Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.
Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.
Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai berubah Lebih Baik
Al mengangguk pelan saat Nayla bilang ingin ikut ke pesantren hari itu juga. Ia tak menyangka istrinya yang dulu keras kepala kini justru ingin belajar agama.
"Mau ikut belajar atau ada alasan lain?" tanya Al sambil melirik Nayla dari spion motor saat mereka dalam perjalanan.
Nayla pura-pura sibuk membetulkan hijabnya.
"Aku pengen belajar... sekalian cari suasana baru," jawabnya dengan nada datar.
Tapi dalam hatinya, Nayla kesal bukan main. Ia masih ingat betul bagaimana santriwati yang duduk di barisan depan tersenyum genit saat Al menjelaskan tafsir ayat, bahkan ada yang pura-pura bertanya padahal jelas-jelas hanya mencari perhatian.
"Hmph... lihat aja nanti. Berani-beraninya ganggu suami orang," gumam Nayla dalam hati.
Sesampainya di pesantren, Nayla masuk dengan langkah percaya diri. Beberapa santriwati langsung melirik ke arahnya, beberapa bahkan saling berbisik.
Dan saat melihat Al turun dari motor dan Nayla dengan manis menggamit lengannya, senyum mereka mendadak menghilang.
Nayla tersenyum puas dalam hati.
"Game dimulai, girls."
Sejak Nayla rutin datang ke pesantren, aura di sana sedikit berubah. Para santriwati yang biasanya antusias menyimak kajian Ustadz Alghazali kini mulai kehilangan semangat. Bukan karena kajiannya tak menarik—justru karena setiap kali mereka berharap bisa melihat ustadz favorit mereka dari dekat, Nayla selalu ada di sisinya.
Di ruang kelas, beberapa santriwati saling berbisik.
"Istrinya cantik juga ya... tapi galak kelihatannya," bisik salah satu.
"Mana galak, lebih ke... posesif sih. Lihat aja, tiap hari nempel terus sama ustadz," timpal yang lain dengan nada setengah kesal.
Sementara Nayla pura-pura tak mendengar, tapi ekor matanya terus memantau. Ia tetap tenang duduk di tempat khusus istri ustadz, mencatat materi dan kadang ikut bertanya, membuat beberapa santriwati makin jengkel.
Namun di sisi lain, kehadiran Nayla membawa suasana baru. Beberapa santriwati yang dulu hanya kagum secara fisik pada Alghazali, kini melihat sisi lain dari sang ustadz—sosok suami yang sabar, lembut, dan tetap menjaga batasan meski dikelilingi banyak wanita.
Dan di antara rasa kecewa itu, perlahan rasa hormat tumbuh. Walau tetap... ada saja yang diam-diam masih berharap Nayla pergi sejenak. Setidaknya... sehari saja.
Di belakang asrama santriwati, saat matahari mulai condong ke barat, Syifa mendekati Aisyah yang sedang merapikan mukenanya setelah salat ashar berjamaah. Wajah Syifa terlihat serius, bahkan ada sedikit kekesalan yang ditahan-tahan.
"Aisyah," panggilnya pelan namun tegas. "Sampai kapan kamu mau diam? Kamu itu udah cocok banget sama Ustadz Al. Semua orang juga tahu itu."
Aisyah mengangkat wajahnya pelan, menatap Syifa yang berdiri di depannya dengan raut canggung. “Aku nggak punya hak buat bicara soal itu, Syif. Beliau sudah menikah…”
"Tapi itu bukan halangan!" potong Syifa cepat. “Islam tidak melarang poligami, apalagi kalau kamu bisa jadi pendamping yang menenangkan Ustadz Al dalam berdakwah. Lagipula, Nayla itu bukan perempuan pesantren… kamu lebih paham agama, lebih cocok untuk jadi istrinya.”
Aisyah menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang tak pernah benar-benar dia ungkapkan. “Tapi kalau Pak Kyai tahu…?”
"Aku akan bantu bicara sama Pak Kyai," kata Syifa yakin. "Kita minta beliau jadi perantara. Kamu tinggal jujur aja, nyatakan perasaan kamu. Daripada kamu terus nyimpen sendiri dan malah tersiksa."
Aisyah menunduk. Hatinya berkecamuk. Di satu sisi, ia merasa tak pantas merebut suami orang, tapi di sisi lain… perasaannya pada Ustadz Al sudah terlalu dalam untuk dipendam lebih lama. Ditambah, dorongan dari Syifa semakin membuatnya ragu… namun juga tertantang.
