Berawal disalahpahami hendak mengakhiri hidup, kehidupan Greenindia Simon berubah layaknya Rollercoaster. Malam harinya ia masih menikmati embusan angin di sebuah tebing, menikmati hamparan bintang, siangnya dia tiba-tiba menjadi istri seorang pria asing yang baru dikenalnya.
"Daripada mengakhiri hidupmu, lebih baik kau menjadi istriku."
"Kau gila? Aku hanya sedang liburan, bukan sedang mencari suami."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Suaminya...
Green kembali ke apartemennya. Ia berlari menuju kamar setelah menutup pintu dan melemparkan tasnya sembarang.
Berjongkok di depan closet, Green memuntahkan seluruh isi perutnya. Setelah beberapa saat, ketika merasakan tidak ada lagi yang bisa dimuntahkan, Green mengelap mulutnya di wastafel.
Menghela napas panjang untuk meredakan mual, Green mencuci muka, lalu menatap dirinya sendiri di pantulan cermin yang ada di hadapannya. Keringat dingin di wajahnya bercampur dengan air, membuat seluruh wajahnya terlihat semakin pucat.
Green memejamkan matanya untuk menenangkan diri tapi hal itu tidak berhasil. Akhirnya ia membuka kabinet di belakang cermin dan mengambil sebuah kotak lalu mengambil botol-botol di dalam kotak tersebut.
Green mengeluarkan tiga butir obat dan langsung memakannya dengan bantuan air keran.
Usai memakan obatnya, Green terus berusaha menenangkan dirinya tapi gagal. Akhirnya, tubuhnya ambruk di bawah wastafel. Ia bersandar pada dinding dan menundukkan kepalanya yang semakin terasa sakit.
Selalu seperti ini setiap kali Green berkonflik dengan kakaknya dan membahas masalah tiga tahun yang lalu. Lelah? Tentu saja, tapi sejauh apa pun ia pergi, dirinya tidak akan pernah bisa menghindari pertemuannya dengan keluarganya sendiri.
Setengah jam berlalu, pintu apartemen kembali terbuka dari arah luar. Rex masuk dengan kaki pincangnya, ia mengenakan tongkat sebagai penyangga.
Rex mengerutkan kening begitu melihat tas dan sepatu Green yang berserak di bagian tengah ruangan itu. Dia melihat pintu kamar yang tertutup rapat.
“Green,” panggilnya dengan mengetuk pintu. Tidak ada jawaban dari arah dalam, membuat Rex kembali mengetuknya. “Green, apakah kau ada di dalam?”
Sekali lagi, tidak ada tanggapan dari arah dalam, membuatnya dirasuki sedikit kekhawatiran. Teringat kejadian semalam, wanita itu tidak sadarkan diri setelah mabuk-mabukan.
Meski tahu wanita itu akan marah, Rex tetap memutar knock pintu dan membukanya. Dia langsung melihat gadis itu, tengah berdiri di depan jendela berbentuk persegi yang menghadap ke arah jalanan.
Rex berdecak karena ternyata kekhawatirannya sia-sia. Wanita inu sengaja mengabaikannya.
“Kupikir kau kembali hangover,” sindir Rex. Ia masih berdiri di depan pintu, tidak berani melangkah lebih jauh.
Green masih mematung di tempatnya seolah tidak mendengar apa-apa yang dikatakan Rex.
Merasa jengkel diabaikan oleh istrinya, Rex akhirnya melangkah menghampiri dan menepuk pundaknya. “Apa kau tuli?”
Green tersentak dan segera menoleh. “Kau? Apa yang kau lakukan di kamarku?” tanya Green yang langsung mengonfirmasi alasan kenapa dia tidak menyahut saat Rex berkali-kali tidak memanggilnya. Sepertinya dia sedang melamun.
“Kau bahkan tidak tahu aku masuk?”
Green menggeleng sebagai jawaban.
Rex yang sedikit kesal karena diabaikan, akhirnya menatap gadis berambut ikal itu dengan saksama. “Apa kau sakit lagi?” tanyanya tidak melepaskan pandangan.
“Tidak,” jawab Green cepat.
“Wajahmu...sangat pucat.”
Green segera menyentuh wajahnya yang dingin. “Ah, mungkin karena aku kedinginan, aku baru pulang,” kilahnya menghindari tatapan Rex menunjukkan kalau dia sedang berbohong.
“Kau ingin menggunakan kamar mandi? Aku akan keluar untuk membuat minuman hangat.”
Tanpa menunggu jawaban suaminya, Green melangkah keluar dari kamar.
Rex menatap punggung itu yang menjauhinya. Dia merasakan suasana hati Green yang sedang tidak baik. Wanita itu biasanya akan mengamuk jika sesuatu tidak sesuai dengan pengaturannya, seperti Rex yang masuk tanpa izinnya.
Sadar tidak akan mendapat jawaban yang diinginkan, akhirnya Rex memilih untuk bergegas ke kamar mandi.
...
Keluar dari kamar, Rex membawa selimut dan bantal di tangannya. Dia melirik dapur, Green tidak ada di sana, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ternyata, wanita itu sedang berdiri di balkon melihat jalanan yang sudah mulai sepi di tengah malam dengan sebuah cangkir di tangan.
Kenapa dia suka sekali melihat jalanan?
