NovelToon NovelToon
Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: ovhiie

Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.

*
*


Seperti biasa

Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

Kembali ke kantor

Yaga masih sibuk berpikir di mejanya, ketika handphonenya bergetar. Di luar sudah mulai gelap, dan melihat siapa yang menelepon, dia langsung menjawab.

"Ya?"

_ Apa Kak Yaga sibuk?

Di seberang telepon, suara Almaira terdengar hati-hati seolah-olah ingin menanyakan sebuah rahasia.

Membayangkan wajahnya yang memerah, Yaga menutup laptopnya dan menjawab,

"Aku akan pulang sekarang. Kenapa?"

_ Bagaimana dengan makan malam? Jadi makan malam bersama?

Mendengar hal manis semacam itu, Yaga tak kuasa menahan senyum. Dia menjawab, "Tentu, aku senang mendengarnya."

_ Baiklah, Aira akan menunggu di rumah. Sampai jumpa.

"Hmmm" Panggilan terputus

Dan..

Ketika mereka sudah ada di ruang makan, lauk pauk yang di sediakan Bibik sudah ada di meja.

Almaira menyendok sepiring nasi dan lauknya untuk suaminya. Setelah Almaira menyendok untuk dirinya sendiri, Yaga dan Almaira pun makan dengan tenang.

"Kak Yaga mau makan buah? Biar Aira yang memotongnya buat Kak Yaga."

Akhirnya Almaira bicara memecah keheningan.

"Kelak kamu tidak perlu melakukannya lagi."

"Kenapa?"

"Biarkan Bibik yang melakukannya."

"Ah benar, Aira lupa. Maaf."

"Jika kamu masih terlihat canggung, sebaiknya kita tidak perlu makan bersama lagi. Aku tidak suka melihat mu sibuk sendiri di depan ku."

"Ah, maaf. Aira masih belum terbiasa Kak. Kelak, Aira pasti bisa membiasakan diri."

"Kamu juga perlu menghentikan kebiasaan meminta maaf mu itu."

"...... "

"Jika kamu melakukannya, orang lain akan berpikir bahwa kamu benar-benar bersalah atas sesuatu,"

"Apakah itu juga yang Kak Yaga pikiran?" Almaira menatapnya dengan rasa ingin tahu.

"Aku berasumsi kamu meminta maaf karena kebiasaan. Namun, setiap kali kamu memanggil ku Kak, aku jadi berpikir bahwa aku harus bersikap seperti Kakakmu."

"Oh, begitu ya." tiba-tiba Almaira menyadari sesuatu. "…Kalau begitu, apa Aira harus mengganti panggilannya? Jika Kak Yaga mau, Aira akan melakukannya."

"Kamu benar-benar harus berhenti memanggilku 'Kak.' Setiap kali kamu melakukannya, itu membuatku tersadar, seolah kamu menganggap ku cuma sebatas sepupu."

"Lalu, Aira harus memanggil apa?"

"Panggil aku suamiku, saat kita di luar."

"I_itu.. Baiklah, Aira akan melakukannya secara bertahap, bolehkan? Aira mohon.."

"Kelak, kamu akan terbiasa Almaira."

"Hehe... Terimakasih."

* * *

Setelah makan malam bersama.

Yaga menghabiskan sisa waktu di ruang kerjanya untuk mengerjakan proyek berikutnya. Sudah biasa baginya untuk bekerja lembur sepanjang malam, tapi ada satu hal yang berbeda malam ini.

Sekarang, dia ada bersamanya.

Duduk di sofa ruang kerja, Almaira asyik membaca buku lama. Satu-satunya suara di ruangan itu adalah suara membalik halaman, goresan pena, atau bunyi klik mouse.

Sesekali Yaga melirik Almaira, mengamati berbagai ekspresi di wajahnya. Terkadang, dia serius sementara di lain waktu, dia tersenyum geli.

Yaga menebak-nebak buku apa yang sedang dia baca.

Saat itu terjadi, hp di meja bergetar hebat, mengalihkan perhatian. Melihat siapa yang menelepon, dia segera menjawab panggilan itu.

"Halo" jawab Yaga

_ Yaga, ini aku Gara. Kata Gara ramah di seberang telepon. Tidak peduli seberapa dinginnya sikap Yaga padanya, tampaknya laki-laki itu tidak keberatan. Gara adalah pemuda yang baik hati.

_ Selamat ulang tahun. Maaf aku baru mengucapkannya sekarang. Ada kebakaran di pabrik kami, jadi aku tidak bisa menahannya.

