Dia terjerat dalam sebatas ingatan dimana sebuah rantai membelenggunya, perlakuan manis yang perlahan menjeratnya semakin dalam dan menyiksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebalikan
Valeri menatap pria tinggi besar yang sedang berpatroli di kawasan rumahnya. Kenapa orang itu bisa muncul di mimpinya. Apakah itu bukan mimpi? Apakah itu ingatan masalalunya yang muncul di alam bawah sadarnya?
Tapi jika kejadian demi kejadian di mimpinya itu benar terjadi. Kenapa dia mengalaminya. Dan kenapa pengawal itu menyakitinya?
Valeri keluar dari kamar saat melihat mobil Mario memasuki pelataran. Begitu akan menuruni tangga Valeri mengeryit saat melihat Mario diikuti Rey pergi ke arah ruang kerja pria itu.
Langkah Valeri bergerak untuk turun, hingga dia tiba di lantai satu.
Valeri melangkah ke ruang kerja Mario dimana pria itu berada, dan mendorong pintu dengan pelan.
"Katakan padanya obatnya hampir habis..." Valeri menggigit bibirnya saat mendengar suara Mario di dalam sana.
"Akan saya sampaikan. Tapi Tuan, anda ingat bukan konsekuensinya jika Nona mengunsumsi obat itu setiap hari?" Mata Valeri menajam dengan tangan yang mulai bergetar. Bukankah Nona yang di maksud Rey adalah dirinya? Lalu obat apa yang di maksud Mario?
"Aku tahu."
"Saya khawatir jika-"
"Jangan pergi terlalu jauh, Rey!" nada suara Mario penuh dengan peringatan.
"Tuan, obat itu bisa menyebabkan kelumpuhan permanen, dan juga gangguan otak." Valeri menutup mulutnya saat mendengar suara Rey.
"Lalu kenapa?" Mario berkata dingin.
"Tuan, yang terjadi di masa lalu bukan kesalahan Nona Valeri." Valeri semakin terkejut saat mendengar namanya di sebut. Jadi yang di maksud benar-benar dirinya?
"Nona, kau sedang apa?" Valeri berjengit dan langsung menegakkan tubuhnya saat pelayan menegurnya.
Jantung Valeri berdebar amat kencang saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Sepertinya Mario dan Rey mendengar suara pelayan tadi dan mereka segera keluar.
Valeri menelan ludahnya kasar saat pintu terbuka dan benar-benar menampilkan Mario diikuti Rey di belakangnya.
"Sayang?" panggilnya.
Valeri tersenyum, sekuat tenaga dia berusaha membuat rautnya seperti biasanya. "Sejak kapan kau disini?" Mario mengerutkan keningnya, namun wajahnya masih nampak tenang untuk seseorang yang baru ketahuan.
"Baru saja, aku melihat mobilmu datang, jadi aku menyusul kesini. Apa aku mengganggumu?" Valeri meringis tak enak hati.
Mario tersenyum. "Tidak." Mario mendekat dan memeluk Valeri. Untuk pertama kalinya Valeri merasa pelukan Mario begitu menakutkan. Apa yang Mario katakan tentangnya tentu saja membuatnya takut.
"Apa yang kau lakukan hari ini?" tanya Mario dengan mendorong bahu Valeri dengan lembut.
"Hanya duduk di kursi belakang."
"Baiklah. Apa makan malam sudah siap?" tanya Mario tanpa menoleh pada pelayan, matanya justru terus menatap Valeri dangan mengusapi rambutnya.
"Sudah, Tuan."
"Kalau begitu kita makan malam dulu ... Rey kau boleh pulang." Lagi, ucapan itu tanpa memalingkan wajahnya dari Valeri.
"Baik, Tuan."Mario menggandeng Valeri pergi ke ruang makan.
Seperti biasa Valeri akan duduk di pangkuan Mario dan menyuapi pria itu. Jika saat pertama dia melakukannya Valeri hanya merasa canggung. Kali ini Valeri merasa ada ketakutan dalam dirinya saat duduk di pangkuan Mario.
Benarkah pria ini berniat mencelakainya? Pria ini bertingkah kebalikan dengan sikapnya yang seolah mencintainya dan berlaku lembut padanya.
Kenapa? Apa karena orang tuanya yang sudah menyebabkan kerugian padanya? Mario sedang menuntut balas? Tapi ini jelas bukan salahnya. Dia tak tahu apapun tentang kesalahan yang dilakukan orang tuanya
Lalu bagaimana bisa Mario memperlakukannya dengan lembut? Apakah semua yang pria di depannya ini tunjukkan adalah kepalsuan? Untuk apa? Untuk menyiksanya perlahan?
Tentu saja. Bukankah dia sudah mendengarnya. Obat yang di berikan pria itu adalah obat yang berbahaya. Apakah pria ini ingin dia mati perlahan?
"Sekarang minum obatmu?" Valeri melihat tangan Mario yang mengulurkan sebuah kapsul obat.