Hari itu, Aisyah mulai menimbang… apakah dia cukup kuat untuk mengambil jalan yang Syifa sarankan—atau justru akan menyesal selamanya karena tak pernah mencoba?
Saat itu matahari mulai condong ke barat, dan bayang-bayang panjang menyapu lorong-lorong pesantren. Nayla yang awalnya duduk tenang di pojok perpustakaan, tiba-tiba berdiri. Matanya tidak lagi fokus pada buku yang terbuka di pangkuannya—melainkan pada percakapan Aisyah dan sahabatnya yang masih terngiang jelas di telinganya.
“Poligami?” gumamnya pelan, dada terasa sesak. Bukan karena dia tidak tahu hukum agama, tapi karena dia tahu suaminya. Alghazali. Pria yang dulu katanya menikahinya karena terpaksa… sekarang malah jadi incaran wanita lain yang bahkan dipandang lebih pantas darinya?
Tanpa sepatah kata pun, Nayla bangkit dan melangkah cepat keluar dari perpustakaan. Dia mengabaikan panggilan beberapa santriwati yang menyapa. Bahkan saat melewati ruang guru, dia tak menoleh sedikit pun untuk melihat apakah Al ada di dalam. Dadanya panas. Kepalanya penuh.
Sampai di halaman depan pesantren, Nayla langsung memesan ojek online. Dalam hitungan menit, dia sudah naik dan melaju ke arah rumah sederhana mereka di desa. Sepanjang jalan, dia hanya menatap kosong ke luar jendela, menguatkan dirinya untuk tidak menangis.
Sesampainya di rumah, Nayla membuka pintu dan langsung masuk tanpa menyalakan lampu. Rumah itu tiba-tiba terasa sepi… dan asing. Ia melempar tasnya ke sofa dan berjalan ke dapur, mengambil gelas air, tapi tangannya gemetar. Air tumpah ke lantai, namun Nayla hanya berdiri diam, menatap kosong genangan itu.
“Kalau dia memang mau poligami… kenapa harus aku yang sakit begini?” bisiknya pelan.
Malam itu, Nayla memilih tidur sendirian di ranjang tanpa menunggu kabar dari Al. Satu pertanyaan mengendap di hatinya: Kalau dia benar-benar dipinang perempuan itu… akankah dia menerima?
Alghazali melangkah cepat keluar dari ruang guru setelah kelas terakhirnya selesai. Matanya menelisik ke sekeliling pesantren, berharap menemukan sosok Nayla seperti biasanya menunggu dengan senyum kecil dan buku di tangan. Tapi tak ada.
"Pak Ustadz, istrinya nggak ikut pulang ya?" tanya salah satu santriwati sambil tersenyum malu.
Al tak sempat menjawab. Jantungnya berdetak lebih cepat, firasat tak enak mulai menyelinap.
Dia segera mengeluarkan ponselnya dan menelpon Nayla.
Nada sambung.
Satu kali. Dua kali. Tiga kali.
Tak diangkat.
Wajah Al mulai tegang. “Kenapa nggak diangkat, Nayla…”
Tanpa pikir panjang, ia bergegas menuju parkiran, mengendarai motornya dengan kecepatan yang lebih tinggi dari biasanya. Angin sore menerpa wajahnya, tapi pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Nayla tidak baik-baik saja.
Setibanya di rumah, ia melihat pintu tidak terkunci. Al langsung membuka dan masuk, "Nayla?!"
Tak ada jawaban. Sepi. Hanya suara detik jam di dinding.
Matanya menangkap tas Nayla yang tergeletak sembarangan di sofa. Ia mendekat dan melihat setetes air di lantai dapur—sisa air tumpah yang belum dibersihkan.
“Nayla…” gumamnya lirih, kini benar-benar khawatir.
Ia memeriksa kamar. Di sana, Nayla terlihat terbaring membelakangi pintu. Tubuhnya kaku, dan dari jarak itu, Al tahu istrinya belum tidur—dia sedang menghindar.
Al melangkah pelan, lalu duduk di pinggir ranjang. “Nayla… kamu kenapa? Kamu pergi tanpa kabar. Aku khawatir.”
Nayla diam. Matanya terbuka, menatap kosong ke arah jendela.
“Aku tahu kamu dengar percakapan itu di perpustakaan,” lanjut Al pelan.