Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)
Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.
Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.
Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Beberapa hari setelah percakapan dengan Hana, Hanif akhirnya memutuskan bahwa diam bukan untuk sebuah pilihan. Ini bukan untuk memaksa Sekar, dan juga untuk mengejar jawaban, melainkan untuk jujur—pada dirinya sendiri, dan pada perempuan yang sudah mulai memenuhi ruang hatinya.
Malam itu, rumah sakit mulai sepi. Shift jaga hampir berganti, dan langit di luar mendung, seperti ikut merasakan keraguan yang memenuhi benak Hanif. Ia berdiri di depan ruang perawat, menunggu Sekar yang baru saja menyelesaikan laporan harian. Lampu lorong rumah sakit redup, dan aroma antiseptik terasa menyengat. Tapi Hanif tak peduli. Jantungnya berdebar tak menentu, tapi ia tahu: ini saatnya.
Saat Sekar keluar, langkahnya terhenti ketika melihat Hanif. Ada keraguan di matanya, seperti belum siap menghadapi apa pun yang mungkin terjadi.
“Kamu nungguin aku dari tadi di sini?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan.
Hanif mengangguk. “Kita bisa ngobrol sebentar? Ada yang harus aku ungkapin ke kamu.”
Sekar menatapnya sejenak, membaca sorot mata Hanif yang tak menunjukkan tekanan. Hanya ada ketulusan, dan itu yang membuatnya mengangguk pelan. Mereka berjalan ke taman kecil di sisi rumah sakit. Tempat itu sunyi, hanya diterangi lampu taman yang temaram. Pepohonan bergoyang pelan tertiup angin malam. Aroma tanah basah menguar samar, menenangkan.
Hanif menunjuk bangku kayu di sudut, dan mereka duduk berdampingan, dalam diam yang tak terlalu canggung. Sekar merapatkan jaket putihnya. Angin malam mulai menusuk kulit.
“Aku nggak akan bahas soal nikahan Hana lagi,” Hanif memulai, suaranya rendah tapi mantap. “Aku cuma pengen kamu tahu sesuatu. Aku tidak bisa memendam ini lebih lama lagi.”
Sekar menoleh perlahan, diam tapi memperhatikan apa yang akan di ungkapkan oleh Hanif.
Hanif menarik napas panjang, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri. “Aku pernah tunangan, Sekar. Kamu tahu itu. Tapi yang mungkin kamu belum tahu kalau aku yang membatalkan pernikahan itu.”
Sekar tak berkata apa-apa, tapi wajahnya berubah. Kaget dengan apa yang ia dengarkan dengan penuh tanya.
“Aku tahu banyak orang mikir aku ditinggal. Faktanya, memang dia sempat ragu. Tapi waktu itu aku juga udah mulai ngerasa... kami bukan pasangan yang cocok. Kami terlalu berusaha saling menyenangkan, sampai lupa diri sendiri. Aku merasa kehilangan arah, dan dia juga begitu. Tapi aku yang akhirnya bilang, ‘kayaknya kita cukup sampai di sini aja. Ini tidak bisa di pertahankan lagi.’”
Ia memutar cincin tipis di jarinya, kenangan itu tampak jelas di matanya. “Sejak saat itu, aku berhenti percaya bahwa hubungan bisa sembuh dengan sendirinya. Nggak bisa berharap waktu aja yang menyembuhkan. Yang dibutuhkan adalah kejujuran, keberanian... dan penerimaan.”
Sekar masih menatapnya, matanya kini lebih lembut. Ia tak memotong, tak berusaha menafsirkan. Ia hanya menyimak, dan itu yang membuat Hanif terus bicara.
“Waktu kamu bilang kamu belum siap, aku kecewa saat mendengarkan jawaban kamu iti. Tapi aku juga sadar, aku nggak bisa maksa. Aku cuma ingin kamu tahu, Sekar... aku lihat kamu sebagai perempuan yang kuat. Bahkan ketika kamu merasa rapuh.”
Hanif menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu.
