Ketika hati mencoba berpaling.. namun takdir mempertemukan kita di waktu yang  berbeda. Bahkan status kita pun berubah.. 
Akankah takdir mempermainkan kita kembali? ataukah justru takdir menunjukkan kuasanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SUNFLOWSIST, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. MENGENAL NAYA LEBIH DEKAT
"Devan.. Kaukah itu? Akhirnya kau datang kesini juga untuk menjemputku. Beritahu mereka bahwa kau adalah ayah dari bayi yang ku kandung. Aku tidak sanggup menghadapi semuanya sendirian." ucap Naya dengan matanya yang terpejam dan disertai isak tangis.
Hingga akhirnya isakan tangis pilu terdengar begitu menyayat hati di dalam kamar kecil itu.
"Devan... .? Siapa itu?" ucap dokter Wira seraya mengernyitkan keningnya. Tangannya mengelus pipi lembut itu secara perlahan seolah menenangkannya dari mimpi buruk yang mendatanginya.
Hingga beberapa menit kemudian Naya tertidur dalam ketenangan. Tangannya menggenggam erat tangan dokter Wira. Wira menatap wajah pucat Naya dengan tatapan yang sulit diartikan. Antara kasihan dan entahlah..
"Sebenarnya apa yang kamu alami, sampai kamu menjadi seperti ini. Di dunia nyata kamu tak mampu mengekspresikan emosimu. Sesakit apa yang kamu alami? Bahkan pendarahan seperti itu kamu tidak menangis. Kamu hanya mampu berekspresi ketika kamu terlelap. Benar - benar langka.. Jarang ada pasienku yang sepertimu."
Perlahan Wira melepas genggaman tangan Naya. ia pun bergegas meninggalkan kamar itu. Kamar yang mampu membuat perasaannya berkecamuk. Dekat dengan Naya seolah mampu menyeretnya dalam lautan emosi yang menenggelamkannya secara perlahan.
Ia pun berjalan mendekat ke arah meja suster Ika. Digebraknya meja itu dengan keras. "Bukannya kerja malah tidur. Kalau memang niat tidur pulang saja." ucap dokter Wira dengan sorot matanya yang tajam dan penuh intimidasi.
"Maaf... Maafkan saya dok. Tadi saya hanya... "ucap Suster Ika yang tergagap di sela - sela kagetnya ia mendengar teriakan sang dokter di malam yang dingin dan sunyi itu.
"Pesankan aku kopi sekarang juga. Dan ingat.. Tanpa gula. Lima menit..harus sudah ada di mejaku." ucapnya penuh perintah dan tak ingin ada bantahan sedikitpun.
Suster Ika pun langsung berlari terbirit - birit sembari bibirnya mengerucut kesal. Bermacam umpatan ia lontarkan guna merutuki sikap galak dan otoriter dari dokter Wira.
"Dasar dokter sialan, percuma ganteng tapi perangainya minus, ga punya perasaan. Namanya juga manusia. Kan wajar aku tertidur. Lagipula ini kan rumah sakit jiwa. Tidak akan ada keadaan darurat malam - malam begini.."
Sedangkan di ruangan kerjanya, dokter Wira tampak sedang membuka berkas media milik Naya dari rumah sakit lama tempat ia dirawat. Sesaat ia memicingkan matanya, mencoba memahami detail kasus yang terjadi. Hingga akhirnya ia melemparkan dengan asal berkas tersebut ke sembarang arah.
Namun disaat yang bersamaan suster Ika memasuki ruang prakteknya. Dan .. Prang... Berkas Naya jatuh mengenai gelas kopi. dan berhamburan ke lantai.
"Apa kau tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu? Hari ini sudah berapa kali kau membuatku naik darah." ucap Wira dengan intonasinya yang tinggi.
"Maaf dokter. Saya... "
"Menyingkir dari hadapanku sekarang juga. Dan jangan tunjukkan wajahmu selama aku tidak memanggilmu." ancam dokter Wira dengan sorot matanya yang merah menahan amarah.
Begitulah dokter Wira.. Ia selalu tempramental menghadapi apa yang tidak sesuai dengan keinginannya. Semenjak meninggalnya sang istri, pribadinya menjadi lebih tertutup dan dingin terhadap semua orang. Seolah membatasi dirinya untuk tidak terluka atau terlalu larut dengan kenangan masa lalunya bersama sang istri. Entahlah... Hanya dia yang tau.
* * *
Pagi hari cuaca begitu indah. Sinar matahari terbit di ufuk timur dengan begitu hangatnya. Di pagi hari ini semua pasien diwajibkan untuk beraktifitas di taman. Entah itu berjemur ataupun berjalan - jalan santai. Yang jelas sinar mentari pagi sangat bermanfaat untuk kesehatan.
"Bangun... Sudah pagi. Ayo berjemur di taman."
Aku terbangun dengan tubuhku yang lemah. Seketika aku teringat kejadian semalam. "Devan... Dimana devan..? Apa dia sudah pergi?" ucapku dengan nada panik.
"Devan siapa? Ayo cepat. Waktumu tak banyak." ucap suster itu dengan nada ketusnya.
Aku pun turun dari ranjang dan perlahan keluar dari kamar itu. Langkah gontai kakiku menyusuri lorong panjang rumah sakit itu.
"Tunggulah disini aku akan mengambil sarapanmu. Ingat.. Jangan kemana - mana sebelum aku kembali."
Perlahan terdengar langkah kaki berjalan mendekatiku.
"Kamu sedang apa? Ayo ikut aku ke taman." ucapnya dengan penuh kelembutan. Namun aku hanya diam tanpa kata. Tak ada sedikitpun pergerakan dariku. Aku terlalu asyik dengan dunia lamunanku sendiri.
