Erik koma selama 3 Minggu, setelah jatuh & terjun bebas dari atas ketinggian pohon kelapa, namun selama itu pula badannya hidup & berinteraksi dengan keluarga maupun orang-orang di sekelilingnya, lalu siapa yang mengendalikan dirinya jika jiwanya sedang tak bersama raganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosy_Lea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak pak ustadz Samsudin
Aku samperin ke ruang tamu, Pak Su udah anteng, nggak ngoceh lagi. Tapi ya gitu… mukanya masih lecek ditekuk, rautnya nggak enak banget dilihat. Bikin asam lambung langsung naik.
Ya pada akhirnya malam itu tetap aku lagi yang mendampingi. Memangnya siapa lagi? Keluarganya juga mana ada yang mau.
Masih mending ngurus bayi kecil, capeknya kebayar cuma dengan senyumnya. Walaupun belum bisa bilang makasih, tapi auranya itu loh... adem.
Lah ini 'bayi gede', ngurusinnya berkali-kali lipat lebih repot. Salah dikit disentak, boro-boro bilang makasih, orang nggak salah aja di salah-salahin.
Berikut versi editannya besty, biar lebih rapi tapi tetap santai dan natural:
Keesokan harinya, rumah mama mertua lebih sibuk dari biasanya. Adek-adeknya Pak Su yang dari luar kota mau balik ke Jakarta.
Pas lihat si Lala anak adeknya pak Su udah rapi, mama mertua nyeletuk,
“Eh, kamu mau ke mana udah rapi gitu?”
“Mau ke Jakarta lah, Nek,” jawab Lala.
“Waduh, yang mau ke Jakarta, nenek ikut lah... boleh nggak?”
“Nggak muat, Nek, motornya,” kata Lala sambil cengengesan.
“Eh Ma, mama mau ke Jakarta? Mama naik mobil aja,” si Eka mamanya Lala ikut nyeletuk.
“Hehe, bercanda...” kata mama sambil ketawa.
“Beneran Ma, nggak papa, ntar di-ongkosin,” sambung Eka
“Hehe... besok-besok aja lah. Tapi boleh ya kalo nenek mau ke Jakarta?”
“Bolehlah Nek, kesana aja... ya kan Ma?” timpal Lala.
Obrolan pun makin rame, topiknya ngalor ngidul nggak karuan.
Tiba-tiba ada yang nyeletuk,
“Di kampung sepi banget ya kalau bukan lebaran.”
Langsung semua angguk-angguk,
“Iya bener! Nggak ada suara petasan, nggak ada aroma rendang, yang ada cuma suara ayam dan suara hati yang meronta-ronta...”
(Eh, itu mah aku)
“Iya, pada ke kota semua,” sahutku sambil nyengir.
“Ngeramein kampung orang, kampung sendiri ditinggalin.”
“Si Maman ikut bininya, ngendon di kampung mertuanya,”
“Si Rusdi? Belum kawin tapi udah kaya orang pindah KTP, nggak pernah pulang-pulang.”
"Si itu juga, si Ega, sejak pacarnya dinikahin orang lain, udah kayak ditelan bumi, hilang dari peredaran kampung."
“Iya, katanya sih belum nikah-nikah juga... parah, hatinya masih retak retak lama amat,”
“Yah, itu mah udah bukan patah hati lagi, tapi udah nggak ada rasa,” sahut yang lain.
Obrolan ringan keluarga pun mendadak berubah jadi absen warga kampung, satu-satu disinggung, disenggol, digibahin tipis-tipis.
Tiba-tiba...
"Aku juga gini-gini ditungguin cewek cantik di kampung sebelah," celetuk Pak Su tiba-tiba, tanpa filter.
Langsung seisi ruangan auto diem. Mata nyasar ke satu arah: aku.
"Itu, gadis kampung sebelah, dari tahun dua ribu empat belas masih nungguin aku. Udah jelas cantik, sholihah, pokoknya idaman banget," lanjutnya sambil cengar-cengir, bangga kayak abis menang undian haji.
Aku?
Ya cuma bisa duduk cengok.
Wujudku nyata di situ, tapi kehadiranku kayak bayangan.
Seketika suasana jadi awkward.
Sebagian senyum-senyum kaku, sebagian lirak-lirik.
Aku? Nelen ludah aja rasanya seret.
Pak Su masih lanjut memperjelas narasi,
“Anak Abah Samsudin, anak ustadz, sholihah pula…”
Hadehh…
Aku cuma tarik napas panjang sambil nyari sisa-sisa logika.
Oke, noted.
Tapi tenang…
Stok sabarku masih sebakul penuh,
Belum abis, walau tiap hari disendokin dikit-dikit buat ngehadapin semua ini.
Yang lain juga kenapa diem aja, seolah mendukung semua perkataan itu.