“Aku tahu kamu berjuang. Aku lihat itu setiap hari. Kamu kerja keras, kamu sabar, kamu nggak pernah ngeluh meski terlihat capek. Kamu jalanin semuanya sendiri, dan kamu tetap berdiri. Itu bukan hal yang gampang. Dan bagiku, itu luar sangat biasa.”
Suara Hanif menurun, menjadi lebih lembut. “Aku nggak minta kamu jadi milikku sekarang. Aku nggak akan paksa kamu datang ke pernikahan Hana. Tapi aku pengen kamu tahu... aku ada di sini untuk kamu. Aku nggak pergi sedikit pun. Aku akan tetap berdiri di sisimu, bahkan kalau kamu masih butuh waktu untuk berdamai dengan dirimu sendiri.”
Sekar menggigit bibir bawahnya. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan air mata itu agar tidak jatuh. Bahunya sedikit bergetar, seperti menahan gemuruh emosi yang selama ini ia kubur dalam-dalam.
“Kamu tahu apa yang paling bikin aku takut?” bisiknya akhirnya. “Bukan penilaian orang lain. Bukan juga keluarga kamu. Tapi... aku takut kamu akan pergi begitu kamu sadar aku bukan perempuan yang cukup.”
Hanif menggeleng. Ia mendekat sedikit, suara dan tatapannya lembut seperti pelukan.
“Kamu nggak harus jadi cukup untuk siapa pun, Sekar. Kamu hanya perlu jadi dirimu sendiri. Dan buatku, itu sudah lebih dari cukup.”
Air mata yang tadinya Sekar tahan, akhirnya jatuh juga. Ia buru-buru menyekanya, malu tapi juga lega. “Kenapa kamu bisa sebaik ini?” gumamnya. “Aku bukan siapa-siapa, Hanif. Aku cuma perempuan biasa dengan masa lalu yang berantakan.”
Hanif tersenyum pilu. “Mungkin karena aku tahu rasanya ingin dimengerti, tapi malah dihakimi. Mungkin karena aku juga pernah merasa nggak cukup, dan nggak ada yang meyakinkan aku bahwa diriku layak diperjuangkan. Jadi sekarang, aku pengen jadi orang itu buat kamu.”
Sekar terdiam lama. Angin malam berembus pelan, membawa keheningan yang tak lagi sunyi, tapi menenangkan.
“Kadang aku bangun pagi dan merasa bahwa aku nggak pantas dicintai siapa-siapa, apa lagi harus ” ujarnya lirih.
Hanif menghela napas pelan. “Kalau kamu tahu berapa kali aku pengen bilang betapa berharganya kamu... mungkin kamu bakal ngerti kenapa aku masih di sini.”
Sekar menatap Hanif, tatapannya mulai melembut. Ada kepercayaan yang mulai tumbuh, meski masih kecil dan rapuh. Ia tahu luka di dalam dirinya belum sembuh sepenuhnya. Tapi untuk pertama kalinya, ia tak ingin terus lari dari seseorang yang tulus menunggu.
“Aku nggak janji bisa berubah cepat,” katanya. “Tapi aku janji, aku akan coba. Pelan-pelan.”
Hanif mengangguk. “Itu lebih dari cukup buatku. Aku pun tidak akan menyuruh kamu berubah secepatnya. Jadi saja apa yang kamu mau dan inginkan.”
Mereka tak lagi bicara. Sekar menyandarkan kepalanya di bahu Hanif. Bukan karena ia sudah sembuh, bukan karena ia tak lagi ragu—tapi karena malam itu, untuk pertama kalinya, ia percaya bahwa luka bisa sembuh, jika ada seseorang yang mau menunggui prosesnya.
Dan Hanif, malam itu, memantapkan hatinya. Bahwa apapun yang terjadi ke depan, ia akan tetap di situ. Menunggu. Menemani. Mendampingi. Karena cinta, bagi Hanif, bukan soal kepemilikan—tapi soal keberanian untuk tinggal, bahkan saat belum ada jaminan apa pun.
***