ELINA seorang guru TK yang tengah terlilit hutang warisan dari kedua orangtuanya terus terlibat oleh orang tua dari murid didiknya ADRIAN LEONHART, pertolongan demi pertolongan terus ia dapatkan dari lelaki itu, hingga akhirnya ia tidak bisa menolak saat Adrian ingin menikah kontrak dengannya.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bisa berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiedha saldi sutrisno, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14: Latar Belakang
Setelah malam panjang di kediaman keluarga Leonhart, segalanya perlahan kembali ke tempat semula.
Adrian kembali larut dalam dunia bisnisnya yang padat dan tak kenal jeda. Rapat-rapat, jadwal yang berjejalan, serta tanggung jawab yang terus menumpuk membuatnya kembali menjadi sosok pria sibuk yang jarang terlihat tanpa telepon di tangan.
Sementara itu, Elina kembali ke ruang kelasnya yang hangat dan penuh tawa. Ia mengajar seperti biasa, tersenyum pada anak-anak kecil yang datang berlarian, memeluk mereka, membacakan cerita, dan menenangkan tangis dengan kelembutan yang khas. Tapi di dalam hatinya, ada satu keputusan besar yang baru saja ia ambil.
Ia tak kembali lagi ke klub malam itu.
Pada suatu malam, Elina datang ke tempat itu bukan untuk bekerja, tapi untuk menemui Renata, sahabat lamanya yang telah merekomendasikan pekerjaan tersebut. Dengan tatapan lembut namun penuh penyesalan, Elina mengucapkan terima kasih dan sekaligus perpisahan.
"Aku berutang padamu karena pernah membantuku di saat sulit," ucap Elina pelan, "tapi aku tidak bisa melanjutkan ini lagi. Ini bukan jalanku... dan aku terlalu banyak mempertaruhkan yang tidak seharusnya."
Temannya mengangguk, tak sepatah pun menyalahkan. Kadang yang terbaik memang bukan bertahan, tapi memilih pergi dengan kepala tegak.
Hari-hari pun berjalan. Sesekali, Claire kecil akan datang ke rumah kontrakan Elina, membawa serta tawa polos dan semangat yang tak pernah habis. Adrian, yang sibuk dengan pekerjaannya, mulai bergantung pada Elina untuk menjaga putrinya di waktu-waktu mendesak.
"Bisakah Claire tinggal bersamamu malam ini?" tanya Adrian suatu sore melalui sambungan telepon. "Aku terjebak urusan mendadak."
Elina hanya menjawab dengan senyum samar meski Adrian tak bisa melihatnya. "Tentu. Claire selalu diterima di sini."
Dan begitulah, tanpa disadari, mereka membentuk irama baru... tenang, belum pasti, tapi mengalir seperti kehidupan itu sendiri. Tidak ada janji, tidak juga kepastian. Namun di antara rutinitas dan keheningan, tumbuh sesuatu yang pelan tapi nyata: kepercayaan.
...****************...
Rumah kontrakan Elina sederhana. Dindingnya dicat putih pucat, ada meja makan kecil di sudut dapur, dan sofa tua. Namun bagi Claire, rumah itu seperti dunia kecil yang menyenangkan, tempat ia bisa berlari-lari tanpa takut memecahkan sesuatu yang mahal atau dimarahi karena tertawa terlalu keras.
"Miss Elinaaa!" suara Claire nyaring terdengar dari pintu depan, begitu Adrian menurunkannya di hari yang sibuk.
Elina, yang sedang menjemur cucian di halaman belakang, buru-buru masuk. "Claire sayang, pelan-pelan, nanti jatuh," katanya lembut, mengulurkan tangan untuk menyambut bocah kecil itu.
Claire memeluknya erat. Dengan rambut hitam ikal yang diikat dua, pipinya memerah oleh semangat dan senyum tak pernah lepas dari wajahnya.
"Aku bawa bonekaku! Kita bisa main sekolah-sekolahan, kan?"
Elina tertawa kecil, menggandeng tangan mungil itu masuk ke rumah. "Tentu bisa. Tapi sebelum itu, bagaimana kalau kita makan dulu? Miss Elina buatkan pancake."
"Pancake! Dengan sirup manis dan potongan pisang?"
"Siapa yang mengajari kamu jadi pintar minta topping segala?" Elina mencubit lembut hidung Claire, dan bocah itu hanya terkekeh geli.
Hari-hari seperti itu menjadi pengisi ruang kosong dalam hati Elina, ruang yang selama ini ia kira sudah tertutup rapat. Ia menyisir rambut Claire setelah mandi, membacakan dongeng dengan suara-suara lucu, bahkan tertidur sambil memeluk tubuh kecil itu.
Dan setiap kali Claire tertidur, Elina memandangi wajah mungil itu dalam diam. Ada kedamaian yang tidak bisa ia ungkapkan. Sesuatu yang selama ini tak pernah ia bayangkan hadir dalam hidupnya.