"Kita bertemu Devan. Kamu mau kan?" ucapnya dengan tersenyum ramah. Sebuah senyuman yang mampu membuat jantung para kaum hawa bergetar dengan sendirinya. Namun pengecualian untukku.
Dengan cepat aku menoleh ke arah pria itu. Seorang pria dengan jas putihnya yang gantengnya berkali - kali lipat di pagi ini. Dia adalah dokter Wira.
"Devan? Apa kamu juga mengenalnya?" ucapku dengan sorot mata putus asa.
Wira yang melihat respon positif dari Naya pun terlihat begitu senang dan antusias.
"Berarti seluruh berkas kesehatan Naya kemarin ada yang manipulasi. Aku harus menyelidiki semuanya hingga tuntas." monolog Wira dalam hatinya.
Wira hanya menjawab dengan anggukan kepala seraya tersenyum hangat kepadaku. Senyuman hangat yang baru pertama kali aku terima selama kepindahanku di rumah sakit ini.
Beberapa menit kemudian suster itu datang dengan membawa nampan makanan. Kedua matanya menatapku dengan tidak bersahabat sama sekali. Langkah kakinya seksi bak model profesional di karpet merah, namun sayangnya dia hanya membawa nampan bukan tas mewah.
Hingga tiba di hadapan dokter Wira, ia pura - pura terjatuh nampan yang berisi menu sup ayam dengan kuah yang mengepulkan asap itu jatuh tepat di tangan dan bajuku.
"Sus.. Apa kau yang kau lakukan? Apa kau tidak bisa lihat jalan? Kau tahu.. .. Dia sedang mengandung. Kalau kuah panas itu kena perutnya gimana... Dasar gak becus." ucap dokter Wira dengan sorot matanya yang tajam.
Suster itu melupakan satu hal bahwa dokter Wira tidak bisa ditipu ataupun dirayu. "Maaf dokter saya tidak sengaja. Lagi pula salah dia sendiri kenapa dia duduk disitu."
"Sudah salah masih menyalahkan orang lain? Dia itu pasien disini. Dan kau seharusnya... " ucapan dokter Wira terputus tatkala melihatku hanya duduk termenung tanpa meronta kesakitan ataupun berteriak meminta tolong.
Dokter wira membawaku pergi dari sana menuju ke ruang prakteknya. Disana ia membawaku ke wastafel membantuku membersihkan tanganku. Sekelebat bayangan tentang Devan terlintas di pikiranku. Saat ia berdiri di belakangku dan memelukku dari belakang dengan begitu mesra.
"Devan..." ucapku lirih namun tetap terdengar jelas oleh Dokter Wira.
"Dimana kamu Dev, kenapa kau tidak mencariku? kau janji akan kembali kepadaku 1 minggu.. Tapi nyatanya kau tidak pernah kembali untukku. Hikss.. Hikss."
Entah kenapa mendengar tangisan Naya, dokter Wira merasa hatinya berdenyut nyeri. Ia sangat menyayangkan wanita sepolos Naya dimanfaatkan seperti itu. Perlahan tangannya terulur mengusap pipiku yang basah.
"Kamu tidak sendiri. Ada aku.. ceritakanlah semua beban yang ada di dalam hatimu."
Tak ada jawaban dari Naya. Hanya suara tangisan pilu yang menjadi momen kebersamaan kami untuk yang pertama kalinya.
* * *
Sementara itu..
Di sebuah kamar yang mewah. Sinar matahari menerobos masuk ke dalam celah - celah jendela itu. Seolah menandakan hari sudah menjelang siang. Suara telepon berbunyi begitu nyaring, memecah keheningan suasana di dalam kamar itu. Ditengah matanya terpejam ia mencoba mengangkat panggilan masuk di ponselnya.
"Halo.." ucapnya dengan suara yang menahan kantuk.
"Maaf tuan saya menganggu. Saya sudah mendatangi rumah yang alamatnya tuan kirimkan kemarin, namun rumah itu sudah dijual tuan. Dan warga sekitar tidak mengetahui keluarga itu pindah kemana?"
Seketika ia membulatkan mata. Memaksa kesadaran penuh di sela matanya yang enggan terbuka. "Dijual? Pindah? Yang mana yang benar. Jangan memberi jawaban yang tidak pasti." emosinya dikala siang itu.
"Rumah itu sudah dijual. Dan warga sekitar tidak ada yang tahu mereka pindah kemana. Lebih tepatnya mereka dia sudah tidak tinggal di rumah itu lagi."
Seketika emosinya tersulut. Nafasnya tercekat menahan sesak dalam dadanya. "Cari semua info tentangnya. Aku tidak mau tahu. Kau harus mendapatkan kabar dimana keberadaannya sekarang."
Dilemparkannya ponselnya dengan asal ke sembarang arah. Ia pun bangun dari ranjang. Langkahnya berhenti tepat di jendela kaca besar samping ranjangnya. Sebuah pemandangan menara eiffel yang dengan megahnya berdiri menjulang di hadapannya.
"Naya.. Kamu dimana? Apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu tidak menungguku? Maafkan aku yang baru sempat mencarimu saat ini."
Dia adalah Devan. Pria yang baru satu minggu ini menggantikan kakeknya sebagai pemilik dari Wicaksana Grup. Kakeknya yang sering sakit - sakitan sudah tidak mampu lagi menjalankan perusahaan.
"Aku harus menemukanmu bagaimanapun caranya. Aku sangat merindukanmu. Tunggu aku sayang. ." ucapnya seraya meneteskan air mata.
mereka perawat tapi sikapnya tidak mencerminkan pekerjaannya