"Ini putri Bapak, bukan?"
Danuarga Saptaji menahan gusar saat melihat ponsel di tangan gadis muda di hadapannya ini.
"Saya tahu Bapak adalah anggota dewan perwakilan rakyat, nama baik Bapak mesti dijaga, tapi dengan video ini ditangan saya, saya tidak bisa menjamin Bapak bisa tidur dengan tenang!" ancam gadis muda itu lagi.
"Tapi—"
"Saya mau Bapak menikah dengan saya, menggantikan posisi pacar saya yang telah ditiduri putri Bapak!"
What? Alis Danu berjengit saking tak percaya.
"Saya tidak peduli Bapak berkeluarga atau tidak, saya hanya mau Bapak bertanggung jawab atas kelakuan putri Bapak!" sambung gadis itu lagi.
Danu terenyak menatap mata gadis muda ini.
"Jika Bapak tidak mau, maka saya akan menyebarkan video ini di media sosial!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 13. Mengatur Siasat
Hari ini adalah kampanye terakhir yang Danu hadiri di sebuah desa yang jaraknya sedikit jauh dari kota. Danu menyandarkan tubuhnya yang lelah di sebuah sofa panjang yang berada di dalam ruangan kantornya. Tubuhnya terasa letih, kakinya yang seharian ini melawan lumpur akibat longsorpun terasa pegal luar biasa. Perlahan, Danu kembali menjadi dirinya yang kesepian, senyumnya yang seharian menghiasi wajah, telah pudar berganti ekspresi murung.
Di luar, beberapa orang bawahannya sedang rapat, kehadirannya digantikan oleh Isa dan Ratih. Sebenarnya, Danu bisa saja hadir, tetapi ia tidak mau bertemu dengan Mila. Entahlah, Danu rasanya tidak punya tenaga untuk menghadapi wanita itu. Ujung-ujungnya pasti ribut besar apalagi hari ini Danu telah membuat keputusan yang sangat bertentangan dengan keinginan Mila.
Danu menghela napas dalam kemudian memejamkan mata. Pikiranya berkelana jauh, mengandaikan jika saja dulu dia tidak pernah mau menikahi Mila. Akan jadi apa dia? Saat itu dia masih anak bau kencur yang belum tau apa-apa, masih berambisi untuk membesarkan namanya, jadi pengaruh-pengaruh yang dibalut kata-kata manis mudah sekali mempengaruhinya.
Dulu, ketika dijodohkan, Danu pikir Mila adalah janda, meski beranak 3 beda ayah semua, tapi Danu tidak keberatan. Pikirnya, masa lalu sudah berlalu, semua wanita pasti ingin membina rumahtangga yang utuh dan bahagia, apalagi dia begitu menyayangi Clara seperti anaknya sendiri. Tidak tahunya, Mila justru menginjak dan merendahkan dirinya hingga Danu benar-benar rendah diri. Hinaan demi hinaan Danu terima setiap hari, bukan hanya sekali dua kali Danu memutuskan untuk berpisah, tetapi orang tua Mila membujuk Danu, bersujud, bahkan pernah mengancamnya dengan sesuatu yang membuat Danu bergidik.
Sampai akhirnya, Danu memutuskan untuk pasrah pada nasib sehingga kini yang tersisa dari semua itu adalah penyesalan. Semalam, Danu seolah disadarkan bahwa selamanya Mila tidak akan pernah memandang dirinya sebagai kepala keluarga. Dia adalah boneka politik keluarga besar Mila.
"Pak—Pak Danu! Anda tidur?"
Danu seketika membuka mata, sedikit kaget meski ia tidak tidur, seolah khawatir apa yang ia pikirkan bisa dilihat secara kasat mata. Melihat Ratih yang datang membawa buku notulen rapat, Danu segera bangun. Pasti rapatnya telah selesai.
"Kirain Bapak tidur." Ratih segera membuka buku ditangannya setelah Danu menegakkan tubuhnya. "Bu Mila hari ini tidak hadir pada rapat harian, lalu semua saya serahkan pada Sekar juga Mas Jodi, kata mereka ... semua persetujuan harus melalui Bapak lebih dulu seperti biasa sekalipun rekening dan pengelolaan uang ada ditangan mereka. Mereka juga setuju jika pengawasan keuangan sekarang dipegang oleh pusat."
Danu menghela napas lega. Itu adalah langkah terakhir yang mampu ia pikirkan. Mila tidak takut pada siapapun selain orang-orang dari pusat yang tidak bisa dia suap. Ini adalah senjata pamungkas Danu untuk lepas dari belenggu Mila. Dengan begitu, Mila tidak akan semena-mena lagi padanya.
"Soal penarikan Mila kemarin bagaimana? Apa sudah ada pos yang jelas agar tidak menimbulkan masalah bagi saya?"
