Fatharani Hasya Athalia, atau biasa disapa Hasya oleh teman-temannya itu harus terjebak dengan seorang pria di sebuah lift Mall yang tiba-tiba mati.
Hasya yang terlalu panik, mencari perlindungan dan dengan beraninya dia memeluk pria tersebut.
Namun, tanpa diketahuinya, ternyata pria tersebut adalah seorang CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Hasya sendiri bekerja subagai Office Girl di perusahaan tersebut.
Pada suatu hari, Hasya tidak sengaja melihat nenek tua yang dijambret oleh pemotor saat dirinya akan pergi bekerja. Karena dari perangai dan sifatnya itu, nenek tua tersebut menyukai Hasya sampai meminta Hasya untuk selalu datang ke rumahnya saat weekend tiba.
Dari sanalah, nenek tua tersebut ingin menjodohkan cucu laki-lakinya dengan Hasya.
Akankah Hasya menerima pinangan itu? Sedangkan, cucu dari nenek tua tersebut sedang menjalin kasih bahkan sebentar lagi mereka akan bertunangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Pertanyaan sang sahabat membuatnya termenung, dia baru saja masuk ke gedung fakultas khusus sekolah arsitektur. Tidak lama kemudian beberapa teman lamanya ikut menghampiri Hasya.
"Hasya! Lo kuliah lagi?" beda halnya dengan sang sahabat dekat, Vivi yang hanya teman satu kelas terlihat berbinar melihat kedatangan Hasya, begitu pun dengan Ela.
"Iya, gue kuliah lagi." jawab Hasya. "Rel, lo apa kabarnya?"
"Kabar gue baik," jawabnya pendek. Dia tidak memperpanjang ucapannya.
"Syukurlah kalau begitu," jawab Hasya.
"Kalian masuk pagi semua,"
"Yo'i!" sahut Vivi.
"Oke, ke kelas, yuk!" Ela mengajak mereka masuk kelas.
"Gue mau nungguin dulu Kak Windy. Lagian kelas kita beda, kan, sekarang?" Aurel menolak ke kelas bareng.
Hasya menautkan alisnya, "Kak Windy yang sudah semester enam itu?" Aurel hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Hasya.
"Tapi kelas tinggal lima belas menitan lagi," ucap Hasya.
"Gak papa, kalian aja duluan."
"Rel...lo kenapa? Gue gak marah, kok, semua karena kesalahan Kak Aris," Hasya berbisik karena masalahnya yang kemarin tidak ingin diketahui banyak orang.
"Bukan karena itu, kok. Ya udah, kalian aja duluan. Lagian kita beda kelas." lagi-lagi Aurel mengungkit perbedaan kelas mereka. Ya, mereka berbeda kelas karena Hasya tertinggal satu semester. Tapi mereka masih satu gedung.
"Oke, lo hati-hati!" Hasya mengajak Vivi dan Ela ke kelas. Lagi-lagi jawaban dari Aurel hanya sebuah deheman. Tapi Hasya tidak terlalu memikirkan itu.
"Kata Aurel, lo udah gak kerja lagi di tempat dia," Vivi seolah memberi pertanyaan kepada Hasya.
"Iya, gaji lo cukup, gak, buat bayar semesteran sama buat sehari-hari lo?" Ela terlihat khawatir. satu kelasnya dulu memang tahu bagaimana Hasya, banyak dati mereka yang merasa salut kepada Hasya dengan keteguhan hatinya.
"Terimakasih sudah peduli sama gue, tenang aja, semua sudah gue pikirkan." jawab Hasya, ia merasa terharu.
"Kita semua teman, gue cuma gak mau lo kesusahan. Tapi gue juga gak bisa bantu lo kalau soal keuangan, soalnya gue juga ngejar beasiswa." jawab Vivi.
"Gue paham, terimakasih banyak pokoknya, sukses buat kita, ya." ucap Hasya, senyumnya merekah sempurna.
"Eh... Kita harus berpisah," ucap Hasya, saat mereka sudah sampai di depan kelas Hasya. "Terimakasih, lo, kalian jadi nganterin gue ke sini, haha!"
"Iya juga, tapi gak papa sih, orang kelaa kita juga gak jauh dari sini."
"Oke, nanti ngobrol lahi, ya, setelah kelaa berakhir."
"Sip!" Hasya memberi hormat kepada Vivi dan Ela. Keduanya juga sahabatan seperti Hasya dan Aurel.
Hasya berdiei di depan pintu, ia sedikit gugup.
Fiuh...
Ia membuang napasnya kasar, kemudian ia melangkahkan kakinya satu langkah dan berdiri di ambang pintu.
Tok tok tok
"Permisi... Selamat pagi!" ucap Hasya. Wajahnya terasa panas dan dia begitu gugup karena yang dihadapinya orang baru semua atau adik kelasnya.
"Pagi... Eh, Kak Hasya!" dari diantara mereka ada yang sudah kenal dnegan Hasya, tapi kebanyakan mereka kenal dengan Hasya karena Hasya sendiri termasuk mahasiswi populer dengan kreativitasnya.
"Hai!" Hasya melambaikan tangannya dan tersenyum ke arah mereka.
"Kak Hasya, ada yang perlu kita bantu?" tanya salah satu mahasiswi. Dia mendekat ke atah Hasya.
"Hehe..., enggak, aku mau mengulang kelas di kelas ini." jawab Hasya meringis.
"Mengulang kelas?" tanyanya. Ia berpikir sejenak.
"Hehe..." Hasya terus meringis mendapatkan respon adik kelasnya.
"Maksudnya kakak masuk kuliah lagi?" dia baru tersadar kalau Hasya sudah tidak terlihat di sekitar kampus.
"Hehe... Betul itu!"
