Alaska Arnolda, CEO terkenal Arnolda, terpaksa menanggalkan jas mewahnya. Misinya kini: menyamar diam-diam sebagai guru di sebuah SMA demi mencari informasi tentang pesaing yang mengancam keluarganya. Niat hati fokus pada misi, ia malah bertemu Sekar Arum Lestari. Gadis cantik, jahil, dan nakal itu sukses memenuhi hari-hari seriusnya. Alaska selalu mengatainya 'bocah nakal'. Namun, karena suatu peristiwa tak terduga, sang CEO dingin itu harus terus terikat pada gadis yang selalu ia anggap pengganggu. Mampukah Alaska menjaga rahasia penyamarannya, sementara hatinya mulai ditarik oleh 'bocah nakal' yang seharusnya ia hindari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BabyCaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 - Lingkungan Yang Baik
Suasana malam di kawasan perumahan mewah itu terasa sunyi, hanya ditemani cahaya lampu jalan yang temaram dan hembusan angin lembut yang membuat dedaunan bergesekan pelan. Mobil Alaska berhenti tepat di depan pagar rumah berdesain minimalis modern.
Arum turun dengan langkah ragu, sedangkan Alaska berjalan di belakangnya, tangan satu berada di saku celananya dan wajah tetap dingin seperti biasa. Aroma wangi hutan pinus dari parfum Alaska samar-samar tercium, menambah rasa canggung yang dirasakan Arum sepanjang perjalanan.
“Tapi sebelum itu ganti baju mu,” ucap Alaska singkat sambil melempar sebuah paper bag ke arah Arum begitu gadis itu berdiri di luar mobil.
Arum hampir tidak menangkapnya, tapi dengan reflek tangannya meraih tas kertas itu. Isinya cukup berat, dari tekstur bahan dan warnanya saja sudah jelas itu bukan barang murah. Gadis itu menatap Alaska dengan kebingungan.
“Pak, tapi semua barang saya ada di rumah Kak Dian. Saya juga harus pamitan sama beliau dulu,” ucap Arum pelan, suaranya terdengar seperti seseorang yang takut menyinggung.
Alaska menatapnya sebentar, lalu bertanya, “Sekarang?”
Arum mengangguk pelan. “Kalau bisa sekarang ya sekarang. Emang saya besok-besok boleh ketemu sama Kak Dian lagi?” tanyanya, kali ini dengan tatapan polos yang membuat Alaska menghela napas seolah sedang menahan emosi sendiri.
“Jangan bergaul dengan orang-orang seperti mereka,” jawab Alaska datar namun tegas, nadanya mengandung larangan yang tidak bisa dibantah.
Arum menunduk, memainkan paper bag di tangannya. Setelah beberapa detik hening, Alaska mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Arum tidak tahu siapa yang dihubungi pria itu, hanya mendengar suara rendah Alaska berbicara singkat sebelum menutup telepon. Begitu telepon selesai, mobil kembali melaju menembus jalanan kota.
Di dalam mobil, Arum mencuri pandang ke arah Alaska. Ia baru benar-benar sadar, setelah bekerja di klub, mana mobil kelas biasa dan mana yang supermahal. Dan mobil Alaska ini? Jelas bukan mobil guru biasa.
“Bapak ini pengedar narkoba ya?” tanya Arum tiba-tiba.
Alaska hampir memukul setir karena kaget. “Hah, maksudmu?” tanyanya sambil melirik gadis itu sekilas sebelum kembali fokus mengemudi.
“Ya mobil bapak kayak mahal banget, terus bapak bilang mau bantuin masalah sekolah saya. Padahal kan…” gumam gadis itu sambil memainkan ujung kemejanya.
“Jangan berpikiran aneh. Ada satu dua hal yang tidak boleh diketahui anak kecil,” jawab Alaska datar.
“Aku sudah 19 tahun!” kesal Arum membalas, merasa harga dirinya diinjak.
“Ya terserah,” balas Alaska pendek sambil terus menatap jalan.
Sementara itu, jauh di tempat acara tadi berlangsung, Jeff yang baru selesai ditelepon Alaska langsung pamit. Lukas masih terlihat kesal dan kebingungan, tidak habis pikir dengan reaksi Alaska.
“Sebenarnya siapa dia? Kenapa Alaska sangat kaget? Murid? Apakah dia murid di sekolah tempat Alaska mengajar?” gumam Lukas bingung.
“Itu bukan urusanku,” jawab Leon santai sambil memainkan kunci mobilnya.
“Aku tidak bertanya pada mu, Eon!” kesal Lukas.
Dean hanya mendengus sebelum berkata, “Sudahlah, acara ini selesai. Ayo kembali. Pesawatku besok pagi.”
“Kenapa kau hanya mengajak Leon bukan aku?” tanya Lukas ketus.
