Satu tubuh, dua jiwa. Satu manusia biasa… dan satu roh dewa yang terkurung selama ribuan tahun.
Saat Yanzhi hanya menjalankan tugas dari tetua klannya untuk mencari tanaman langka, ia tak sengaja memicu takdir yang tak pernah ia bayangkan.
Sebuah segel kuno yang seharusnya tak pernah disentuh, terbuka di hadapannya. Dalam sekejap, roh seorang dewa yang telah tertidur selama berabad-abad memasuki tubuhnya. Hidupnya pun tak lagi sama.
Suara asing mulai bergema di pikirannya. Kekuatan yang bukan miliknya perlahan bangkit. Dan batas antara dirinya dan sang dewa mulai mengabur.
Di tengah konflik antar sekte, rahasia masa lalu, dan perasaan yang tumbuh antara manusia dan dewa… mampukah Yanzhi mempertahankan jiwanya sendiri?
Atau justru… ia akan menjadi bagian dari sang dewa selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cencenz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Di Antara Api dan Tatapan Dingin
Suara dingin itu datang dari atas batu. Han Ye turun ringan, seperti angin yang membawa pisau. Ia mengangkat tangannya sedikit, pusaran angin kecil menyibak kabut dan menahan racunnya menjauh dari tubuh Yanzhi.
Yanzhi terbatuk keras, menatap ke atas, setengah sadar. "Kau…"
"Jangan bicara dulu. Nafasmu saja masih mirip ikan terdampar."
Han Ye melangkah ke area Jade. Ia mengamati dengan mata menyipit, lalu berkata pelan:
"Formasi pelindung. Tapi bukan sembarangan. Ini tipe penghisap spiritual. Kau terlalu ceroboh."
Yanzhi menggertakkan gigi. "Aku tahu itu…"
"Oh, ya. Sangat terlihat."
Han Ye menoleh singkat, lalu mendesah. "Bergerak bersamaku. Kalau kau nekat sendirian lagi, aku mungkin tak akan repot datang ketiga kali."
"Kenapa kau muncul lagi?" tanya Yanzhi, masih tertatih.
Han Ye menjawab datar, "Kau pikir aku sengaja mencarimu? Aku juga butuh Jade."
Ia mengangkat batu Jade yang sudah bebas dari racun dengan satu gerakan tangan, lalu melempar satu ke arah Yanzhi.
"Satu untukmu. Aku tidak suka berhutang. Jadi… kita impas."
Yanzhi menangkap batu Jade itu, terdiam sejenak. Dalam diamnya, ada rasa yang aneh, campuran penasaran, kagum, dan… sedikit jengkel.
"Kau selalu seaneh ini?"
"Kalau menurutmu membantu orang yang hampir mati itu aneh, maka ya. Sangat."
Kabut mulai mereda. Tapi dalam kejauhan… suara geraman samar kembali menggema.
"Kita belum selesai," kata Han Ye tanpa menoleh. "Lembah ini belum selesai dengan kita."
Kabut memang mereda, tapi tanah di sekitar mereka belum tenang. Langkah Han Ye melambat, matanya menyipit menatap permukaan batu tempat Jade tadi ditemukan.
"Jangan terlalu cepat lega," gumamnya.
BRUUMMM!
Tanah bergetar pelan, lalu makin keras. Dari retakan dekat altar batu yang baru saja terbuka, asap hitam membubung, membentuk pusaran tebal. Dari dalamnya, muncul sesosok makhluk tinggi dan kurus, berkulit hitam arang, matanya merah menyala seperti bara neraka.
Makhluk itu mengeluarkan geraman rendah, suara berat seolah datang dari dasar bumi.
Yanzhi menegang, dan saat itu, suara dalam dirinya muncul, dingin dan gelap.
"Penjaga Kabut Hitam… Ini bukan roh biasa. Itu bagian dari segel kuno. Dan kalian baru saja membangunkannya."
Han Ye melangkah mundur setengah tapak, matanya menyipit.
"Tidak... kita seharusnya tidak ada di sini."
Yanzhi mendengus kecil.
"Bagus. Baru sekarang sadar?"
Dalam pikirannya, roh itu mendesis tajam.
"Akhirnya kalian mengerti. Tapi kalau kalian berdua mati konyol di sini, jangan harap aku akan repot menyelamatkan."
Makhluk itu bergerak, besar, tapi sangat cepat. Tangan panjangnya menyapu udara, menghasilkan gelombang spiritual kasar yang membuat Han Ye dan Yanzhi terlempar ke belakang.
Yanzhi nyaris jatuh, tapi menahan dirinya.
"Kerja sama?"
Han Ye menoleh singkat, nada tetap datar.
"Untuk kali ini. Tapi jangan terbiasa."
Yanzhi menyeringai lemah.
"Terlalu banyak orang bilang itu padaku hari ini."
"Karena kau keras kepala," suara roh dalam pikirannya mendengus. "Dan keras kepala sepertimu biasanya mati duluan."
Makhluk itu kembali menyerang, tubuhnya melesat seperti bayangan. Han Ye menjejak tanah, pilar angin muncul dari bawah, menahannya. Yanzhi menarik napas dan mulai menyalakan apinya.
