"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ Bab 10
Ketika Camilla membuka matanya lagi, ia merasa seperti terbangun di pemakaman, dia bisa melihat Mary bersama para pelayan yang berkumpul di sekitarnya, mereka terisak-isak sambil menyeka air mata mereka.
"Huh.." Sebuah helaan nafas lolos darinya, setelah itu Camilla menggeleng kesal.
"Memangnya aku sudah mati sampai kalian semua menangis seperti ini?"
Suara Camilla terdengar lemah namun masih bisa membuat semua yang ada disana mendengarnya.
“Ugh, Yang Mulia!"
Di antara mereka, Mary adalah yang paling menyedihkan, mungkin karena ia menyaksikan bagaimana Camilla ambruk tepat di depan matanya, ia tak bisa berhenti menangis hingga kini.
Hidungnya berair, membentuk gelembung-gelembung kecil yang keluar-masuk saat ia terisak.
Camilla menepis tangan yang mencoba menopangnya dan mencoba untuk duduk sendiri.
Mengingat betapa sakitnya ia sebelumnya, tubuhnya terasa sangat ringan. Rasa sakitnya memang hebat saat itu, tetapi untungnya, tampaknya tidak meninggalkan efek yang berkepanjangan.
"Aku baik-baik saja, jadi sudahlah. Kalau kamu tidak ada kegiatan lain, setidaknya bawakan aku minuman yang menyegarkan."
Ia mengusir mereka dengan tidak sabar. Begitu ia berbicara, para pelayan berhamburan ke berbagai arah, satu bergegas mengambil anggur buah kesukaannya, yang lain bergegas membawa kue kering yang baru dipanggang.
Setelah gerombolan berisik itu pergi, ia akhirnya bisa bernapas lega, Camilla mengacak-acak poninya yang acak-acakan dan dengan malas mengusap tengkuknya.
Saat dia meregangkan badan, memiringkan kepalanya dari sisi ke sisi hingga menyentuh bahunya, dia tiba-tiba melihat siluet samar di balik kanopi.
Camilla membeku sesaat.
Sambil mencondongkan tubuhnya ke depan dan mencengkeram tepi tempat tidur, dia akhirnya dapat melihat dengan jelas sosok yang tersembunyi di balik tirai putih tipis.
Matanya yang terbelalak melirik ke atas dan ke bawah. Tatapannya yang terkejut mendarat pada wajah yang dikenalnya, dan bibirnya terbuka karena terkejut.
“Yang Mulia.. Mengapa Anda ada di sini?”
“Saya ada urusan yang harus diselesaikan, tapi saya tiba tepat waktu dan menyaksikan keributan itu.”
Arthur bersandar malas di sandaran sofa tempat Camilla duduk sebelumnya, sikunya bertumpu di sana. Di tangannya, sebuah sapu tangan menjuntai, mengisyaratkan alasan kunjungannya.
Sambil mendesah singkat, Arthur menghampiri. Ia tak hanya mendorong Camilla agar tak jatuh ketika ia mencoba bangun dari tempat tidur, tetapi juga menyodok bahunya, membuatnya terlentang di kasur.
“Demi para pelayanmu yang menyedihkan, mengapa kau tidak tinggal di sini sebentar saja?”
"Saya baik-baik saja."
“Setidaknya berpura-puralah.”
Nada bicaranya yang acuh tak acuh membuat orang sulit mengetahui apakah dia benar-benar khawatir atau hanya mengejeknya.
Satu hal yang pasti, Camilla merasa sulit menolak perintah Arthur. Jadi, sesuai instruksi, ia bersandar di bantal empuk, mengedipkan mata besarnya.
Arthur menatapnya sejenak sebelum tertawa pelan.
“Kamu lebih lemah dari yang aku kira.”
Camilla tak mengerti apa itu sebuah candaan atau tidak karna senyum Arthur terlihat tidak mengejek.
“Atau mungkin kamu memang rapuh seperti kelihatannya?”
Meskipun badannya terlihat tampak rapuh, seolah-olah ia bisa hancur kapan saja, namun dia dibesarkan di keluarga bangsawan dimana mereka memiliki makanan terbaik, rambut dan kulitnya berkilau sehat, namun berat badannya tak pernah tampak bertambah.
Lengan dan kakinya ramping, dan pinggangnya hampir tak terlihat di balik kain tipis pakaiannya.
Arthur mengetuk lututnya dengan jari-jarinya yang panjang, tenggelam dalam pikirannya sebelum akhirnya berbicara.
"Aku dengar dari dayangmu bahwa berkat saran mu sehingga Duchess Vandell terhindar dari bencana."
"Aku harus menyampaikan rasa terima kakasihku, bagaimana jika aku mengajarimu cara memakai pedang?"
Camilla terkejut, memang wajar jika anggota kerajaan memiliki keterampilan lain, bukan hanya di bakat seni, jadi Camilla juga bisa memilih jika ingin belajar berburu memakai panah atau pedang.
