NovelToon NovelToon
Rahim Untuk Balas Budi

Rahim Untuk Balas Budi

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Pengganti / Romansa
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mommy Sea

Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 13 – Keputusan Karina

Malam itu hujan turun perlahan, mengetuk-ngetuk kaca jendela kamar perawatan Nayara seperti nada yang ingin mengingatkan bahwa dunia di luar tetap berjalan. Namun di dalam kamar itu, waktu seakan berhenti.

Nayara memeluk perutnya sambil berbaring miring. Infus menancap di punggung tangannya, membuat lengannya kaku. Nyeri masih muncul sesekali, tapi ia sudah mulai terbiasa menahannya.

Ia menatap jam dinding. Sudah hampir pukul sebelas malam.

Nadim pasti sudah tidur.

Rendra… mungkin baru pulang dari kantor.

Karina—entah sedang apa. Mungkin sedang memeriksa jadwal bertemu investor, atau memantau bisnisnya, atau… mungkin sedang menebak-nebak keberadaan Nayara.

Pikiran itu membuat sesak menjalar ke dadanya.

Ia menutup mata, mencoba tidur, tapi tidak bisa. Ada rasa gelisah yang mengambang, menyelimuti seluruh tubuhnya.

Tiba-tiba ponselnya bergetar pelan di meja samping ranjang.

Nayara mengambilnya dengan tangan gemetar.

Satu nama muncul:

Karina.

Hatinya langsung terjun ke dasar perut.

Napasnya tercekat. Ada rasa bersalah, takut, dan… sesuatu yang tak bisa ia definisikan, bercampur jadi satu.

Dengan tangan dingin, ia menggeser layar untuk menerima panggilan.

“Assalamu’alaikum,” suara Karina terdengar di seberang—tenang, tapi ada ketegangan halus yang hanya orang yang cukup mengenalnya bisa rasakan.

“Wa’alaikumussalam… Bu…”

Suara Nayara terdengar serak, sedikit goyah.

“Kamu di mana?”

Langsung. Tanpa pembuka. Tanpa basa-basi.

Nayara memejamkan mata. “Bu… aku—”

“Aku ke kontrakanmu tadi,” potong Karina. “Nadim bilang kamu pergi ke klinik. Sampai sekarang belum pulang.”

Hening.

Hening yang menegangkan urat leher Nayara.

“Bu… aku di rumah sakit.”

Karina tidak langsung menjawab. Namun Nayara mendengar embusan napas panjang dari seberang.

“Rumah sakit mana?”

“Rumah Sakit Pratama Harapan…”

“Apa yang terjadi?”

Nayara menatap langit-langit. “Tekanan darahku turun. Dokter bilang aku harus dipantau.”

Karina terdiam beberapa detik—dan ketika ia kembali bicara, suaranya berubah. Tidak lagi ketus. Tidak lagi menyelidik.

Sekarang justru… khawatir.

“Innalillahi… Kenapa kamu tidak menghubungi aku?”

“Karena Ibu pasti sibuk…” suara Nayara melemah. “Dan… aku tidak mau merepotkan.”

“Nayara.”

Hanya satu kata—tapi cukup untuk membuat dada Nayara remuk.

Karina jarang menyebut namanya lengkap. Biasanya ia memanggil Nay dengan nada halus penuh kepura-puraan. Tapi malam ini… suaranya nyata.

“Aku ke sana sekarang.”

Lalu sambungan terputus.

Nayara mematung beberapa detik, lalu meletakkan ponselnya dengan napas tidak teratur.

Ia tak sempat bersiap ketika pintu kamar terbuka sekitar dua puluh menit kemudian.

Karina masuk dengan langkah cepat, masih memakai gamis abu-abu dan kerudung yang setengah kusut. Wajahnya pucat.

“Nay…”

Ia menghampiri tanpa menunggu jawaban.

Nayara buru-buru duduk. “Bu, maaf. Aku—”

“Tolong jangan bicara maaf dulu.” Karina duduk di sisi ranjang, matanya menyapu infus, monitor tekanan darah, dan wajah Nayara yang lelah. “Kamu kelihatan sangat… sakit.”

“Aku cuma kurang stabil, Bu. Kata dokter, ini masih bisa diatasi.”

Karina menghembuskan napas berat. “Aku tahu kamu tidak mau menyusahkan siapa-siapa. Tapi dengar aku baik-baik, Nay… kamu bukan beban. Bukan.”

Kalimat itu menghantam Nayara seperti tamparan lembut.

Seharusnya membuat lega.

Tapi justru membuatnya ingin menangis.

“Bagaimana tadi hasil pemeriksaannya?” Karina bertanya.

“Kontraksi belum nyata, tapi posisinya sudah mulai turun. Dan pre-eklamsia ringan…”

Nayara menelan ludah.

“…katanya bisa berbahaya kalau nggak dipantau.”

Karina diam. Terlalu lama.

“Jadi ini waktunya,” katanya akhirnya, suaranya hampir bergetar.

“Waktu… apa, Bu?” tanya Nayara pelan.

Karina menatap mata Nayara langsung—tanpa berkedip, tanpa menyembunyikan apa pun.