Yaga sudah dengar berita itu sebelumnya, bahwa kantor yang menyimpan semua dokumen penting terbakar. Mereka memadamkannya dengan cepat. Namun, butuh banyak upaya untuk memulihkan dokumen yang rusak.

"Ulang tahunnya beberapa hari yang lalu, dan kau baru ucapkan sekarang?" jawab Yaga acuh tak acuh dan menoleh ke arah Almaira.

Gadis itu terlihat bicara di telepon di ruangan yang sama. Terdengar samar-samar, ada obrolan tentang reuni sekolah yang mau diakan di rumah makan. Yang membuat Yaga mengernyitkan dahinya.

_ Yah, aku akui aku lupa, maaf ya._ Gara melanjutkan

"Jadi, bagaimana dengan pabrik? Apakah semuanya sudah kembali normal?"

_ Tidak, belum semua.

"Aku senang mendengarnya."

_ Ah iya, aku ada kencan buta hari ini. Kau tahu?

"Oh..."

_ Sialnya, aku belum pernah bertemu wanita konyol seperti dia seumur hidupku.

"Hmm, lalu?"

_ Kalau bukan karena ibuku yang memohon. Aku takkan mau menemuinya. Sampai-sampai aku harus mengalami kecelakaan di jalan. Ya Tuhan, hari ini aku benar-benar sial.

"Kecelakaan?"

_ Ya, itu bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan.

"Jadi begitu."

_ Ah, bagaimana kehidupan pernikahanmu? Seperti apa istrimu? Kudengar dia sangat muda dan cantik.

"Sudah larut malam. Sebaiknya kau istirahat sekarang."

_ Wah, kurasa rumor itu benar ya, kalau yang kau nikahi itu sepupu imut mu. Aku..._

Yaga menutup telepon duluan sebelum Gara selesai berbicara.

"Apa itu teman? Aira belum pernah melihat Kak Yaga, menerima panggilan pribadi selain keluarga kita."

"Tapi nyatanya aku selalu menerima panggilan pribadi."

"oh ya? Dari siapa?" Almaira penasaran

"Kamu."

Ketika Yaga cuma menjawab begitu, Almaira cemberut. "Oh.."

"Apa kamu sudah selesai membaca bukunya?"

"…Belum."

"Mau membacanya sampai tamat?"

Almaira menutup bukunya dan menjawab, "Tidak"

"Kenapa?'

"Besok kan, Aira akan pergi pagi-pagi ke acara reuni sekolah. Jadi, Aira mau tidur lebih awal."

"Begitu ya."

* * *

Setelah mandi, Almaira keluar dari ruang pakaian. Kamar itu sunyi, hanya cahaya bulan yang samar-samar bersinar di dalam.

Yaga sudah duduk di sofa, Dia sedang mengunci layar hp nya, lalu melirik Almaira sebelum mengulurkan tangan ke arahnya.

"........." Almaira membatu, membiarkan tangannya tetap di pangkuan dan duduk agak jauh darinya.

Yaga hanya tertawa kecil. Namun, tidak lama kemudian, dia dengan santai berpindah tempat, duduk di sebelah Almaira, membuat sofa sedikit turun di sisinya. Jarak mereka hanya sejengkal.

Perlahan, Yaga menyentuh pipi Almaira dengan ujung jarinya.

"Apa ada yang mau Kak Yaga katakan?"

"Di antara semuanya teman mu yang hadir, banyak yang laki-laki?" Nada suaranya terdengar mencurigakan.

Mendengar hal itu, Almaira menatapnya dengan perasaan ambigu sebelum menjawab pelan.

"…Mungkin."

"Berapa orang?"

"Aira tidak tahu, kenapa?"

"Selain mantan pacar, apa ada teman lain yang pernah mengungkapkan perasaan padamu?"

Almaira mengerutkan kening dan berusaha untuk menjauh, tapi tangannya dicengkeram. Ditariknya oleh laki-laki itu untuk mendekat dan mendudukkannya dengan santai di pangkuannya.

"Kenapa tiba-tiba Kak Yaga membahas soal itu?"

Alih-alih menjawab, Yaga malah membenamkan kepalanya di tengkuk Almaira dan mendesah

"Aku takut aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja."

Tiba-tiba Yaga menggigit tengkuk gadis itu dengan giginya. Almaira tersentak dan bergidik geli saat rasa sakit menjalar di tubuhnya.

Sial.