"Anggap saha pelajaran ini sebagai caraku membalas budimu. Setelah kau merasa lebih baik, kirim kabar ke Saint Palace."
Setelah itu, ia bangkit dari tempat duduknya tanpa ragu, menandakan percakapan telah berakhir, Camilla duduk di sana, tercengang, sementara Athur melangkah menuju pintu.
“Tunggu, serius?!”
Arthur meninggalkan ruangan tanpa menoleh, meninggalkan suara Camilla yang kebingungan menggantung di udara.
Saat itu, sekelompok pelayan masuk, membawa nampan berisi makanan untuknya. Sambil menundukkan kepala dengan hormat, Arthur tidak menghiraukan mereka, tatapan dinginnya justru tertuju pada nampan perak itu.
Hal-hal yang benar-benar manis dan menyenangkan.
“Sepertinya mamu punya selera anak-anak.” (Menyukai cemilan)
Setelah mengucapkan komentar singkat, dia melanjutkan berjalan.
***
Harapan sudah mulai tumbuh. Jika semuanya berjalan lancar, ia mungkin bisa menjalin hubungan dengan Arthur, kini Camilla menambahkan satu tujuan lagi ke dalam ambisi hidupnya.
Untuk menjadikan Arthur seorang kaisar dan menjadi tangan kanannya.
Tidak, Aiden kemungkinan besar sudah mengklaim posisi itu, jadi mungkin tangan kirinya saja...?
Tentu saja, waktu yang tersisa kurang dari tiga tahun, tetapi jika suasana ini terus berlanjut, itu bukan hal yang sepenuhnya mustahil. Jika ia bisa mewujudkan keinginannya ini, ia merasa bisa memejamkan mata dengan tenang.
Dia tidak meminta cinta. Kepercayaan saja sudah cukup.
Camilla menatap pintu yang baru saja tertutup rapat setelah Arthur pergi. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya, sementara tangan mungilnya otomatis meraih salah satu kue kering yang diletakkan para pelayan di atas meja kecil di samping tempat tidur.
Ia menggigitnya dengan perlahan, merasakan manis legit yang lumer di lidahnya, seakan mengusir sedikit kekesalan sekaligus kegugupannya.
“Yang Mulia.. kau benar-benar.." gumamnya pelan, pipinya sedikit memerah tanpa ia sadari.
Mary, yang sudah berhenti terisak tapi matanya masih bengkak, maju dengan ragu. Ia memandang Camilla penuh khawatir, namun juga tak bisa menahan rasa penasaran.
“Yang Mulia.. apakah Pangeran Arthur baru saja menawarkan.. pelajaran pedang kepada Anda?” suaranya bergetar, seolah tidak percaya apa yang ia dengar tadi.
Camilla mengangkat alis, lalu mengunyah kue itu hingga habis sebelum menjawab dengan malas.
“Itu memang terdengar konyol, bukan? Aku, memegang pedang? Bukankah itu lebih cocok untuk prajurit atau setidaknya pria?”
Mary menunduk, namun ada senyum kecil di wajahnya.
“Bukan konyol, Yang Mulia. Itu kehormatan. Hanya sedikit wanita bangsawan yang mendapat kesempatan seperti itu.”
Camilla menghela napas, meneguk anggur buah yang baru dituangkan pelayan, lalu menatap Mary dengan pandangan setengah bercanda.
“Entah itu kehormatan atau jebakan. Bagaimana jika dia hanya ingin menertawakanku ketika aku tak mampu mengangkat pedangnya?”
Mary menggeleng cepat, matanya berbinar penuh keyakinan.
“Tidak, Yang Mulia. Saya rasa Pangeran Arthur tulus. Beliau tidak mungkin memberikan waktu berharga untuk sesuatu yang dianggap remeh. Saya.. saya pikir beliau ingin menguji sekaligus mempercayai Anda.”
Ucapan itu membuat Camilla terdiam sesaat. Ia meletakkan gelasnya, lalu menopang dagunya dengan satu tangan. Ada sinar berbeda di matanya, campuran antara ambisi dan kebingungan.
“Percaya, ya? Hm.” Ia menoleh ke arah kue-kue di atas nampan, mengambil satu lagi, dan tersenyum tipis.
“Mungkin kau benar, Mary. Kalau begitu.. sepertinya aku harus mulai membiasakan diri memegang sesuatu yang lebih berat daripada garpu perak.”
Mary menutup mulutnya, menahan tawa kecil mendengar gurauan itu, meski wajahnya masih penuh kekhawatiran.
“Yang Mulia memang selalu punya cara bicara yang berbeda.."
Camilla terkekeh pelan, lalu menyuapkan kue ke mulutnya sendiri lagi dengan penuh selera.
“Bagaimanapun, aku tidak bisa membiarkan kesempatan itu lewat begitu saja. Jika benar Arthur ingin memberiku kepercayaan, aku tidak akan menyia-nyiakannya.”
Ia menatap ke arah pintu, senyum samar tergambar di wajahnya, seakan membayangkan masa depan yang perlahan mulai terbuka di depannya.