bagian 1)
Waktu Muyao pulang ke rumah, dia melihat ibunya sedang mengutak-atik kulit kelinci di tangannya. Kulit yang sudah diproses ada yang bisa dipakai dalam tiga sampai lima hari, tapi ada juga yang butuh waktu lebih dari sepuluh hari. Kulit kelinci yang satu ini, kalau dua-tiga hari lagi sih udah bisa dipakai. Hari ini, Liu shi menguleni dan meratakannya lagi supaya nanti kulitnya nggak jadi kusut saat dipakai.
Begitu melihat putrinya pulang, Liu shi buru-buru meletakkan kulit kelinci itu dan dengan hati-hati mengambil keranjang bambu dari punggung Muyao. Dalam hati, dia berharap semoga kali ini anaknya berhasil bawa pulang beberapa ekor kelinci salju lagi. Soalnya, dia ingin bikin mantel dari kulit kelinci buat suaminya. Anak laki-lakinya masih kecil dan jarang keluar rumah, jadi belum perlu dulu.
Tapi waktu dia lihat tumpukan rumput kering di atas keranjang, tangannya sempat ragu-ragu. Ini... meskipun kondisi rumah sedang susah, kayu bakar kan nggak pernah kekurangan. Jadi, maksud anaknya bawa rumput kering ini apa ya?
Belum sempat dia tanya, Muyao udah buru-buru buka mulut sambil hati-hati mengeluarkan beberapa butir telur dari balik rumput. “Ibu, ini aku nemu telur ayam hutan di gunung! Seneng nggak?” katanya sambil senyum lebar kayak anak kecil yang habis dapat pujian.
Tentu saja Liu shi senang banget. Walaupun sekarang keluarga mereka nggak kekurangan telur, tapi telur ayam hutan kan bukan barang yang bisa ditemukan setiap hari. Dan kalau ada telurnya, berarti ayam hutannya juga ada, dong? Liu shi ngitung jumlahnya—ada dua belas butir—lalu hati-hati menyimpannya. Dia pengin masak pas suaminya pulang biar bisa makan bareng.
Begitu dia singkirkan rumput kering, ternyata benar ada ayam hutan di bawahnya. Dan bukan cuma satu! Liu shi langsung nanya, “Ya ampun, Yao-yao, kamu nangkep berapa ekor ayam hutan ini?”
Muyao garuk-garuk kepalanya sambil nyengir. “Hehe... aku tadi sibuk nyari telur sih, sampai lupa udah dapet berapa ekor.”
Liu shi cuma bisa geleng-geleng sambil bantu anaknya ngeluarin ayam dari keranjang. Satu... dua... tiga... eh, tujuh ekor ayam hutan! Liu shi makin sumringah.
“Wah, sampai tujuh ekor! Daging ayam hutan ini enak banget loh. Kalau dimasak bareng jamur kering di rumah, rasanya nggak kalah sama makanan restoran,” katanya sambil semangat.
Muyao ikut menimpali, “Ibu, ayam hutan juga enak banget kalau dibakar atau dimasak semur!”
“Bisa dibakar juga?” Liu shi makin antusias. “Nanti kalau kamu udah ambil panggangan dagingnya, kita makan bareng ya.”
Adik laki-lakinya, Muxiao, yang dari tadi muterin telur ayam hutan, langsung lari mendekat begitu dengar kata “bakar-bakaran”.
“Xiao-xiao juga mau makan daging bakar!” serunya ceria. Meskipun dia udah sering makan enak belakangan ini, daging bakar tetap jadi favoritnya.
Liu shi menarik putranya ke pelukannya. Dia lihat tubuh Muxiao udah jauh lebih berisi, pipinya juga makin bulat. Semua ini berkat Yao-yao. Liu shi lalu bilang ke putranya, “Dengar kata kakak baik-baik ya. Rajin belajar bela diri dan baca tulis, biar nanti kamu bisa jaga kakak waktu udah gede. Ngerti?”
“Iya!” jawab Muxiao sambil angguk kuat-kuat. Sejak kecil dia udah ditanamin satu keyakinan—kalau nanti udah gede, dia harus lindungin kakaknya. Ayah dan ibunya juga penting, tapi tetap harus setelah kakak!
Liu shi lalu tanya lagi, “Yao-yao, ayam-ayam ini mau disimpan semua? Kayaknya kalau dimasak semua, kita nggak bakal habis makan deh.”
Muyao menjawab, “Terserah Ibu aja mau simpan berapa. Sisanya nanti aku jual ke pasar. Oh iya, bulu halus ayamnya jangan dibuang ya, aku mau kumpulin buat bikin jaket bulu buat Ayah.”
Liu shi nggak tahu itu jaket bulu apaan, tapi sepertinya bagus, jadi dia langsung setuju.
Besok paginya, Muyao balik lagi ke gunung yang sama kayak kemarin. Siapa tahu bisa dapat ayam hutan atau telur lagi. Sementara itu, di rumah, Liu shi mulai mencabuti bulu ayam. Bulu-bulu halusnya dikumpulin sesuai instruksi anaknya. Karena bulunya agak lembap, jadi gampang banget dikumpulin dalam satu kantong. Beratnya kira-kira udah satu kilo lebih. Dalam hati, Liu shi mikir, “Nggak tahu cukup nggak ya buat jaket yang anakku mau bikin itu...”
