Maheswara merasakan sesuatu yang berdiri di bagian bawah tubuhnya ketika bersentuhan dengan wanita berhijab itu. Setelah delapan tahun dia tidak merasakan sensasi kelaki-laki-annya itu bangun. Maheswara pun mencari tahu sosok wanita berhijab pemilik senyum meneduhkan itu. Dan kenyataan yang Maheswara temukan ternyata di luar dugaannya. Membongkar sebuah masa lalu yang kalem. Menyembuhkan sekaligus membangkitkan luka baru yang lebih menganga.
Sebuah sajadah akan menjadi saksi pergulatan batin seorang dengan masa lalu kelam, melawan suara-suara dari kepalanya sendiri, melawan penghakiman sesama, dan memenangkan pertandingan batin itu dengan mendengar suara merdu dari Bali sajadahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 : Doa Maheswara
Entah kenapa sore itu, Maheswara merasa seperti tidak enak badan. Dia memilih pulang cepat dari kantornya. Dan memilih duduk di teras belakang rumahnya, memandangi hamparan rumput hijau tempat yang biasa dia gunakan untuk main golf bersama kolega bisnisnya.
Maheswara memegang sekaleng cola dingin menuju ke teras belakang. Di sana, dia duduk di sebuah kursi menghadap hamparan rumput.
Mungkin dia merasa tidak enak badan mengingat besok pertemuannya dengan psikiater nya. Dia bahkan tidak mengingat nama psikiater nya. Karena sejujurnya, dia tidak ingin ke sana. Tempat itu dianggap menghancurkan harga dirinya sebagai laki-laki. Tapi apa boleh buat. Setelah dari tempat itu, Maheswara setidaknya bisa menikmati tidur malamnya tanpa bermimpi buruk setiap hari. Kalau pun ada, mimpi buruk itu hanya sesekali datang. Tidak sesering sekarang ini.
Hp nya berbunyi. Satu pesan masuk dari Anggita. Dia adalah calon menantu kesayangan mamanya. Yang sayang sekali harus gagal menikah dengan Maheswara. Pesan yang masuk itu ternyata undangan pertunangan Anggita dengan lelaki pilihannya. Entah kenapa, Maheswara kehilangan emosi saat membacanya. Wajahnya datar. Tidak tersirat kecemburuan sama sekali. Padahal Maheswara ingin merasakan cemburu atas pertunangan ini. Tapi rasa itu tidak keluar. Mendekam di dalam sana. Mungkin dia sudah mati rasa.
Maheswara meletakan kembali hp nya, lalu membuka tutup kaleng cola nya. Meneguknya. Menatap ke depan.
"Kalau memang Tuhan ingin menyembuhkan ku, pertemukan aku dengan gadis itu. Biar aku membayar semuanya meskipun harus dengan nyawaku sekalipun. Aku tidak tahu penderitaan seperti apa yang dialami gadis itu selama ini," Maheswara menengadah ke atas.
"Aku memang tidak cukup bersih untuk Engkau dengar doa-doa ku ini. Tapi kalau bagi yang lain Engkau beri kemurahan maka biarlah padaku juga berilah kemurahan-Mu itu," Maheswara menutup matanya.
Doa itu menusuk ke dalam dadanya. Maheswara merasakan pelupuk matanya basah. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya dia merasakan doa diiringi air mata. Buru-buru dia menghapus air mata yang belum jatuh itu. Dia tidak ingin ada yang melihatnya menangis.
Maheswara tersenyum sinis,
"Jangan ada yang melihatku menangis. Cuma Engkau saja,"
**
Hana menatap sekitar. Matanya mencari seseorang.
"Hana," seru dr. Farid. Hana menoleh.
Dokter Farid membuka tangannya memeluk Hana yang tetap berdiri diam.
"Selamat datang, putriku," ujar dr. Farid dalam pelukan.
Hana membalas pelukan ayahnya tanpa suara.
Hana kemudian melepaskan pelukannya dan meraih tangan ayahnya. Dia mencium punggung tangan ayahnya.
"Sini, ayah yang bawa," dr. Farid mengambil tas dan jaket dari tangan Hana.
"Gandeng ayah," dr. Farid memberikan lengannya untuk Hana gandeng. Hana menaruh tangannya di lengan ayahnya. Mereka berdua berjalan beriringan. Sebelah tangan dr.Farid memegang koper dan jaket, tangan satunya lagi digandeng Hana.
Ada ketenangan di hati Hana saat ini. Hana merasakan rasa aman.
Mereka berdua berjalan ke arah parkir.
Dokter Farid membuka bagasi untuk menaruh tas Hana. Kemudian beralih ke pintu depan.
"Silakan masuk," dr. Farid menyilakan Hana masuk.
Dokter Farid selalu diprotes istrinya terlalu memanjakan anak-anaknya tapi tidak sedikitpun yang berubah dari kebiasaan dr. Farid untuk anak-anaknya. Dia selalu 'meratukan' putri-putrinya, dan 'merajakan' Ammar. Sekuat apapun itu ditentang Ratna Dewi.
"Singgah makan dulu yuk," ajak dr. Farid ketika mobil sudah meluncur.
"Boleh," jawab Hana sembari menatap ke luar jendela.
"Kita makan di tempat kesukaan Hana, ehm, apa itu namanya bejeg bejeg itu,"
"Nasi bejeg Wijaya,"
"Iya itu. Di persimpangan depan kan? Kita mampir ke situ ya,"
Hana mengangguk.
**
Hidangan sudah tersaji di depan keduanya.
"Hana mau ayah suwir-suwir ayam lalapannya?," dr. Farid mengingat anak sulungnya paling malas memakan ayam lalapan utuh. Dia selalu meminta ayamnya untuk disuwir-suwir.
Hana hanya menatap makanannya. Dokter Farid mengambil piring berisi ayam lalapan itu. Dengan telaten, dia mulai menyuwir ayam itu.
"Ayah sudah cuci tangan loh ya. Ini sudah bebas kuman loh Han," canda dr. Farid sambil terus menyuwir.
Akhirnya Hana tersenyum. Senyuman yang kaku.
Tidak hanya ayam yang disuwir, dr. Farid juga menebar nasi di piring Hana agar uap panasnya hilang perlahan sehingga lidah Hana tidak kepanasan saat makan.
Dokter Farid menyodorkan makanan Hana yang sudah dia atur seperti kebiasaan Hana makan.
Hana mulai mengambil nasi dan ayam lalapan yang disuwir dengan tangannya dan mulai menyuapi itu ke mulutnya. Satu bulir air mata menetes di pipi Hana.
Dokter Farid yang melihat itu cepat-cepat menunduk melihat makanannya. Dia sudah terbiasa melihat Hana seperti ini. Menangisi sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya.
"Enak, Han?," tanya dr. Farid dengan wajah cerianya.
Hana mengangguk sambil terus makan sambil satu per satu bulir air mata jatuh.
"Ehm, Han.. Besok kan acaranya sore. Paginya kita berkunjung ke dr. Priska ya. Nanti ayah temani,"
Hana berpikir sejenak lalu mengangguk.
"Hana dapat jadwal 10.30. Ayah antar, ayah temani,"
Hana mengangguk.
psikologi mix religi💪