Astaghfirullahal ‘adziim...
Rasanya hati ini makin sesak, aku nggak lagi butuh dibela, tapi setidaknya jangan diam, jangan ikut mengabaikan.
Kadang sampai di titik begini, aku mikir...
Apa harus beneran aku maju ke pengadilan agama? Daftarin surat pegat,
Biar semuanya selesai... biar aku juga bisa nafas tanpa luka.
Aku yang dampingin tiap menit, tiap detik.
Aku yang nyuapin kalau lapar, kalau haus.
Aku yang mandiin, bersihin badannya tiap hari.
Aku yang urusin saat dia mau pipis atau buang hajat, semua aku yang handle.
Tapi kenapa ya, yang di inget malah perempuan laen, ngomong aja harus nyakitin,
Nancep banget di perasaan, perihnya sampai ke daging.
Kadang aku bingung, aku ini apa di matanya? Agak laen emang.
Ya, tarohlah Pak Su lagi kesambet, tapi keluarganya?
Apa udah putus semua urat malunya?
Kalau ada apa-apa, kenapa nggak jadi penengah?
Aku sih nggak berharap dibela,
Tapi minimal jadi penengah, bisa nggak sih?
Aku nggak nangis, walaupun perih di hati seperti ditusuk-tusuk duri.
Dalam diam aku bertekad,
“Oke, kalau memang itu yang kalian mau, aku akan rawat Pak Su sampai sembuh, sampai pulih.
Setelah itu, aku akan datangi perempuan yang dimaksud, dudukin dia bersama keluarga kalian.
Lalu aku cuma mau bilang:
"Kalau ada urusan yang belum selesai, selesaikanlah sendiri. Jangan korbankan orang lain di antara urusan kalian berdua.
Sekarang silakan lanjutkan urusan perasaan kalian yang belum kelar itu.
Terima kasih untuk persembahan kalian yang luar biasa.
Aku akan menghilang, bawa anak-anak.
Jangan pernah cari aku lagi. Cukup takdirku di keluarga ini sampai sini saja Wassalam.’”
Lha gimana ya besty, setelah aku cari tahu pelan-pelan, ternyata dari awal pernikahan aku sama Pak Su itu nggak benar-benar didukung sama keluarganya.
Harapan mereka, Pak Su nikahnya bukan sama aku, tapi sama anaknya Ustadz Samsudin, katanya dulu mereka sempat dekat, bahkan kabarnya udah hampir sampai tahap pernikahan.
Pantes aja ya, dari dulu rasanya aku kayak orang luar di tengah-tengah yang katanya keluarga sendiri…
Hari-hari terus berputar, dan rutinitasku pun tak berubah.
Tetap sibuk dengan pekerjaan yang tak pernah ada ujungnya, mengantri, menumpuk, minta diselesaikan segera.
Belum lagi selalu ada bumbu wajib setiap harinya: di sewotin, di omelin, drama kecil sampai yang bikin dada sesak.
Kadang rasanya seperti lari maraton tanpa garis finish.
Dua minggu sudah berlalu sejak Pak Su jatuh dari pohon kelapa. Waktunya kontrol lagi ke Pak Ustadz, ini kontrol yang ketiga. Tapi kali ini tiba-tiba Pak Su menolak, gak mau diajak kontrol.
Katanya dia denger sendiri Pak Ustadz bilang pengobatan udah selesai, tinggal nunggu pulih.
Masalahnya, dari kami yang nganterin waktu itu, gak ada satu pun yang merasa dengar ucapan seperti itu.
Nggak ada yang merasa Pak Ustadz ngomong begitu. Jadi kita semua bingung, ini beneran denger atau cuma pendengaran sepihak versi Pak Su sendiri?
Kita semua nyaranin balik lagi untuk kontrol, biar jelas kondisi dan kelanjutannya. Tapi si pasien malah ngotot, katanya pengobatan udah selesai, udah dibilang cukup, jadi nggak perlu balik lagi.
Padahal dari kita yang nganterin, nggak ada yang denger pernyataan itu dari Pak Ustadz. Jadi ya kita serba salah, mau maksa, takut makin emosi; nggak dilanjutin, takut kondisinya nggak maksimal pulihnya.
Drama pun terjadi lagi…
Sekeluarga coba gantian bujukin, dari nada lembut sampai setengah maksa, tapi hasilnya tetap nihil.
Pak Su kekeh, seolah udah tutup telinga dan nggak ada yang bisa nyentuh pikirannya.
Yang ada malah makin ngedumel dan ngotot, bikin suasana makin panas.
Capek fisik belum kelar, sekarang tambah capek hati dan pikiran.
Akhirnya, Pak Erte, Pak Erwe, sampe tetangga sekampung pun turun tangan, semua coba bujukin Pak Su biar mau diajak kontrol lagi…