Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.
"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."
setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Sudah dua hari Dara izin bekerja. Dan dua hari ini juga arkan hanya menemuinya satu kali itu saja. Dara berpikir laki-laki itu tidak akan datang lagi dan menghilang.Tidak satu pesan, tidak satu panggilan.
Dara mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu memang yang terbaik. Bahwa tidak ada gunanya menaruh harapan pada seseorang seperti Arkan. Dara tidak mau berharap lebih dari dia meskipun hati kecilnya sangat ingin Arkan bertanggungjawab.
“Sudahlah, Dara. Jangan terlalu berharap kepadanya,” gumamnya pelan pada pantulan dirinya di cermin.
Ia beranjak ke dapur kecil, membuka wadah plastik yang masih berisi bahan makanan yang pernah dibelikan Arkan dua hari lalu. Ada telur, dan sayuran .
“Lumayan buat sarapan,” ujarnya lirih,
Setelah kenyang sarapan Dara langsung ke luar menaiki ojek yang sudah di pesannya melalui aplikasi online sebelumnya.
" sesuai aplikasi ya pak"
kang ojol itu mengguk mengerti" siap mbak"
Motor terus melaju membelah jalanan kota yang mulai ramai. Saat tiba di depan cafe tempatnya bekerja, Dara menghela napas panjang, mencoba tersenyum seperti biasa.
“Dara! Akhirnya datang juga. Kamu udah mendingan?” sapa Rina, rekan kerjanya, dari balik meja kasir.
Dara tersenyum kecil. “Iya, Rin. Udah jauh lebih baik. Maaf kemarin nggak ngabarin lama.”
“Nggak apa-apa,” jawab Rina sambil menatapnya penuh arti. “Yang penting kamu sehat sekarang "
Di kafe ini mungkin Rina adalah yang paling dekat dengannya. Ya, meskipun semuanya yang. Bekerja disana akrab dan kompak.
" aku ke dapur dulu ya, yang lain udah pada datang belum"
" udah tadi, baru aja"
Dara hanya menggunakan kepalanya saja sebagai tanda jawaban.
Berbeda lain dengan Arkan. Arkan tengah sibuk membuatkan bubur untuk putranya itu dan mendadak juga mbok Rumi pembantu di apartemen mereka izin pulang kampung. Rafa putranya itu sudah dari semalam demam.
Wajahnya tampak sedikit lelah, rambutnya berantakan karena semalaman ia hampir tidak tidur, sibuk menurunkan panas anaknya yang sejak kemarin sore demam tinggi.
"Rafa sarapan dulu ya terus minum obat" ucap Arkan
Tapi bocah berusia itu hanya menggeleng pelan, wajahnya cemberut. “Rafa nggak mau, Pa. Buburnya nggak enak. Rafa nggak lapar,” katanya dengan suara serak.
Arkan menarik napas panjang, mencoba bersabar. “Papa udah capek-capek masakin, loh. Masa nggak mau dicoba dulu? Satu sendok aja.”
Rafa tetap menggeleng keras, lalu memalingkan wajahnya. “Nggak mau! Pokoknya nggak mau!”
Arkan menatap anaknya dengan wajah mulai kehilangan kesabaran. “Rafa…” panggilnya dengan nada lebih tegas. “Kalau kamu nggak mau makan, Papa bawa kamu ke rumah sakit sekarang. Biar disuntik dan diinfus, ya. Papa nggak mau kamu tambah sakit.”
Rafa yang tadinya menunduk langsung menatap Arkan dengan mata membulat, wajahnya sedikit panik. “Jangan, Pa… Rafa nggak mau disuntik,” ucapnya cepat.
Arkan menahan senyum kecil, pura-pura tetap tegas. “Kalau nggak mau disuntik, ya makan. Papa nggak mau liat Rafa sakit terus. Kasihan Papa, loh, udah begadang dari semalam.”
Rafa menatap bubur di depannya, lalu menatap ayahnya yang kini menyuapkan sendok pertama dengan ekspresi tak sabar tapi penuh sayang. Akhirnya, bocah itu membuka mulut kecilnya perlahan.