Malam-malam itu, Claire akan memeluknya erat dan berbisik, "Aku suka tinggal di sini, Miss Elina. Kamu lembut... kayak mama di cerita-cerita."
Elina tak pernah membalasnya dengan kata-kata. Hanya seulas senyum dan kecupan di kening. Tapi dalam hatinya, kalimat kecil itu seperti air hangat yang mengalir ke dalam luka-luka lama. Claire bukan darah dagingnya. Tapi cinta, rupanya, tak pernah mengenal garis keturunan.
Kadang, saat memandangi anak itu tertidur di pelukannya, Elina bertanya-tanya... apakah ia sudah cukup kuat untuk menjadi seseorang yang bisa Claire andalkan lebih dari sekadar pengasuh? Apakah ia bisa menjadi 'ibu', bukan hanya dalam sebutan, tapi dalam arti yang sebenarnya?
Pertanyaan itu belum dijawab, tapi hari demi hari, ia mulai merasakan jawabannya tumbuh... dari pelukan-pelukan kecil, dari tawa Claire, dan dari perasaan tak terbantahkan yang makin lama makin mendalam.
...****************...
Malam di kediaman Leonhart telah berlalu dalam keheningan yang menyisakan banyak pikiran. Lampu-lampu mewah di ruang tamu telah diredupkan, hanya menyisakan cahaya lembut dari lampu-lampu dinding antik. Namun di kamar pribadi Elizabeth Leonhart, cahaya lampu tetap terang. Wanita tua itu duduk tegak di kursi berlapis beludru biru tua, dengan secangkir teh yang sudah dingin di atas meja kecil di sisinya.
"Hubungi Gregory," ucapnya pelan namun tegas kepada pelayannya yang setia berdiri di pintu.
Tak butuh waktu lama, pria tua berpakaian gelap dengan wajah tenang dan sorot mata tajam masuk, menyapa dengan hormat. "Nyonya."
"Aku ingin tahu semuanya tentang Elina," katanya tanpa basa-basi, menatap lurus ke depan. "Setiap langkahnya. Masa lalunya. Siapa dia, apa yang pernah dia lakukan. Semuanya."
Gregory mengangguk, seperti sudah sangat terbiasa dengan permintaan macam itu. Tapi sebelum ia berbalik untuk pergi, Elizabeth menambahkan, "Dia memang cantik. Punya sikap yang tenang, dan tidak terlalu banyak bicara. Tapi itu tidak cukup untuk menjadi bagian dari keluarga Leonhart. Aku ingin tahu... apa yang ia sembunyikan."
Beberapa hari kemudian, berkas tipis diletakkan di hadapan Elizabeth. Ia membukanya perlahan, mata tuanya menelusuri setiap baris informasi yang disusun rapi.
Elina . Usia 27 tahun. Lulusan akademi pendidikan anak usia dini. Tidak memiliki keluarga dekat. Ayah, Ibunya meninggal.
Riwayat pekerjaan: guru tetap di TK swasta, paruh waktu sebagai penjaga toko buku, guru les private dan... dua malam bekerja di sebuah klub malam lokal. Dikonfirmasi lewat rekaman kamera dan pengakuan saksi.
Riwayat keuangan saat ini: stabil. Semua utang telah dilunasi. Tidak memiliki kendaraan pribadi, tinggal di rumah kontrakan di pinggiran kota. Tidak ada catatan kriminal.
Hubungan dengan Adrian Leonhart: belum diketahui pasti status mereka. Namun interaksi emosional antara Elina dan putri Adrian, Claire Leonhart, cukup kuat dan konsisten.
Elizabeth menutup berkas itu pelan. Wajahnya tetap datar, tidak menunjukkan emosi. Tapi jemari tuanya mengetuk-ngetuk sandaran kursi dengan ritme yang lambat, tanda bahwa pikirannya bekerja keras menimbang-nimbang.
"Wanita seperti itu," gumamnya pelan, "jelas bukan pilihan ideal. Tidak berasal dari keluarga terpandang. Terlalu banyak noda dalam latar belakangnya, meski kecil dan singkat. Klub malam..." matanya menyipit, jijik. "Dua malam terlalu cukup untuk membuatku ragu."
Namun kenangan akan malam itu... Claire yang tertidur di pelukan Elina, tawa kecil gadis itu saat memanggil nama gurunya dengan manja, bahkan caranya memandang Elina seolah menemukan surga kecil yang aman, semuanya kembali terngiang di benaknya.
Itu bukan sesuatu yang bisa dibuat-buat. Bukan sesuatu yang bisa dibeli.
Elizabeth berdiri dari kursinya, berjalan ke jendela besar yang menghadap taman belakang. Udara malam menyelinap masuk lewat celah, dingin dan hening.
"Dia bukan perempuan yang akan kusambut dengan karpet merah," bisiknya sendiri. "Tapi Claire... anak itu mulai membuka celah dalam kekakuanku. Dan aku tak bisa mengabaikan seseorang yang bisa membuat cucuku merasa dicintai."
Diam-diam, ia mulai menyusun langkah berikutnya.