Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 #Pertanggungjawaban Nyonya Claudia
Sementara itu, di lantai tertinggi gedung Buenavista Group, suasana kantor tampak tenang seperti biasa. Dari balik dinding kaca, pemandangan kota terbentang luas, namun ketenangan itu pecah ketika Sekretaris Mark menghampiri meja kerja Tuan Muda Nadeo dengan ekspresi canggung.
“Maaf, Tuan,” ucap Mark sambil menyerahkan tabletnya. “Ada laporan transaksi yang mungkin perlu Anda lihat.”
Nadeo yang tengah menandatangani berkas menegakkan tubuhnya, menatap layar tablet itu dengan alis berkerut.
“Ada apa?” tanyanya datar.
Mark menelan ludah sebelum menjawab, “Tuan, Nyonya Claudia baru saja menghabiskan uang sebesar… sepuluh miliar rupiah.”
Tangan Nadeo yang semula memegang pena terhenti di udara. Tatapan tajamnya langsung tertuju pada layar, menatap detail transaksi yang tercatat dengan jelas—Butik tempat Aliza bekerja.
“Sepuluh miliar?” ulangnya pelan, namun suaranya mengandung tekanan dingin. “Untuk apa sebanyak itu?”
Mark menunduk hormat. “Semua transaksi dikonfirmasi oleh pihak butik, Tuan. Pembayaran dilakukan dengan black card pribadi milik Nyonya.”
Ruangan itu seketika terasa sunyi. Hanya terdengar dentuman lembut jam dinding dan suara napas berat Nadeo yang menahan amarahnya.
“Sepertinya kita harus pulang sekarang Mark,” ujarnya akhirnya, nada suaranya tenang tapi mengandung ancaman halus. “Aku ingin dia menjelaskan sendiri… untuk apa sepuluh miliar itu dikeluarkan.”
Mark mengangguk cepat. “Baik, Tuan.” Ia segera keluar, meninggalkan Nadeo yang kini berdiri di depan jendela, menatap keluar dengan rahang mengeras.
Dalam hati, Tuan Muda Nadeo bergumam dingin,
“Jika ini hanya untuk memuaskan keinginan pribadi… maka dia harus siap menanggung akibatnya.”
Mobil hitam milik Tuan Muda Nadeo berhenti di halaman rumah mewah keluarga Buenavista. Wajahnya tampak dingin dan kaku, menyimpan bara amarah yang ditahan sejak siang tadi. Ia melangkah masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata, diiringi langkah Mark yang menutup pintu di belakangnya.
Begitu tiba di ruang tamu, langkahnya terhenti. Pandangannya langsung tertuju pada pemandangan yang membuat dadanya semakin menegang — Nyonya Claudia dan Clara duduk di sofa, tertawa riang, dikelilingi tumpukan besar kotak dan bungkusan pakaian mahal yang memenuhi meja.
“Lihat ini, Clara,” ujar Nyonya Claudia sambil mengangkat satu gaun berwarna emerald. “Koleksi terbatas rancangan Aliza. Katanya cuma satu di seluruh butik.”
Clara tertawa kecil sambil menyentuh kainnya. “Cantik sekali, Mama. Benar-benar elegan.”
Suara tawa mereka berhenti mendadak saat Nadeo berdiri di depan sofa. Tatapan matanya tajam, dingin, menusuk keduanya.
“Menarik sekali,” ucapnya pelan tapi penuh tekanan. “Jadi… ini hasil dari sepuluh miliar yang dihabiskan hari ini?”
Nyonya Claudia tertegun, senyum di wajahnya perlahan menghilang. “Nadeo, Nak… ini—”
“Cukup, Mama,” potong Nadeo dengan nada rendah tapi jelas. “Aku sudah lihat laporan keuangan siang tadi. Semua transaksi masuk ke butik tempat Aliza bekerja. Dan sekarang, aku menemukan jawabannya di sini.”
Clara menunduk, tak berani menatap. Sementara Nyonya Claudia berusaha menjaga wibawanya. “Itu hanya belanja biasa, Nadeo. Aku ingin memperbarui koleksi pakaian. Lagipula, uang itu masih dari keluarga kita sendiri.”
Nadeo mendekat selangkah, suaranya dingin. “Sepuluh miliar untuk belanja biasa? Mama pikir perusahaan ini tempat bermain?”
Ruangan seketika hening. Ketegangan menguasai udara.
Nyonya Claudia mencoba tersenyum tipis, tapi suaranya bergetar. “Kamu tidak perlu marah seperti ini, Nadeo.”
Nyonya Claudia mendengus pelan, berusaha menutupi kegugupannya dengan nada tinggi.
“Apakah kamu semiskin itu, Nadeo, sampai uang sepuluh miliar saja kamu permasalahkan?” ucapnya sinis sambil menyilangkan tangan di dada. “Kau lupa, semua ini masih milik keluarga kita. Apa salahnya kalau Mama sedikit memanjakan diri?”