Rex meletakkan bantal dan selimut di tangannya lalu menghampiri wanita itu. “Udaranya sangat dingin, kenapa kau berdiri di luar?”
Kali ini Green langsung menyadari keberadaan Rex dan berbalik. “Aku sedang menghirup udara segar.”
Green melihat Rex sudah terlihat segar dengan rambut yang masih lembap dan sudah memakai piamanya.
“Masuklah, kau harus beristirahat.”
Meski sedikit penasaran tentang bagaimana Green bisa mengenal Chester, Rex menahan diri untuk bertanya setelah melihat suasana hati gadis itu tidak terlalu baik.
Kini Rex sadar, sikap galak Green menunjukkan bahwa wanita itu dalam suasana hati yang baik.
Rex menyingkir dari tempatnya, memberikan jalan pada Green untuk masuk ke dalam rumah lalu menutup pintu di belakangnya.
Green hendak melangkah ke sofa saat melihat bantal dan selimut yang diberikannya untuk Rex sebelumnya.
“Kenapa kau membawa bantal dan selimut? Kau bisa menggunakan kamaku lagi.”
Rex mendahului Green dan duduk di sofa panjang lalu menggeleng. “Ada sesuatu yang harus aku kerjakan dan membutuhkan ruang lebih luas. Kau bisa tidur di kamarmu dan aku akan tetap di sini.”
Yang mengejutkan Rex, Green langsung menjawab, “Baiklah.” Dia segera menuju kamarnya dan mengunci pintu dengan cepat.
Bohong, Rex sama sekali tidak berniat mengerjakan apa pun. Dia sengaja mengatakan itu supaya Green mau kembali ke kamanya. Dia tahu betapa keras kepalanya dia.
Menyimpannya rasa penasarannya tentang Green, Rex memutuskan untuk membaringkan tubuhnya dan menyelimuti dirinya.
“Masih banyak waktu. Aku akan memastikan kau akan menceritakannya sendiri segalanya dengan sukarela.” Rex lalu memejamkan mata dan tertidur tidak lama setelahnya.
***
Pagi hari.
Rex dibangunkan dengan suara ketukan pintu dari luar apartemen. Dia mengernyit, siapa yang datang pagi-pagi sekali?
Melirik pintu kamar Green yang masih tertutup rapat, sepertinya wanita itu masih tertidur dan tidak mendengarnya.
Akhirnya, Rex bangkit dan melangkah ke arah pintu dengan bantuan tongkat lalu membukanya. Ia melihat dua orang berdiri di depan pintu. Serang wanita dan seorang pria. Membawa satu kantong plastik di masing-masing tangannya.
“Kau... kau siapa?”
Si pria lebih dulu membuka mulut saat melihat bukan Green yang membuka pintu dan malah seorang pria dengan tongkat di tangannya.
“Di mana Green?” Kini giliran si wanita yang bertanya, raut wajahnya langsung terlihat waspada dan khawatir.
“Kalian yang siapa datang ke rumah orang pagi-pagi sekali!” gerutu Rex, sedikit kesal dengan reaksi mereka yang memandangnya seperti penjahat mesum. Ia kembali mengingat setiap makian istrinya.
“Kami teman dekat Green. Di mana dia? Apa yang kau lakukan padanya?"”
"Ck! Dia ada di dalam. Masuklah!”
Rex mundur untuk membiarkan mereka masuk. Si laki-laki masih menatapnya dengan waspada dengan pandangan penuh kecurigaan.
Rex memilih mengabaikan mereka berdua karena langsung mengenali keduanya sebagai si penjaga toko dan teman kerja Green. Ia menunjuk pintu kamar. “Dia masih di kamanya. Kau bisa memanggilnya kalau benar kalian temannya.”
“Tentu saja benar,” sahut si wanita.
“Lizbet, kau pergilah. Aku akan tunggu di sini.” Si laki-laki memberi perintah dan dia masih tetap berdiri di hadapan Rex penuh kewaspadaan. Seperti bersiap melakukan apa saja jika Rex melakukan gerakan apa pun.
Lizbet menghampiri pintu kamar dan mengetuknya. “Green! Kau masih tidur?” Belum ada sahutan, membuat Lizbet harus kembali mengetuk pintunya. Sesekali ia melirik ke arah Rex yang kini duduk di sofa dengan melipat kedua tangannya di dada, seolah tidak terganggu dengan kedatangannya dan Tomi.
Tidak lama, pintu kamar terbuka. Green keluar masih mengenakan piama tidurnya. Ia menguap baru saja bangun.
“Kak Lizbet?”
Lizbet tidak menanggapi sapaannya dan langsung menodongnya dengan pertanyaan mengejutkan. “Siapa laki-laki itu, Green?”
Green yang masih linglung karena baru saja bangun segera melihat ke arah yang ditunjuk temannya dan beradu pandang dengan Rex yang menatapnya dengan senyum nakal.
sial!
Green terperanjat panik. “Eh, dia ... dia –“ tidak tahu harus menjawab apa, Green tidak menemukan kosa kata yang pas.
Di saat Green masih memikirkan jawaban yang akan diberikan. Tiba-tiba Rex menjatuhkan bom ke wajahnya. “Aku adalah suaminya.”
“Apa?”
malam pertama Rex jadi merawat greenidia....
semangat trs Thor