"Gunakan kaki kiri lebih cepat. Kalau tidak, kau akan kehilangan tangan kananmu dalam lima detik," bisik roh itu lagi, seperti pelatih yang sinis tapi akurat.
Yanzhi tak membalas, tapi langsung mengubah posisi.
Pukulan makhluk itu datang. Yanzhi menghindar sejengkal lebih cepat dari sebelumnya. Api spiritual menyala dari sisi lengannya, cukup untuk membakar bagian dada makhluk itu.
Han Ye langsung menyusul dengan hantaman pusaran angin. Makhluk itu melolong, lalu melompat mundur. Kabut kembali menggumpal di sekitarnya, menutupi bentuknya.
"Kau pikir kita bisa kalahkan itu?" tanya Yanzhi dalam hati.
"Kalau aku yang melawan, sepuluh detik selesai," jawab roh itu, sombong. "Tapi kau…? Tiga menit lagi, dan kau mungkin tinggal tulang."
Yanzhi mengatur napas.
"Kalau begitu, bantu arahkan. Tapi jangan ambil alih."
"…Hmph. Kau akhirnya belajar bicara seperti pejuang. Baik. Satu serangan lagi, serang dari arah kiri saat Han Ye memancing perhatian ke kanan. Ambil titik di bawah leher. Itulah simpul kekuatan makhluk itu."
Yanzhi mengangguk dalam diam.
"Han Ye! Saat aku bilang sekarang, serang bagian kanan kepalanya!"
Han Ye tidak bertanya. Dia hanya mengangguk tipis.
"Sekarang!"
Pusaran angin meluncur ke arah kepala makhluk itu. Dan bersamaan, Yanzhi menjejak batu, melesat dari sisi kiri, api menyala terang di kedua telapak tangannya.
"Fanghuo Shiran!" (Api Taring Menyambar)
Ledakan api mengoyak kabut, menghantam tepat di bawah leher makhluk itu. Suara dentuman keras menggema, disusul erangan panjang sebelum makhluk itu jatuh menghantam tanah, tubuhnya hancur dan mulai berubah menjadi abu hitam.
Hening sejenak.
Yanzhi berdiri terengah. Han Ye menurunkan tangannya perlahan.
"Lumayan," gumamnya. "Kau tidak terlalu beban, ternyata."
"Kau juga tidak terlalu menyebalkan kalau diam," sahut Yanzhi setengah senyum.
"Dan untuk pertama kalinya… kalian tak membuatku ingin mengutuk seluruh umat manusia," bisik roh itu dingin.
Yanzhi menahan senyum.
Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu... itu pujian.
......................
Di atas tanah yang kini hanya menyisakan kabut tipis, Yanzhi menatap kepalan tangannya yang masih bergetar, terasa hangat oleh sisa nyala api.
Han Ye sudah berjalan menjauh, meninggalkan jejak angin dingin di belakangnya.
"Jangan terlalu bangga," gumam roh di kepalanya, suaranya setengah malas. "Itu hanya penjaga kecil. Di balik kabut, ada segel yang lebih haus darah menunggu."
Yanzhi menarik napas panjang, menahan nyeri di kakinya. Ia menatap Jade Asap Hitam di genggamannya.
Setidaknya… kali ini aku tidak mati.
Suara runtuhan batu masih menggema samar ketika debu tipis jatuh dari langit-langit altar tua. Di bawah kabut yang mulai menipis, retakan di altar batu yang semula hanya celah sempit, kini menganga lebih lebar, cukup untuk dilewati satu orang.
Yanzhi berdiri di tepinya, napasnya masih memburu. Di tangannya, Jade Asap Hitam yang berhasil ia rebut kini terasa hangat, seolah berdenyut pelan. Han Ye berdiri beberapa langkah di sampingnya, tangan terlipat, tatapannya menatap celah itu tanpa banyak bicara.
"Retakan ini…" gumam Yanzhi, menelan ludah. Ada hawa dingin yang menjalar dari bawah sana, bukan dingin biasa, tapi dingin yang membawa bau tanah lembab bercampur besi karat. Sesuatu di dalam sana… menunggu.
Di kepalanya, suara familiar mendesis, lebih tajam dari biasanya.
"Masuk. Di bawah sana, ada serpihan lain. Aku bisa merasakannya."
Yanzhi mengerutkan kening. "Kau yakin? Ini bukan hanya jebakan?"
"Bodoh. Segel lama tidak akan terbuka tanpa alasan. Pecahkan sisanya, dapatkan Jade, dan… lihat apa yang mereka sembunyikan."
Han Ye memecah hening. "Apa kau mau berdiri di sana selamanya?" Nada suaranya datar, tapi sorot matanya berbeda, waspada, nyaris curiga.
"Aku… hanya memastikan ini aman," sahut Yanzhi pelan.
Han Ye mendengus pendek. "Tidak ada yang aman di sini."
Ia melangkah lebih dulu. Tanpa ragu, tubuhnya lenyap di balik celah retakan yang gelap. Yanzhi menghela napas, merasakan tekanan di kepalanya seperti gumpalan bara yang mendesak.
"Kau mau mati di sini, atau mau tahu kebenaran?" bisik Roh itu lagi, seolah mengejek.
Yanzhi mengepalkan Jade di tangannya, lalu melangkah masuk.
...****************...