Ratih membuka lembaran di catatan berikutnya. "Saya tadi tidak membahas detailnya untuk apa tapi bahwa penarikan ini dilakukan sepihak oleh Bu Mila—kata Mas Jodi, penarikan itu akan diberi stempel atas nama Bu Mila sebab Bapak memang tidak tahu menahu soal penarikan itu. Saran saya, Bapak tidak usah mengkhawatirkan uang itu karena laporan penarikan bukan disetujui oleh Anda. Anda bisa mengelak dengan bilang tidak tahu menahu."
"Baiklah kalau semua sudah bisa diatasi." Danu lega. "Untuk persiapan lusa bagaimana?"
"Menjelang kampanye akbar, Bapak tinggal melakukan check-in terakhir. Mungkin ada yang ingin Bapak tambahkan? Mas Putra sudah setuju dengan apa yang Bapak atur untuk beliau." Sebuah map kemudian dibukakan oleh Ratih di depan Danu. "Ini semua sudah saya selesaikan."
Danu membaca poin-poin yang menurutnya penting sekali dan tidak boleh sampai bermasalah nantinya. Terlebih kolaborasi dengan Putra Surya Dharma—caleg DPR-RI, mengharuskan semuanya berjalan sangat baik demi nama baik partai yang ia pegang.
"Ya sudah," ujar Danu kemudian setelah melihat semuanya dalam keadaan yang terkendali. "Besok kita periksa untuk check-in terakhir sebelum masa tenang tiba."
Ratih mengambil kembali berkas itu. "Baik, Pak. Isa sudah menunggu diluar jika Bapak ingin segera pulang."
Danu menaikkan wajahnya menatap Ratih heran. Ratih sudah ia beritahu semuanya soal semalam, lalu maksudnya pulang, pulang kemana? Rumahnya hanya di rumah Mila dan dia diusir dari sana. "Pulang kemana?"
"Ke rumah Mbak Beby," jawab Ratih datar. "Kan dia—"
"Saya tidur di sini saja! Nanti setelah semua selesai, carikan rumah yang pas untuk ditinggali sendiri ... yang cukup juga untuk kantor kita yang baru."
Ratih mengangguk meski ia heran. Beby menolak suaminya yang baru, kah? Atau ... ah, pasti mereka belum saling mengenal saja.
"Pokoknya kita rahasiakan ini dari Mila dan anak buah mereka! Aku capek!" Danu berdiri lalu kembali merebah di sofa. "Sudah sana pulang!"
Ratih menatap iba bosnya tersebut. Padahal mereka semua tidak kekurangan apapun. Tapi siapa sangka, sosok sebesar dan seluar biasa Danu menyimpan luka dalam. Pria yang ramah dan hangat itu selalu kesepian disetiap malamnya.
Ratih undur diri tanpa berkata apa-apa lagi. Perkataan Danu sangat jelas, jadi untuk apa dia membantahnya.
Namun, saat Ratih pergi, pikiran akan Beby melayang begitu saja. Apa anak itu baik-baik saja? Semalam setelah dia tinggal—
Danu bangun lagi, kemudian mengambil ponsel untuk menghubungi Beby. Namun hingga tiga kali panggilan, tidak juga mendapatkan jawaban.
Danu segera pergi tanpa pikir panjang ke rumah Beby. Jalanan dan listrik telah kembali pulih seperti sebelumnya. Tidak ada yang mengkhawatirkan sama sekali tetapi Danu sangat cemas hingga kini ia terdampar di halaman rumah Beby yang sepi.
"Apa dia sudah tidur?" Ketika Danu hendak pergi setelah melihat keadaan sekeliling yang sepi, pun hari telah beranjak larut, Beby pun pasti tidak akan mau menemuinya, sebuah motor berhenti di sebelah mobilnya.
Pria itu sedang menatap mobil Danu penuh tanya dan berniat menghampiri. Sadar dicurigai, Danu turun dan menyapa orang itu dengan sopan.
"Cari siapa?" tanya orang itu agak kaget dan seketika waspada.
"Beby ...."
"Em, dia lagi keluar kota! Sementara rumah ini saya yang awasi! Beby pergi selama sebulan!"
Jawaban itu membuat Danu mengerutkan kening. "Untuk urusan apa? Lalu bagaimana dengan pekerjaannya?"
"Saya tidak tahu, tapi kata Beby begitu!"
Danu mengangguk setelah merasa diyakinkan oleh ucapan pria itu. "Tadi saya nelpon Beby—"
"Saya buru-buru, Pak ... silakan Bapak pergi!" usirnya gamblang dengan isyarat tangan yang begitu tegas.
Danu pun tidak punya alasan untuk tetap disini, jadi dia segera pergi meninggalkan rumah Beby meski ia memiliki firasat yang tidak enak. Namun, ia sendiri juga tidak yakin.
Sepeninggal Danu, pria itu segera menelpon seseorang. "Dia sudah pergi, kurasa selama sebulan dia tidak akan ke sini lagi."
Di seberang telepon, seseorang tertawa puas.
sampai Danu mencerailan mila dan clara sadar diri bahwa dia hanya anak sambung yg menyianyikan kasih sayang ayah sambungnya 💪
mila mila sombongnya tdk ketulungan sm Danu
merasa dulu cantik anak pejabat