Senja merasa menderita dengan pernikahan yang terpaksa ia jalani bersama seorang CEO bernama Arsaka Bumantara. Pria yang menikahinya itu selalu membuatnya merasa terhina, hingga kehilangan kepercayaan diri. Namun sebuah kejadian membuat dunia berbalik seratus delapan puluh derajat. Bagaimana kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meylani Putri Putti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 13
Malam itu Senja tak bisa memejamkan mata dengan tenang. Ia berbaring gelisah di sisi ranjang yang terasa begitu luas dan dingin. Tatapannya sesekali mengarah ke pintu kamar, berharap suara langkah kaki itu segera terdengar.
Detik demi detik berlalu, jarum jam terus bergerak seolah memperlambat waktu. Dia menarik selimut hingga ke dada, berusaha menenangkan diri dari emosi yang dipendamnya.
Begitu derap langkah Saka terdengar di ruang tengah, Senja sontak membuka pintu kamarnya. Nafasnya terdengar tak beraturan, seolah baru saja menelan segumpal kegelisahan. Rambutnya sedikit berantakan, namun matanya menatap tajam ke arah pintu masuk, menanti bayangan suaminya muncul.
Begitu Saka melangkah masuk, tanpa sempat duduk atau melepas sepatu sepenuhnya, Senja langsung mendekat.
“Gimana caranya temanmu itu bisa dapat nomor aku, Mas?” suaranya bergetar, separuh marah, separuh takut akan jawaban yang akan keluar.
Saka menoleh singkat sambil menarik sepatu dari kakinya.
“Siapa maksudmu? Zein?” tanyanya datar, nyaris tanpa emosi.
Belum sempat Senja membuka mulut, lelaki itu sudah lebih dulu menimpali, nada suaranya tetap tenang, tapi tajam seperti bilah.
“Iya, dia yang minta ke aku.”
Senja mengerjap, matanya membulat, tak percaya.
“Kenapa kau memberikannya? Apa maksudnya, Mas? Apa kau ingin menghadirkan orang ketiga di antara kita?”
Saka mendongak, seulas senyum kecut terbit di bibirnya.
“Bukannya itu yang kau inginkan? Menjebak laki-laki kaya, menikahinya, lalu hidup senang?”
Kata-kata itu menghantam seperti cambuk. Wajah Senja menegang, matanya memerah, bibirnya bergetar menahan luka yang tiba-tiba mengalir.
“Astaghfirullah…” napasnya tersendat, suaranya pecah, “bisa-bisanya kau bicara seperti itu, Mas? Itu fitnah!”
Namun Saka sudah beranjak. Langkahnya mantap, dingin. Ia memutar knop pintu tanpa menoleh.
“Jangan berlagak sok tersakiti,” ucapnya sebelum masuk ke ruangan gelap di depannya.
Bruk!
Pintu tertutup keras. Suara dentumannya menggema, memantul di dada Senja. Ia terlonjak kecil, kemudian terpaku. Tatapannya menancap pada pintu yang kini tertutup rapat, seolah masih berharap suaminya akan keluar lagi dan meminta maaf. Tapi hening yang menelan segalanya.
Perlahan, pundaknya merosot. Ia menarik napas panjang, mencoba menelan sisa amarah yang terasa getir di tenggorokannya.
Apa ada suami yang tak cemburu saat tahu istrinya didekati pria lain? pikirnya pedih.Berbanding terbalik dengan dirinya yang selalu cemburu terhadap pacar suaminya itu.
Langkahnya gontai menuju pintu, tapi kemudian berhenti di tengah ruang. Ada sesal yang menggumpal, bukan karena pertanyaannya barusan, tapi karena berharap lelaki itu akan peduli.
****
Keesokan paginya, suasana rumah masih terasa sepi. Saka sudah berangkat lebih awal tanpa sepatah kata pun, meninggalkan dirinya dengan secangkir teh yang kini sudah dingin di meja makan.
Sekitar pukul delapan, suara bel rumah memecah keheningan. Senja yang saat itu sedang menyapu ruang tamu segera menghentikan gerakannya. Ia melangkah ke arah pintu dan membuka perlahan.
“Rara?” matanya langsung berbinar melihat sahabatnya itu.
Rara tersenyum lebar sambil memeluknya hangat. “Ya ampun, Senja! Aku kangen banget sama kamu!”
Senja membalas pelukan itu sambil tertawa kecil, mencoba menyembunyikan lelah di wajahnya. “Iya, Ra… aku kemaren kemaren sibuk, ayo masuk,” ajaknya sambil merangkul bahu sahabatnya itu. “Tumben kamu bisa kesini pagi pagi, biasanya boro boro, bangun saja belum.
Rara tertawa kecil. “Aku gak sabar dengar cerita kamu, bagaimana kamu bisa menikah dengan pria kaya itu?” tanyanya antusias.
Senja menarik tangan sahabatnya agar mendarat di sofa ruang tamu. “Cerita singkat!”
Rara melirik sahabatnya itu. “Loh, kok singkat? Biasanya kan ceritanya panjang, haha,” candanya.
“Iya pernikahan kami terjadi secara singkat. Aku juga gak tahu kenapa tiba-tiba aku bisa berada satu kamar dengan CEO ku. Padahal hari itu adalah hari pertama aku bekerja. Saat orang orang menemukan kami, kami berdua dalam keadaan tanpa busana dan… “
“Dan kalian telah. . .. “.