Muyao sampai di kaki gunung dan sengaja pilih jalur yang agak ke kiri, bukan yang kemarin. Di pertengahan jalan, dia beneran ketemu tiga ekor ayam hutan lagi. Setelah berhasil nangkep, dia kelilingin sekitar tapi nggak nemu ayam atau telur tambahan. Tapi dia tetap puas. Tiga ekor lagi, lumayan buat nambah stok bulu!
Lalu dia lanjut naik ke arah puncak gunung yang lebih tinggi di sebelah kiri. Butuh waktu lumayan lama buat sampai atas. Di puncaknya cuma ada hutan cemara yang lebat. Muyao nggak yakin ini tempat yang sama kayak kemarin, tapi hutan cemara itu bikin suasana musim dingin jadi sedikit lebih hangat.
Sambil injak salju, ranting, dan daun kering, Muyao jalan-jalan keliling. Gunung ini jauh lebih luas dari yang kemarin. Pandangan mata bahkan nggak bisa lihat ujungnya. Muyao terus jalan ke arah kiri. Dia berharap nemu sesuatu yang langka—kalau bisa sih tanaman obat bagus. Tapi soal salju lotus, dia udah nggak berani terlalu berharap.
Dia terus jalan sambil perhatiin sekeliling. Menjelang tengah hari, dia sampai di pinggir tebing yang dalam banget. Dasarnya nggak kelihatan, cuma ada kabut tipis yang mengambang. Tebingnya lebar, sekitar lima-enam meter. Di seberang masih hutan cemara juga. Muyao intip ke bawah—tebingnya hampir vertikal, licin, dan cuma ada sedikit rumput kering yang nempel. Nggak banyak tempat buat pijakan.
Karena pandangannya bagus dan nggak ada pohon yang menghalangi, dia bisa lihat jelas bahwa nggak ada tanaman obat di tebing itu. Baru aja dia mau putar balik, dia melihat sesuatu yang menonjol di tengah tebing. Kayaknya batu.
Setelah mikir sebentar, Muyao putuskan buat coba turun dan lihat lebih dekat.
Dia ambil tali dari keranjangnya dan ikatkan ke pohon terdekat. Tali itu panjangnya lebih dari sepuluh meter dan ada kaitannya. Pemburu biasa bawa alat seperti ini buat jaga-jaga kalau ada bahaya.
Muyao pegang erat talinya dan mulai turun pelan-pelan. Angin di atas gunung kencang, tapi begitu dia mulai turun, anginnya malah terasa lebih tenang. Saat tali hampir habis, dia akhirnya bisa lihat batu yang menonjol itu lebih jelas—ukurannya kira-kira satu meter panjang dan setengah meter lebar. Saljunya tipis banget, kayak hampir hilang.
Jaraknya ke batu itu sekitar empat-lima meter. Sebenarnya, Muyao pernah lompat sejauh itu sebelumnya, jadi nggak mustahil. Tapi karena batu ini kecil banget, dia ragu bisa mendarat dengan aman. Kalau jatuh, bisa-bisa nyawanya melayang. Selama bukan situasi hidup-mati, dia ogah ambil risiko segila itu.
Setelah mikir sejenak, dia ambil pisau kecil dan mulai mengukir pijakan di dinding tebing. Dia bikin dua pijakan kecil untuk kaki kiri dan kanan, lalu satu lubang lagi di selevel pinggang buat tangan. Di lubang yang diukir itu, dia kaitkan pengait talinya biar nggak melayang kena angin.
Posisi Muyao sekarang bener-bener ekstrem—setengah jongkok dan nempel di dinding tebing. Untungnya dia masih anak-anak, jadi tubuhnya kecil dan risiko lebih rendah. Pelan-pelan, dia terus mengukir pijakan dan geser ke arah batu. Setelah susah payah, akhirnya dia berhasil loncat turun ke atas batu.
Tapi... begitu sampai, Muyao kecewa berat. Nggak ada gua, nggak ada tanda aneh, cuma dinding batu biasa. Dia udah raba-raba seluruh permukaan, ketok-ketok juga, tapi tetap nggak ada yang aneh. Bahkan bagian lantainya pun dia periksa. Kayaknya cuma batu biasa, deh.
Muyao akhirnya nyerah dan siap-siap naik lagi. Tapi waktu dia coba pakai pisau kecil buat ukir pijakan ke atas, ternyata batu di sini keras banget. Pisau setajam itu aja nggak bisa nembus.
Saking paniknya, tangannya sampai terluka. Setetes darah netes ke dinding batu.
Yang bikin Muyao terkejut—darah itu langsung menghilang! Bukan menempel, bukan mengalir ke bawah, tapi benar-benar lenyap. Muyao meletakkan tangannya ke tempat darah tadi jatuh. Permukaan batu mulai terasa hangat. Tak lama kemudian, dinding batu itu perlahan meleleh, dan... sebuah pintu masuk perlahan-lahan terbuka di hadapannya.