Merasakan hal itu, Yaga mengumpat pelan, sementara Almaira tersentak saat ditarik oleh Yaga untuk menghadapnya, pinggangnya menggelinjang ketika tangan Yaga membuka kancing piyamanya satu-satu.

Laki-laki itu membenamkan kepalanya di dada Almaira dan mendesah. Nafasnya yang terengah-engah berhembus ke jantungnya. Membuat tubuh Almaira rasanya panas dan lembab, seperti ada yang meleleh di antara kedua kakinya.

Hemh.

Yaga menatap gadis itu dengan mata sayu, lalu perlahan mengangkat kepalanya. Tatapan mereka bertemu, dan Yaga tersenyum tipis, seolah menikmati ekspresi gugup di wajah Almaira.

Merasa malu, Almaira mengepalkan tangannya dan dengan gemas memukul bahunya. Laki-laki itu hanya tertawa kecil, suaranya rendah dan dalam.

Dengan gerakan lembut, Yaga merapikan helaian rambut yang jatuh di wajahnya. Jemarinya yang hangat menyentuh pipi Almaira sebelum turun perlahan, seolah ingin mengukir momen itu di benaknya.

Hawa dingin yang mengalir dari jendela membuatnya merapat sedikit, mencari kehangatan.

Tanpa tergesa-gesa, Yaga menggenggam jemari Almaira, membawanya ke bibirnya, dan mengecupnya perlahan-lahan.

Sebuah sentuhan lembut yang tidak seberapa, namun entah bagaimana rasanya begitu dalam.

Almaira perlahan mengangkat pandangannya, begitu mata mereka bertemu. Ada sesuatu yang menggetarkan di dalam dirinya, entah itu apa, seperti perasaan yang sulit dijelaskan.

Di tengah kebingungan itu, Yaga menggenggam jemarinya dengan lembut, lalu membawanya mendekat ke dadanya, seolah membiarkan gadis itu merasakan detak jantungnya.

"Coba dengarkan." Sebuah permintaan yang membuatnya ambigu. Seketika, perasaan yang bercampur aduk membuncah, meninggalkan jejak kemarahan yang sulit diredam.

"Tidak mungkin, ja_jangan lakukan itu Kak..." ucapnya dengan suara bergetar, Almaira mendorong bahunya dengan sisa tenaga.

Gadis itu berusaha menjauh, ingin melepaskan genggaman yang masih tertinggal di tubuhnya.

Namun, alih-alih melepaskannya, Yaga malah mendekat, membiarkan kehangatan di antara mereka semakin nyata. Dengan gerakan lambat, dia merapatkan tubuhnya, meninggalkan getaran halus yang meresap hingga ke dasar hati gadis itu.

Mata Almaira membelalak. Meski masih berpakaian lengkap, kehangatan yang terpancar dari tubuh mereka rasanya begitu nyata. Bibirnya sedikit terbuka, napasnya semakin memberat.

Yaga bersandar pada sandaran sofa, menatapnya dari bawah dengan tatapan penuh ketenangan, seolah menikmati setiap reaksi Almaira.

Anehnya, setiap gerakan kecil itu, membuat tubuh Almaira merespons tanpa sadar, membuatnya semakin sulit untuk berpikir jernih.

"Hhh..." Suara desahan lolos dari bibirnya.

Cahaya bulan yang masuk melalui jendela seolah menerangi segalanya, membuatnya semakin sadar akan dirinya sendiri. Tubuhnya gemetar halus, tangannya refleks terangkat perlahan menutupi wajah yang panas.

Yaga hanya tersenyum kecil sambil mengamati.

Napas Almaira semakin tersengal, dia berusaha menjauh, tetapi tubuhnya yang lemah kehilangan keseimbangan, membuatnya malah terjatuh ke dalam dekapan Yaga.

Saat itu, dada bidangnya menjadi satu-satunya tempat yang bisa dia sandarkan kepalanya untuk mengatur napas.

Yaga perlahan merengkuhnya lebih erat. Kehangatan yang mengalir begitu dekat membuat Almaira terjebak dalam perasaan yang sulit dijelaskan. Dia hanya bisa memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam kebingungan yang melingkupinya.

Yaga membuka kancing kerah kemejanya dengan kasar, seolah merasa sesak. Dia meraih bahu Almaira dan menariknya mendekat, lalu mencium bibirnya dengan penuh gairah.

Di antara napas yang bertaut, suara detik jam dinding bercampur menjadi latar belakang yang mengganggu.

Seperti sebuah peringatan di telinganya.