Nadeo menatapnya tajam, rahangnya mengeras menahan emosi. Ia melangkah mendekat, suaranya rendah namun penuh tekanan.
“Masalahnya bukan pada jumlah uangnya, Ma,” ujarnya dingin. “Tapi pada sikap Mama yang tidak pernah berubah.”
Nyonya Claudia menatapnya tajam, namun Nadeo tidak berhenti di situ.
“Ingat, Ma,” lanjutnya, nada suaranya kini meninggi, “saat Papa meninggal, Mama yang memegang kendali perusahaan. Dan apa yang terjadi? Perusahaan hampir hancur — hampir bangkrut — karena Mama lebih memilih berfoya-foya daripada menjaga warisan Papa!”
Wajah Nyonya Claudia memucat, matanya melebar menahan emosi bercampur malu.
“Nadeo! Jangan bicara seperti itu pada ibumu!” serunya lantang.
Tapi Nadeo tidak bergeming. Pandangannya tajam seperti pisau.
“Aku bicara seperti ini karena aku tidak ingin kejadian itu terulang lagi, Ma. Perusahaan ini bukan mainan. Setiap rupiah di dalamnya adalah hasil kerja keras Papa—dan sekarang aku.”
Suasana ruang tamu berubah tegang. Clara hanya bisa menunduk dalam diam, tak berani menatap salah satu dari mereka.
Nyonya Claudia mencoba membela diri, suaranya kini lebih lembut namun masih sarat gengsi.
“Aku hanya ingin terlihat pantas di hadapan orang-orang, Nadeo. Aku ingin menjaga nama baik keluarga kita.”
Nadeo menggeleng perlahan, senyum sinis tersungging di bibirnya.
“Nama baik bukan dibangun dari kemewahan, Ma. Tapi dari kehormatan dan tanggung jawab. Dua hal yang sepertinya Mama sudah lupakan.”
Ucapan itu menancap dalam. Nyonya Claudia terdiam, matanya bergetar menahan marah dan malu.
Namun Nadeo menatapnya dalam diam, lalu berkata datar, “Besok pagi, saya ingin semua laporan transaksi pribadi Mama diaudit. Saya ingin tahu, apa hanya butik itu yang menerima uang sebanyak itu... atau masih ada pengeluaran lain yang belum saya ketahui.”
Nadeo berbalik, menatap lagi ke arah ibunya dan Clara yang masih duduk terpaku di sofa. Nada suaranya kini lebih dingin, penuh kekecewaan yang tertahan.
“Dan satu hal lagi, Ma,” ucapnya pelan tapi tajam, “aku tidak pernah bisa menerima kalau uang sebanyak itu diberikan kepada perempuan ini.”
Tatapan tajamnya menembus Clara yang seketika menunduk, wajahnya memucat. Nyonya Claudia langsung bangkit dari duduknya, nada suaranya meninggi.
“Cukup, Nadeo! Bagaimanapun juga, Clara itu tunanganmu!”
Nadeo menatap ibunya dengan sorot mata tajam dan getir. Ia menggeleng perlahan sambil tersenyum miris.
“Itu dulu, Ma,” ujarnya dengan nada tegas. “Sebelum dia pergi meninggalkan aku tanpa penjelasan apa pun. Sekarang dia bukan tunanganku lagi… dia hanya mantan.”
Clara menahan napas, jemarinya menggenggam ujung gaunnya erat-erat. Suara Nadeo yang tenang namun penuh luka membuat dadanya sesak.
“Nadeo, aku bisa jelaskan—” ucap Clara lirih, mencoba membuka suara.
Namun Nadeo langsung memotongnya tanpa menatap.
“Tidak perlu. Aku sudah cukup tahu siapa kamu sekarang, Clara. Kamu datang lagi bukan karena cinta… tapi karena Mama.”
Nyonya Claudia menatap putranya tajam, tapi tidak bisa menyangkal. Wajahnya berubah tegang.
“Nadeo, jaga bicaramu! Aku hanya ingin yang terbaik untukmu.”
“Yang terbaik untukku?” Nadeo menatap lurus pada ibunya. “Atau yang terbaik untuk gengsi Mama?”
Suasana kembali hening. Hanya terdengar detak jam di dinding dan napas yang berat.
Clara menunduk makin dalam, sementara Nyonya Claudia terdiam tanpa kata.
Tanpa menunggu reaksi apa pun, Nadeo akhirnya berbalik, melangkah pergi menuju tangga dengan langkah tegas.
“Malam ini aku tidak ingin diganggu,” katanya dingin. “Dan mulai besok, semua akses rekening keluarga akan aku awasi langsung.”
Langkahnya menghilang di ujung tangga, meninggalkan ruang tamu yang kini dipenuhi keheningan—dan dua perempuan yang sama-sama kehilangan kata.
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik meninggalkan ruang tamu, menyisakan keheningan dan tatapan panik di wajah Nyonya Claudia serta Clara.