"Ye! Kak Hasya masuk kelas kita!" serunya heboh, teman-temannya menyambut kedatangan Hasya juga.
"Ada apa ini?!" suara bariton itu langsung membuat mereka mematung.
Glek!
Hasya menelan ludahnya kasar, dia bingung harus bagaimana, sesnagkan yang lainnya langsung duduk di kursi masing-masing.
"Kenapa kamu berdiri saja?" tanyanya datar. Dosen kali ini beda, dia terlihat masih muda tapi dingin. Saat kelasnya dulu, dia dibimbing langsung oleh pak Mahes.
Kelas berlangsung begitu horor menurut Hasya, padahal saat sama Pak Mahes, Hasya seperti sudah akrab dan mereka memberi materi juga tidak kaku. Sedangkan sekarang yang entah siapa namanya itu membuat Hasya mengantuk.
"Kamu ngantuk!"
Duk
Kening Hasya membentur meja, tidak ada yang menertawakannya karena mereka juga takut disuruh keluar kelas.
"Eh... Maaf, Pak. Saya gak sengaja," ucap Hasya.
"Jika ingin tidur, keluar!"
"Baik, Pak. Saya akan memperhatikan bapak saja biar kantuk saya hilang," dosen itu langsung memalingkan wajahnya dan kembali ke mejanya.
Kelas berakhir, semua mahasiswa membereskan buku yang mereka bawa. Mereka hanya ada satu mata pelajaran hari ini begitu pun dengan Hasya.
Huft!
Hasya merasa lega, dia langsung keluar dari kelas itu. Kemudian ia menengok ke kiri, ia melihat Aurel yang sedang di depan pintu lift.
"Aurel!" Aurel yang mendengar namanya di sebut langsung menoleh ke arah Hasya. Tapi sedetik kemudian ia meninggalkan lift itu padahal sudah terbuka.
"Loh... Kok, Aurel ninggalin gue, sih?" Hasya mencoba untuk mengejarnya, namun dia menabrak sesuatu.
Bruk!
"Ssshhh!" Hasya meringis saat ia harus jatuh terduduk ke lantai.
"Makanya kalau jalan lihat-lihat! Huuu!" beberapa mahasiswi menonton Hasya yang terjatuh sambil menyorakinya, sedangkan orang yang tertabraknya sudah pergi tanpa peduli.
"Eh, lain kali ada orang jatuh ditolongin, bukan malah dilihati doang." seorang pemuda tampan datang mengulurkan tangannya untuk membantu Hasya berdiri.
"Terimakasih, kak. Saya bisa bangun sendiri," Hasya mengatupkan tangannya di dada, dia teringat kalau dirinya sudah menikah.
"Yah... Lo, sok jadi pahlawan tapi dicuekin, kan?" ucap mahasiswi itu, kemudian mahasiswi itu menghampiri Hasya.
"Maaf banget, kak. Saya duluan!" Hasya kembali berlari meninggalkan tempat itu dan menuruni tangga.
"Menarik," gumam lelaki itu, ia tersenyum smirk ke arah Hasya yang terlihat terburu-buru.
"Lo, suka sama dia?" tanya mahasiswi tadi yang bernama Olive.
"Hak gue!" jawabnya dan langsung meninggalkan Olive dan kawan-kawan.
"Sialan! Kenapa anak itu bisa datang lagi ke kampus, sih? Padahal gue udah berhasil mengeluarkan dia," ia tersenyum penuh arti. "Lihat saja, lo udah macam-macam sama gue!" Olive mengepalkan tangannya kemudian ia mengajak teman-temannya pergi dari sana.
***
"Bagaimana ngampusnya?" tanya Bara. Bara sendiri yang meminta Hasya untuk menunggunya, dia sendiri yang mengantar jemput Hasya ke kampus.
"Seru!" jawabnya pendek.
"Apakah ada cowok yang mendekati kamu hari ini?"
"Banyak, Tuan." jawab Hasya tanpa ragu.
Bara memalingkan wajahnya, kemudian ia menyalakan mesin mobilnya dan meninggalkan kampus menuju kantornya.
"Kenapa bertanya begitu, Tuan?"
Bara tidak menjawab, dia malah memberikan air minum kepada Hasya. "Minum!" titahnya.
"Oh... Iya, aku itu haus banget, terimakasih pangeran tak berkudaku," Hasya mengambil botol air mineral itu sambil tersenyum lebar. "Kebetulan aku haus banget, habis dikejar musang," lanjutnya. Bara terbelalak, tapi dia tetap diam.
Kemudian Hasya membuka tutup botolnya dan meminumnya sampai tinggal sedikit. "Kamu mau?" tanyanya.
"Boleh," jawab Bara.
"Eh, tapi ini bekas aku? Ada lagi, gak?"
Bara menepikan mobilnya terlebih dahulu, kemudian ia menoleh ke arah Hasya. "Ayo suapin"
"Ini bekas aku," Hasya merasa tidak sopan kalau bekas minumnya harus diminum oleh Bara.
"Gak masalah,"
Hasya pun membantu Bara untuk minum sampai air di botol itu habis. "Oke, udah habis!" Hasya mencoba untuk bergeser tapi Bara langsung memeluknya. Mata Hasya terpaku menatap wajah tampan Bara.
Cup!
***
Sementara itu di kampus, Aurel menatap kepergian mobil yang membawa Hasya pulang. Ia menatap dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Lo sudah enak, ya, Sya? Tapi, lo lupa siapa yang menolong lo saat lo sedang terpuruk-puruknya," gumamnya.
"Rel! Lo ngapain bengong di sini? Lo mau kesambet penunggu pohon palem itu?" Seril membuat Aurel kaget.
Plak!
Bersambung