"Ah..." Almaira menatap Yaga dengan wajah yang tampak bergetar, seolah menahan tangis yang hampir pecah.

Saat bibir mereka masih saling bersentuhan, Yaga meraih tangannya, membimbingnya ke atas kain celananya.

Almaira terkejut, matanya langsung terbuka lebar. Namun, yang dia temui hanyalah tatapan tajam Yaga yang sudah menunggunya.

"Jika tidak mau dengan tangan, bagaimana kalau dengan wajahmu?"

Senyuman samar terukir di wajah Yaga saat dia berbisik, membuat Almaira semakin membeku.

Napasnya yang jatuh di kulit rasanya panas. Gadis itu menggelengkan kepalanya dengan wajah yang semakin pucat.

"Aira tidak mau."

Yaga hanya terkekeh rendah, menggenggam tangannya lebih erat, lalu dengan gerakan lambat, dia menggeser tubuhnya, membuat Almaira semakin menyadari situasi ini.

Ketika Almaira berusaha melepaskan tangannya, genggaman Yaga tetap tak tergoyahkan. Setiap kali tatapan mereka bertemu, jari-jarinya gemetar tanpa bisa dikendalikan.

Tiba-tiba, Yaga menarik lengannya dengan sedikit kekuatan.

"Hah—!"

Almaira terhuyung ke dalam pelukannya, kedua tangannya gemetar saat Yaga melingkarkan satu lengan di pinggangnya. Tatapannya mengandung rasa takut yang mendalam. Namun sebelum dia sempat bicara, Yaga menyentuh bibirnya, lalu dengan gerakan lembut, dia menyusupkan jari ke dalam mulut Almaira.

"Emh..." Mata Almaira membelalak. Tidak tahu harus berbuat apa, napasnya tertahan dalam kebingungan.

Di sisi lain, Yaga tampak tenang, seolah ini bukan sesuatu yang asing baginya. Jemarinya bergerak, menyapu lembut lidah Almaira, seolah menguji reaksinya.

"Buka mulutmu," bisiknya pelan.

Almaira merinding, tidak tahu harus bagaimana menanggapi. Bibirnya sedikit terbuka, dan dalam sekejap, dia merasakan jemari Yaga bergerak lebih dalam, menguasai setiap ruang yang bisa dia jangkau.

"Haa... Kamu memang hebat."

"Hng... Hh..." Saat jemarinya menyentuh bagian terdalam lidahnya, napas Almaira tersengal.

Setetes air mata yang menggantung di sudut mata pun akhirnya terjatuh, membasahi pipinya yang memerah.

Yaga, yang sedari tadi mengawasi dengan tatapan dalam, perlahan menarik tangannya kembali.

Dalam satu gerakan, dia mengangkat tubuh Almaira yang duduk di pangkuannya dan merebahkannya di sofa.

Almaira menatapnya dengan ekspresi yang dipenuhi kebingungan dan kegelisahan. Dadanya naik-turun, berusaha mengatur napasnya yang masih berantakan. Di atasnya, Yaga mulai melepas ikat pinggangnya, kemudian dia mengangkat tangannya, membelai pipi Almaira dengan gerakan lembut.

"Pejamkan mata mu sebentar," bisiknya.

Yaga menatapnya tanpa berkedip, lalu menggerakkan tangannya dengan perlahan, seakan menunggu reaksi dari Almaira.

Namun, Almaira tidak sanggup menurunkan pandangannya ke bawah. Cahaya bulan yang menyelinap dari sela-sela tirai menerpa tubuh berotot Yaga, menciptakan aura yang semakin membuatnya sulit berpaling.

Dia menggeleng dengan ekspresi yang mulai kacau.

"Kenapa Almaira?" Senyuman di wajah Yaga terlihat santai, nyaris seperti ejekan. "Mau aku selesaikan dengan cara lain?"

"......"

"Atau di sini?"

Almaira memejamkan matanya, tidak tahu harus berbuat apa. Napasnya tercekat ketika Yaga semakin mendekat, dan dalam waktu singkat, dia merasakan kehangatan tubuhnya begitu nyata.

Dalam kesempatan itu, Yaga buru-buru mengangkat tubuhnya, berusaha melepas semua pakaian Almaira.

Tubuh Almaira menegang saat kulit mereka bersentuhan. Napasnya tertahan ketika sensasi hangat dan lembap mulai menyebar di permukaan kulitnya.

"Berhenti Kak... Rasanya aneh.."