“Gitu dong,” ucap Arkan pelan, senyumnya merekah lega. “Pintar anak Papa.”
Rafa mengunyah pelan sambil meringis. “Masih nggak enak, Pa,” rengeknya.
Arkan terkekeh kecil. “Nggak apa-apa, yang penting dimakan dulu. Nanti Papa buatin yang lebih enak lagi kalau Rafa sembuh, ya?”
Beberapa suapan berhasil masuk, meski dengan wajah cemberut. Tapi di tengah-tengah makan, Rafa tiba-tiba berhenti dan menatap ayahnya dengan mata sendu.
“Pa…” panggilnya pelan.
“Hm?” Arkan menjawab sambil menatapnya putranya itu.
“Kenapa Mama nggak pernah datang temui rafa?” tanya Rafa polos. “Rafa ngga pernah liat mama. Mama ngga sayang sama Rafa ya pah?”
Pertanyaan itu membuat dada Arkan serasa diremas. Sendok di tangannya berhenti di udara. Seketika napasnya terasa sesak.
Ia menatap wajah kecil itu polos, penuh rasa rindu, tanpa tahu kebenaran yang selama ini ia sembunyikan.
Rafa menunduk, menggigit bibir kecilnya. “Rafa kangen Mama… Rafa mau ketemu sama mama. Teman-teman Rafa juga diantar ke sekolah sama mamanya. Rafa juga pengen kyak gitu pah"
Arkan tersenyum pahit. Ia tahu, cepat atau lambat, kebenaran itu harus dikatakan tapi bukan sekarang. Ia belum siap melihat luka di mata anak sekecil itu.
“Bukan gitu, Sayang… Mama cuma lagi pergi jauh. Tapi Papa yakin, di tempat Mama sekarang, Mama tetap sayang sama Rafa. Mama pasti kangen banget sama Rafa.”
“Beneran, Pa? Mama kangen Rafa juga?” Rafa menatap dengan harapan di matanya.
Arkan mengangguk pelan, suaranya nyaris bergetar.
“Iya, bener, Sayang. Mama kangen… setiap hari Mama lihat Rafa dari jauh.”
Rafa tersenyum kecil, meski matanya masih basah. “Rafa juga kangen Mama…” katanya lirih.
Rafa menatap ayahnya beberapa detik, seolah menimbang kata-kata yang baru saja didengarnya. Lalu tanpa banyak bicara, bocah itu merentangkan kedua tangannya yang kecil dan memeluk Arkan erat-erat.
“Rafa sayang Papa…” bisiknya pelan, suaranya serak karena menahan tangis.
Arkan tertegun sesaat. Kehangatan kecil itu terasa menembus sampai ke dadanya yang sesak. Ia segera membalas pelukan itu, memeluk putranya dengan hati-hati namun kuat, seolah takut kalau pelukannya terlalu lemah, Rafa akan menghilang.
“Papa juga sayang Rafa… lebih dari apa pun,” jawab Arkan dengan suara nyaris bergetar.
Rafa semakin mengeratkan pelukannya. “Kalau Mama jauh, Rafa nggak apa-apa, Pa. Yang penting Papa jangan ninggalin Rafa juga,” katanya dengan polos, membuat mata Arkan kembali memanas.
Ia mengusap punggung kecil itu lembut. “Papa janji, Sayang. Papa nggak akan ninggalin Rafa. Selamanya Papa di sini buat Rafa.”
Saat akhirnya Rafa melepaskan pelukannya, bocah itu tersenyum kecil, meskipun matanya masih sedikit merah.
“Kalau gitu… Rafa mau makan lagi, biar cepet sembuh. Nanti Mama bisa lihat Rafa dari jauh, kan?”
Arkan tersenyum haru, matanya basah tapi wajahnya lembut. “Iya, Sayang. Mama pasti senang lihat Rafa makan banyak dan cepat sembuh.”