“Apa kau tinggal di mansion? Yang tinggal di mansion hanya Luis dan Leon. Kau anak pungut tidak perlu berisik, tinggal saja di luar rumah,” balas Dean sebelum berlalu dengan puas.
“Sialan,” umpatan Lukas melayang, tapi Dean dan Leon hanya tertawa kecil.
---
Di depan rumah, Alaska dan Arum turun dari mobil. Lampu rumah Dian terang, dan di sana sudah berdiri dua orang: Kak Dian dan seorang pria yang Arum kenal sebagai salah satu pelanggan VIP di klub. Begitu melihat Arum datang bersama Alaska, mata Dian langsung membesar.
“Arum, sini,” bisik Dian sambil menarik tangan gadis itu menjauh dari dua pria tersebut.
“Ada apa, Kak?” tanya Arum bingung.
Dian menunduk dan berbisik cepat, “Hei, aku tiba-tiba diseret pria itu dan dikatakan kalau kau dan tuannya akan mendatangi aku. Siapa sangka kau membawa sugar daddy seorang pewaris Arnolda, Arum!”
“Pewaris Arnolda maksud Kakak apa? Dia itu guru ku di SMA,” jawab Arum polos.
“Hah?! Kau serius? Apa aku salah kenal? Tapi… tidak mungkin mobilnya, barang brand-nya…” gumam Dian melirik Alaska yang berdiri dengan Jeff beberapa meter dari mereka.
Alaska, yang melihat dua wanita itu saling melirik, hanya menaikkan satu alis dengan wajah datar. Dian semakin bingung.
“Aku tidak salah,” bisik Dian lagi, kali ini seperti orang linglung.
“Sudahlah Kak, Kakak bermimpi karena pengen cepat kaya. Dia itu guru Arum. Kak, Arum takut nanti diaduin sama kepsek, dikira Arum jadi LC di sini, makanya Arum nurut sama Pak Aska biar nggak diaduin,” bisik Arum, matanya membulat panik.
Dian semakin terdiam. “Hah… serius? Apa dia benar guru? Atau aku benar-benar salah mengenal seseorang…” gumamnya.
Sebagai pemilik klub, Dian sudah terbiasa bertemu orang kaya, pejabat, dan para pewaris keluarga besar. Dia bahkan pernah melihat Alaska di klub mahal lain saat survei tempat. Tapi tetap saja… apa benar ini orangnya?
Ekhem…
“Maaf, apakah saya bisa bicara dengan Anda? Arum, silakan ambil barangmu dulu ke dalam dan ganti baju. Saya akan bicara dengan kakakmu ini,” ucap Alaska datar.
“Oke, Pak,” jawab Arum nurut seperti anak kecil.
Begitu Arum masuk ke dalam, tinggal Alaska, Jeff, dan Dian di halaman rumah. Dian berusaha menjaga ekspresinya netral meskipun detak jantungnya terasa menghantam rusuk.
“Anda tidak bisa membawa Arum. Dia memiliki banyak hutang budi dengan saya, Tuan,” ucap Dian mencoba tegas.
“Nona, ini,” Jeff menyerahkan kartu nama Alaska.
Dian melirik… dan seketika tubuhnya kaku.
Tertulis jelas:
**Alaska Arnolda – Vice Director Arnolda Corporation**
“T-Tuan Arnolda?!” kaget Dian sampai hampir menjatuhkan kartu nama itu.
“Berapa pun yang Anda minta akan saya bayar,” ucap Alaska dingin.
“Dengan satu syarat: biarkan gadis itu pergi. Dia berhak mendapatkan lingkungan yang baik. Dan satu lagi jangan sampai masalah ini sampai ke publik. Saya punya uang tutup mulut yang bahkan lebih besar dari omset klub Anda setahun.”
Dian terdiam. Uang itu sangat besar… tapi bukan itu masalahnya. Arum sudah seperti adiknya sendiri.
“Ini bukan masalah uang, Tuan Arnolda,” ucap Dian akhirnya. “Sejak kedatangan Arum, rumah ini terasa lebih hangat. Saya tahu lingkungan saya buruk untuk dia… tapi saya tidak bisa sembarangan menyerahkannya. Bagaimana Anda bisa menjamin dia akan bahagia?”
Alaska menatap langsung, dingin, tegas, tapi anehnya… terlihat tulus.
“Dengan kepala saya, Nona Dian.”
Dian terdiam. Jeff menahan napas. Angin malam seakan berhenti.
Dan dalam hati Dian hanya bisa mengumpat…
*‘Gila… Tuan Alaska. Demi tuh bocah...’*
...----------------...
Terima kasih sudah mengikuti cerita ini! Yuk bantu dukung dengan tekan like atau share ke favorit kalian. Dukungan kalian sangat berarti.