“Kamu tidak bisa melahirkan di Indonesia.”

Suaranya tenang, padat, dan final.

“Kita pergi ke Singapura. Minggu ini.”

Nayara membatu.

Deg. Deg. Deg.

“Bu..”

“Tidak ada pilihan lain, Nay.”

“Tapi… aku di rawat inap. Aku bahkan hampir pingsan tadi pagi. Gimana aku bisa—”

“Kamu lebih aman di luar negeri.” Mata Karina tidak beralih. “Begitu kamu melahirkan di sini, terlalu banyak risiko. Data rumah sakit mencatat nama ibu kandung. Teman dokter bisa lihat. Perawat bisa menghubungi keluarga. Siapa pun bisa tahu bahwa bayi itu lahir darimu.”

Nayara merasa bumi di bawahnya runtuh sedikit demi sedikit.

Karina melanjutkan, kali ini lebih cepat. “Aku sudah siapkan semuanya. Rumah sakit di Singapura, biaya, akomodasi. Dokter Ardi akan ikut. Dia yang akan mengawal kondisi kamu.”

“Dokter Ardi… ikut?” Nayara mengulang lirih.

“Ya. Aku sudah bicara dengannya.”

Nayara tertegun.

“Dokter Ardi tahu… rencana ini?”

“Dari awal.”

Karina tidak berbohong.

“Kenapa… aku baru tahu sekarang?”

Karina menghela napas panjang.

“Karena kamu terlalu sering mengorbankan diri,” katanya jujur. “Kalau aku bicara lebih cepat, kamu pasti akan bilang tidak mau merepotkan, tidak mau menjadi masalah, tidak mau membuat aku stres.”

Nayara tidak bisa menyangkal itu.

“Tapi sekarang,” Karina melanjutkan, “kamu hampir pingsan sendirian di klinik kecil. Kamu rawat inap tanpa siapa pun menemani. Kamu ketakutan.”

Nada suaranya pecah sedikit.

“Aku tidak bisa lagi diam.”

Nayara menutup wajahnya dengan telapak tangan.

Air mata jatuh tanpa ia bisa menahan.

“Aku… takut, Bu” suaranya pecah. “Aku takut kehilangan bayi ini. Aku takut kehilangan Nadim. Aku takut… semua orang membenciku.”

Karina memegang bahu Nayara.

“Tidak ada yang akan kehilangan siapa pun,” katanya lembut. “Yang perlu kamu lakukan sekarang hanya satu: bertahan. Biarkan aku yang ambil alih sisanya.”

“Tapi kenapa Singapura?” Nayara memohon. “Aku tidak kenal siapa-siapa. Aku tidak punya siapa pun di sana.”

“Aku ada.”

Jawaban Karina cepat dan tegas.

“Aku akan menemani kamu. Dan setelah kamu melahirkan, kamu akan pulang tanpa membawa beban apa pun.”

Nayara merasakan panas menusuk di dada. “Beban apa pun… itu maksudnya—”

Karina menatap perut Nayara.

“Bayi itu.”

Hening.

Hening yang panjang, menyiksa, dan seakan memotong napas.

“Begitu dia lahir,” Karina melanjutkan, “dia akan menjadi anakku. Secara hukum, medis, dan… kenyataan hidup.”

Nayara menunduk, memeluk perutnya pelan.

Ia tidak tahu apakah ia diizinkan menangis keras atau tidak.

Ia tidak tahu apakah seorang ibu kandung berhak meratap sebelum melepaskan bayinya.

Yang ia tahu—kalimat Karina berikutnya merobek seluruh pertahanannya.

“Nay…” Karina berbisik, suaranya retak. “Kalau ini perpisahanmu dengan anak itu, aku mohon… biarkan semuanya berjalan aman. Jangan sampai kamu atau bayi itu terluka.”

Nayara menutup mata. Air matanya mengalir deras, membasahi bantal.

Untuk pertama kalinya sejak awal kehamilan, ia mengakui hal yang selama ini ia tekan dalam diam:

Ia mungkin akan melahirkan seorang anak…

yang tidak akan pernah ia bawa pulang.

Dan di sudut hatinya yang paling gelap, sebuah kalimat kecil bergetar:

“Kalau ini perpisahan… semoga Tuhan kuatkan aku.”

1
strawberry
Karina takut Rendra berpaling darinya karena Aru mirip Rendra, Nayara takut Aru diambil Rendra dan takut akan perasaannya. Rendra takut perasaannya jatuh hati pada Nayara dan pada Aru yg mirip dengannya.
Mommy Sea: pada takut semua mereka
total 1 replies
strawberry
Dalam rahim ibu kita...
Titiez Larasaty
ikatan batin anak kembar dan ayah
strawberry
mulai ada rasa cemburu...
Titiez Larasaty
semoga rendra gak tega ambil aru dia cm mengobati rasa penasaran selama ini kasihan nayara harus semenyakitkan seperti itukah balas budi😓😓😓
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
Muhammad Fatih
Bikin nangis dan senyum sekaligus.
blue lock
Kagum banget! 😍
SakiDino🍡😚.BTS ♡
Romantisnya bikin baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!