Amelia ,seorang janda yang diceraikan dan diusir oleh suaminya tanpa di beri uang sepeserpun kecuali hanya baju yang menempel di badan ,saat di usir dari rumah keadaan hujan ,sehingga anaknya yang masih berusia 3 tahun demam tinggi ,Reva merasa bingung karena dia tidak punya saudara atau teman yang bisa diminta tolong karena dia sebatang kara dikota itu ,hingga datang seorang pria yang bernama Devan Dirgantara datang akan memberikan pengobatan untuk anaknya ,dan kebetulan dia dari apotik membawa parasetamol ,dan obat itu akan di berikan pada Reva ,dengan syarat ,dia harus mau menikah dengannya hari itu juga ,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amelia bekerja
Hari terus berlalu sudah satu Minggu Amelia tinggal bersama Devan dan ibunya ,dan hari ini iamulai gelisah.dia duduk melamun sambil menunggu Bayu asik bermain
Ia diam Bukan karena malas,justru sebaliknya. Sejak bangun tidur, otaknya udah muter-muter kayak mesin cuci. Dia duduk di tepi kasur, lihat Bayu yang lagi asyik main mobil-mobilan di lantai, sambil mikir: “Aku nggak bisa terus-terusan numpang hidup di sini.”
Bukan berarti rumah Devan nggak nyaman. Justru terlalu nyaman. Makan enak, tidur nyenyak, Bayu dirawat kayak pangeran kecil. Tapi Amelia merasa ada yang mengganjal di dada. Dia pengen punya uang sendiri. Pengen bisa beli baju Bayu tanpa mikir “ini duit siapa?”. Pengen punya tabungan buat masa depan anaknya—bukan cuma mengandalkan kebaikan orang lain, sebaik apa pun Devan dan Ibunya.
“Mama, Abi bilang hari ini kita main pasir!” seru Bayu tiba-tiba dengan logat anak kecil , sambil lompat-lompat.
“Main pasir? Di mana?”
“Di taman! Abi janji!”
Amelia senyum, tapi hatinya tetap berat. Dia sayang sama Bayu, sayang sama suasana rumah ini, tapi dia juga tahu jadi ibu bukan berarti berhenti jadi perempuan yang mandiri.
Pas Devan turun dari kamar, Amelia langsung nyamperin dia di dapur.
“Mas… boleh ngobrol bentar?”
Devan lagi ngopi, rambutnya masih acak-acakan. “Tentu. Ada apa?”
Amelia gugup. “Aku… pengen cari kerja.”
Devan berhenti minum. “Kerja? Sekarang?”
“Iya. Aku nggak mau jadi beban. Aku juga pengen punya penghasilan sendiri… buat Bayu.”
Devan diam sebentar, lalu taruh cangkirnya. “Kamu nggak jadi beban, Amelia. Tapi,aku ngerti kenapa kamu mau kerja. Itu bagus.”
Amelia lega. “Tapi masalahnya, Bayu gimana? Aku nggak mungkin bawa dia ke tempat kerja . Apalagi kalau kerjanya shift atau lembur.”
Devan mengangguk pelan. “Iya, itu tantangannya. Tapi kamu udah mikir mau kerja di bidang apa?”
“Dulu aku kerja di toko kelontong, jadi kasir. Tapi gajinya kecil. Aku pengen yang lebih stabil. Mungkin admin kantor? Atau customer service? Aku bisa ngetik cepet, Mas.”
"Memang kamu lulusan apa ?"
"Saya hanya lulusan SMA,pernah sih kuliah cuma sampai semester satu ,karena kedua orang tuaku dan juga kakakku yang menjadi tulang punggung keluargaku meninggal ,dalam kecelakaan bis yang mereka tumpangi ." Amelia berkata dengan mata berkaca kaca .
"Aku ikut prihatin ,ngomong ngomong beneran kamu mau bekerja ?"
"Iya mas ,nanti aku akan keluar untuk mencari pekerjaan ,tapi aku juga bingung ,aku tidak punya ijazah untuk melamar pekerjaan ,semua tertinggal di rumah mas Rico ,mantan suamiku ." ucap Amelia lirih dengan sedih .
Devan tersenyum. “Kamu lupa, aku punya perusahaan sendiri.”
Amelia tercengang. “Maksud Mas…?”
“Kalau kamu mau, aku bisa kasih posisi di bagian administrasi. Jam kerjanya fleksibel—masuk jam delapan, pulang jam tiga. Cukup buat antar-jemput Bayu kalau nanti dia sekolah. Dan kalau Bayu sakit, kamu bisa WFH.”
Amelia hampir nggak percaya. “Beneran, Mas? Tapi… aku nggak punya pengalaman kerja di kantor.”
“Nggak masalah. Aku percaya kamu bisa belajar. Lagian, kamu kan jeli, teliti, dan nggak gampang nyerah. Itu lebih penting dari ijazah.”