"Apanya yang aneh, Almaira?" Yaga menundukkan wajahnya, mengecup pelan pipinya yang memerah. "Kamu tidak suka saat aku menyentuhmu seperti ini?"

"I_itu..."

Tawa lirih terdengar di telinga Almaira, lalu dalam sekejap, tubuhnya terangkat dan terjatuh ke dadanya.

Sambil menggendongnya erat, Yaga berjalan menuju tempat tidur. Pandangan Almaira mulai kabur, pikiran mulai berantakan.

Begitu tubuhnya menyentuh tempat tidur, Yaga bergerak cepat, menaungi dirinya di atasnya.

"Buka mulutmu," bisiknya.

Almaira menurut, meski pikirannya masih samar. Mereka bertukar napas dalam keheningan, seakan terjebak dalam pusaran sensasi yang sulit dijelaskan. Dalam kehangatan itu, Yaga perlahan mengulurkan tangannya, menyentuhnya di tempat yang paling sensitif.

"Ah!"

"Sudah basah ya?" Jemari Yaga yang dingin menyelinap masuk, membuat Almaira tersentak. Gadis itu buru-buru merapatkan pahanya. Namun terlambat, sentuhan Yaga sudah menemukan jalannya.

Setiap gerakan itu membuat napas Almaira tersengal tanpa disadari.

Pun sensasi yang menjalari tubuhnya membuatnya semakin gelisah, ingin menjauh tetapi sekaligus terjebak dalam kehangatan yang membingungkan.

"Kamu suka ini?" Yaga berbisik, menatapnya tajam.

Almaira hanya bisa menggigit bibirnya, meronta lemah, tapi Yaga cuma menunduk, mencium pipinya dengan kelembutan yang bertolak belakang dengan sentuhannya.

"Jangan berpaling," suaranya Yaga terdengar rendah dan dalam. "Aku ingin melihat ekspresimu."

Almaira menggeleng, matanya mulai berkabut.

"Tunggu, ... tunggu sebentar..." suaranya bergetar, napasnya terputus-putus.

"Lemaskan kakimu Almaira.. Tenanglah, jangan tegang ya?" gumam Yaga, suaranya dalam mengandung nada bujukan yang nyaris menyesatkan

Tidak lama dari itu, seketika rasa nikmat meluap di antara kedua kakinya. Matanya merah dan nyaris tidak bisa menahan rasa malunya.

Tapi laki-laki di depannya cuma menunjukkan ekspresi kepuasan yang tidak masuk akal di matanya.

"Di sini?"

Yaga menyelipkan tangannya di bawah telapak tangan Almaira dan mengusap-usap perutnya seperti mainan anak kecil.

Almaira menarik napasnya begitu merasakan sensasi menggelitik ditubuhnya.

Sambil memegang pergelangan kakinya, Yaga bersiap melebarkan kaki Almaira dan menekan ke bawah.

Lalu perlahan, Yaga mendekatkan dirinya masuk pada celah sempit itu.

"Ah.."

Tidak peduli berapa kali Almaira melakukannya, dia belum juga terbiasa dengan sensasi tubuhnya yang seperti terbelah dua.

"Sedikit lagi. Belum masuk semua."

"Tapi Kak..."

"Bukalah, jangan tengang."

"Ah, engh. Hiks.. "

"Kenapa menangis? Padahal kamu lagi makan dengan lahap kan Almaira?"

Laki-laki itu melengkungkan punggungnya, membenamkan kepalanya di dada Almaira yang membusung. Menghirup aroma kulit lembut itu.

Pada saat itu, Yaga mengayunkan pinggulnya dengan liar. Bibir laki-laki itu saling bertaut, sebuah senyum tipis tersungging di sudut mulutnya.

"Kamu cantik, aku suka itu"

Almaira rasanya seperti akan kehilangan akal sehat. Ketika rasa sakit yang tajam mengigit di lehernya, berpadu dengan kenikmatan yang luar biasa.

Dan..

Meskipun mereka sudah mencapai batas beberapa kali, Yaga sama sekali tidak berniat mundur.

Pada saat Almaira mau membersihkan diri dikamar mandi pun, di sofa kamar tidur Yaga mengawasi dengan santai.

Namun, begitu Almaira baru mau melewati, tangan Yaga menariknya kembali dan membaringkannya di sofa. Lalu, dia kembali menciumi tubuhnya yang masih basah.

Begitulah akhirnya, cara mereka menikmati malam itu seolah tidak ada habisnya.

* * *

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!