Senja mengangguk lalu air matanya menetes perlahan.“Dia bilang jika dia melakukan secara tidak sengaja, dan bermaksud membayar kegadisan ku dengan sejumlah uang, tapi aku gak mau.. “ suaranya bergetar.
Rara menatapnya dengan serius, tangannya mengusap punggung sahabatnya itu. Membiarkan Senja melanjutkan penuturannya.
“Mungkin karena itulah dia membenci ku, karena dia tak mau menikahi ku.”
Kali ini Rara yang menarik napas panjang. “Mungkin dia hanya butuh waktu untuk menerima kamu saja,” bujuknya.
“Entahlah,” Senja tertunduk kurang yakin dengan ucapan sahabatnya,”tapi sikapnya dingin sekali, nyaris membeku kan ku.”
Rara menatapnya dalam. “Apa suamimu punya wanita idaman lain?”
Senja mengangkat kepalanya, bola matanya perlahan berembun. Tak habis pikir, bahkan pertanyaan itu seperti sudah cukup mencungkil lukanya, apa lagi jika harus mengakuinya, akan lebih sakit lagi.
Melihat reaksi Senja, Rara langsung mengerti meskipun tanpa kata kata, sontak dia merangkul sahabatnya itu, membawa tubuh ringkih itu dalam dekapannya. “Sabar ya, Ja!’
Seketika tangis Senja pecah, deras dan tak tertahan, mengguncang tubuhnya yang kini bergetar dalam pelukan Rara. Bahunya naik turun, suara isaknya pecah di antara kalimat yang tersengal.
“Iya, Ra… Aku pernah diacuhkan sama keluarga ayahku. Pernah ditekan, diperas, diremehkan,” suaranya parau, setiap kata keluar dengan susah payah. “Tapi itu semua nggak ada apa-apanya dibanding rasa sakit yang aku rasain sekarang…”
Ia berhenti, menarik napas panjang, mencoba menelan air matanya. Lalu kalimat berikutnya keluar dengan suara yang nyaris berbisik, patah-patah.
“Dan kamu tahu… dia—dia seolah sengaja nyuruh pria lain buat deketin aku. Sahabatnya sendiri, Ra…”
Rara terdiam sejenak. Ia mengendurkan pelukannya, menatap wajah Senja yang sembab, pipinya basah, bulu matanya menggumpal. Napasnya terdengar panjang sebelum akhirnya ia berkata datar, tapi mantap,
“Ya sudah, kalau gitu kamu minta cerai aja.”
Senja mendongak pelan, mata merahnya menatap tak percaya. Namun Rara belum berhenti.
“Tapi sebelum itu,” katanya sambil mengangkat alis, “buat dia tertarik dulu sama kamu.”
Senja menggeleng cepat, menghapus air matanya dengan punggung tangan. “Gak mungkin, Ra. Dia gak akan mungkin tertarik sama aku. Ceweknya aja cantik banget.”
Rara tertawa kecil, tawa yang terdengar setengah mengejek, setengah menyemangati.
“Cantik?” ujarnya dengan nada sinis. “Ja, perempuan mana pun bisa cantik kalau punya duit. Tapi kamu tuh udah cantik dari sananya, tinggal di poles dikit.” Ia menjulurkan tangan, mencubit pipi Senja pelan, mencoba membuatnya tersenyum.
Tapi Senja masih menatapnya ragu, bibirnya menekan erat, seolah takut berharap.
Rara menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, lalu mulai berbicara lagi, nada suaranya kini lebih serius tapi tetap dengan gaya khasnya yang percaya diri.
“Denger ya, langkah pertama yang kamu harus lakukan adalah bisa berdandan dan bergaya kayak pacarnya dia. Kedua, jangan baper. Jadilah cewek yang bar-bar. Tarik ulur perhatiannya, kasih perhatian secukupnya, tapi pas dia mulai nyaman… tarik lagi semuanya. Biar dia ngerasain gimana rasanya diabaikan.”
Senja mengerjap, seolah tak yakin ia sanggup.
“Kalau perlu,” lanjut Rara dengan senyum penuh arti, “kamu libatkan aja sahabatnya yang coba deketin kamu itu. Lihat, suamimu bakal bereaksi atau enggak.”
Senja masih diam, matanya menatap kosong ke arah meja.
Rara lalu menepuk pelan tangan sahabatnya. “Aku ini mahasiswa sosiologi, Ja. Aku ngerti gimana cara baca perilaku orang. Coba aja dulu. Siapa tahu kamu bukan cuma bisa balas, tapi juga bisa ambil lagi kendali atas dirinya, bagaimana?” tanyanya sambil menaik turunkan alisnya.
Senja bergeming sejenak mencerna ucapan sahabatnya itu, kemudian mengangguk mantap. “Kamu benar,” ujarnya sambil menghapus sisa air mata yang menetes. “Sekarang waktunya aku bangkit, aku gak bisa diremehkan terus, “ kilatan mata Senja berkilau penuh tekad.
Sementara Rara tersenyum puas sambil memberikan dukungan penuh untuk sahabatnya itu.
ku rasa jauh di banding kan senja
paling jg bobrok Kaya sampah
lah ini suami gemblung dulu nyuruh dekat sekarang malah kepanasan pakai ngecam pula
pls Thor bikin dia yg mati kutu Ding jangan senja
tapi jarang sih yg kaya gitu banyaknya gampang luluh cuma bilang i love you