Amelia senyum lebar. Tapi senyumnya langsung redup lagi. “Tapi… Bayu tetap jadi masalah. Siapa yang jaga dia pas aku kerja?”
Sebelum Devan sempat jawab, suara lembut terdengar dari arah ruang makan.
“Aku yang jaga.”
Mereka berdua menoleh. Ibu Devan berdiri di sana dengan senyum diwajahnya .
“Bu?” seru Amelia.
Ibu Devan mendekat. “Kamu pikir aku nganggur sepanjang hari? Aku malah senang kalau Bayu di sini. Dia lucu, nggak rewel, dan bikin rumah ini jadi hidup.”
“Tapi… nggak enak, Bu. Nanti Ibu kerepotan,apalagi ibu lagi kurang sehat .”
“Kerepotan? Aku punya Mbak Lina, punya tukang kebun, punya waktu luang. Yang nggak aku punya, cucu.” Ibu Devan tersenyum kecil. “Jadi, anggap aja Bayu cucu pertamaku. Aku jaga dia kayak jaga anak sendiri.”
Amelia langsung nahan nangis. “Terima kasih, Bu…”
“Sudah, jangan lebay. Nanti kamu malah nggak fokus kerja.”
Devan ketawa. “Nah, gitu dong. Semua masalah kelar.”
Tapi Amelia masih ragu. “Tapi… aku belum siap banget, Mas. Aku takut salah, takut bikin malu ”
“Siapa yang nggak salah waktu pertama kali?” Devan nyengir. “Aku aja dulu pernah salah kirim email ke klien ,isi emailnya curhat sama temanku ! Bayangin!”
Amelia ketawa keras. “Beneran?!”
“Iya! Parah banget. Tapi ya, hidup terus jalan. Yang penting mau belajar.”
Malam itu, Amelia ngobrol sama Bayu sebelum tidur.
“Ma, Mama mau kerja,” katanya pelan.
Bayu mengucek mata. “Kerja di mana, Ma?”
“Di kantor Abi. Tapi Mama tetap pulang tiap sore, oke? Terus, pas Mama kerja, Nenek yang jaga kamu.”
“Nenek baik. Dia kasih aku kue tadi.”
“Iya, Nenek sayang sama kamu.”
Bayu mengangguk. “Oke, Ma kerja. Tapi jangan lama-lama, ya?”
“Nggak, sayang. Mama janji.”
Besoknya, Devan bawa Amelia ke kantornya. Bangunannya nggak megah banget,cuma gedung tiga lantai di kawasan perkantoran pinggir kota. Tapi interiornya cozy, ada tanaman di mana-mana, dan stafnya ramah-ramah.
“Ini Amelia, Dia mulai kerja hari ini di bagian admin,” kata Devan ke timnya.
Semua langsung menyambut hangat. Ada yang nawarin kopi, ada yang kasih snack, bahkan ada yang langsung ajak makan siang bareng.
Meja kerja Amelia udah disiapin,laptop baru, sticky note warna-warni, bahkan ada pot kecil berisi tanaman sukulen.
“Ini dari HR,” kata cewek di sebelahnya, namanya Rani. “Katanya biar kamu betah.”
Amelia senyum. “Makasih banget.”
Hari pertama kerja, dia cuma diajarin sistem absensi, cara pakai email kantor, dan ngisi formulir cuti. Gampang banget. Tapi yang bikin dia seneng,semua orang nggak nanya soal masa lalunya. Nggak ada yang bisik-bisik,buruk tentangnya .
Pulang jam tiga, dia langsung buru-buru ke rumah. Bayu langsung lari peluk.
“Ma! Aku bikin gambar buat Mama!”
Di kertas A4, ada gambar tiga orang,dua dewasa dan satu anak kecil,pegang tangan,
Amelia peluk Bayu erat. “Ini gambar paling bagus sedunia, sayang.”
Ibu Devan tersenyum dari dapur. “Dia nungguin kamu dari jam dua.”
“Maaf, Bu, aku buru-buru pulang.”
“Nggak usah minta maaf. Kamu kerja bagus, kan?”
Amelia mengangguk. “Iya,ternyata nggak sesulit yang aku bayangin.”
Malamnya, Devan tanya, “Gimana hari pertamamu?”
“Seru! Semua orang baik. Aku malah jadi semangat.”
“Bagus. Tapi jangan dipaksain, ya. Kalau capek, bilang aja.”
Amelia lihat Devan. “Mas,kenapa kamu selalu dukung aku?”
Devan nyengir. “Karena aku tahu kamu bakal jadi perempuan hebat. Aku cuma bantu buka pintunya.”
Amelia nggak jawab. Dia cuma senyum, lalu peluk Devan pelan.
Dan di pelukan itu, dia sadar:
kerja bukan cuma soal uang.
Tapi soal harga diri. Soal masa depan. Soal jadi contoh buat Bayu,bahwa perempuan itu kuat, mandiri, dan layak dihargai.
malam pertama nya
apakah Devan akan ketagihan dan bucin akut... hanya author yg tau...