Ini dia obat yang Mario bicarakan...
"Ayolah, Sayang. Mau kamu yang meminumnya sendiri atau aku yang memberikannya." Valeri menelan ludahnya saat mengingat Mario menciumnya demi memasukan obat itu ke dalam mulutnya.
"Aku yang akan minum sendiri." Valeri mengambil obat di tangan Mario lalu memasukkannya ke dalam mulutnya, dan meneguk air.
"Gadis pintar." Mario mengusak rambutnya.
"Sampai kapan aku meminum obat ini?" tanya Valeri memastikan.
"Sampai kamu sembuh."
Dan kebalikannya adalah mungkin sampai dia mati
Valeri tersenyum di balik jantungnya yang berdebar kencang. "Aku mau ke toilet."
"Baiklah." Mario melepaskan Valeri hingga gadis itu segera berjalan ke arah kamar mandi.
Dengan mata tajamnya Mario melihat punggung Valeri menjauh, lalu menoleh pada Hilda yang berdiri tak jauh darinya.
"Apa yang dilakukannya, hari ini?"
"Nona duduk di kursi belakang sambil membaca buku."
"Hanya itu?"
"Selebihnya Nona di kamar dan menonton."
Mario mengangguk. "Jangan pernah sembunyikan apapun dariku Hilda."
Hilda menunduk. "Saya tidak berani, Tuan."
Di kamar mandi, Valeri memuntahkan obat yang dia tahan di belakang lidahnya. Valeri melihat bentuk obat yang seperti obat pada umumnya itu, lalu memasukannya ke dalam closet.
Mario bilang obat ini adalah obat agar dia mengingat kembali ingatan yang hilang. Apakah itu berarti obat ini untuk menghambat ingatannya kembali.
Kemungkinan mimpi buruknya memang kenyataan semakin besar. Jika Mario ingin dia tak mengingat apapun di lima tahun terakhir yang dia lupakan, bukankah ada yang tidak beres dengan lima tahun terakhir ini? Lalu apakah selama ini hidupnya terus mendapat penyiksaan?
Tubuh Valeri bergetar hingga dia harus berpegangan pada tepi wastafel untuk menopang dirinya.
Kepalanya tiba-tiba berdenyut nyeri, rasanya sangat sakit hingga Valeri tak bisa menahannya dan jatuh tak sadarkan diri.
"I, Mario Delan Re, take you, _____ _____, to be my wife, and I pledge to love, honor, and cherish you, to be faithful to you, and to walk alongside you in faith, for the rest of my life. I will support you, encourage you, and love you unconditionally, as Christ loved the church."
Valeri membuka matanya dengan terkejut. Lalu matanya menatap takut pada Mario yang duduk di ujung ranjang dengan menatapnya. "Sudah bangun, bagaimana perasaanmu?" Mario mengusap rambut Valeri yang basah karena keringat.
Valeri sedikit menjauh, lalu mengusap rambutnya sendiri. "A-apa yang terjadi?" tanyanya dengan gugup.
"Kamu pingsan saat di toilet."
"Kamu tahu kamu membuatku takut."
"M-maaf," ucap Valeri dengan gagap.
"Tidak masalah. Yang penting kau baik- baik saja."
Valeri menghela nafasnya berusaha membuat dirinya tenang. Dia tak boleh menunjukkannya di depan Mario. Bagaimana pun dia belum tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Mimpi aneh itu kembali muncul. Kali ini di dalam mimpinya Mario tengah mengucapkan janji suci namun yang membuat Valeri terkejut dia tak menemukan senyum bahagia di wajahnya, dan justru air matanya berjatuhan. Jelas itu bukan air mata kebahagiaan, itu air mata kesedihan dan penderitaan.
Lalu nama yang di sebutkan Mario ... mata Valeri mengeryit saat dia tak mendengar namanya di sebut. Apa yang dia lewatkan?
"Apa yang kau pikirkan?" Mario mengusap dahi Valeri yang berkerut dalam.
Valeri menggeleng.
"Sekarang kita tidur." Mario membuka kemejanya menampakkan tubuh kerasnya. Pria itu naik dan masuk ke dalam selimut. "Kemari," ucapnya agar Valeri mendekat.
Valeri mendekat dan memeluk Mario, pipinya bersandar di dada telanjang pria itu, hingga dia merasakan kehangatan menjalari pipinya. Andai dia tak mendengar percakapan Mario tadi, mungkin dia akan semakin terbuai dengan perlakuan pria yang kini memeluknya dan mengusapi punggungnya. Bagaimana pun Valeri mulai nyaman dengan perlakuan Mario. Tapi kenapa dia justru harus mengetahui kenyataan jika pria yang perlahan mulai dia kagumi ini tidak tulus.
"Karena kamu sedang tidak sehat, malam ini aku tidak akan mengganggu tidurmu." Valeri mendongak menatap Mario. Disaat yang sama Mario menunduk, lalu mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.